Bandara Narita begitu ramai dengan orang yang lalu lalang datang
dan pergi. Dia tak menyangka bahwa setelah satu minggu tiba di Tokyo, dia harus
terbang lagi ke Korea. Tadinya dia ingin menunggu sampai sebulan karena tidak
tega meninggalkan Okassannya yang sendirian di rumah dengan adiknya yang masih
berumur lima tahun itu.
“Jangan lupa sering-sering menelpon Okassan[1]
untuk memberi tahu kabarmu disana ya,” ucap Okassannya.
“Iya, Okassan tidak perlu khawatir. Aku akan sering menelpon.
Sampaikan juga salamku untuk Otosan[2],”
ucap Sakura kepada Okassannya, karena Otosannya tidak ikut mengantarnya ke
bandara karena sedang sibuk dengan pekerjaannya di kantor.
“Ya, tentu saja. Ma’afkan Otosanmu karena tidak bisa mengantarmu.
Kamu tahu sendiri kan kalau dia begitu mengkhawatirkanmu hingga awalnya tidak
setuju kalau kamu mau pergi ke Korea,”
“Iya, aku tahu Okassan. Tapi aku pikir ini yang terbaik untukku,”
“Ya, Okassan tahu,” Okassan memeluknya dengan berlinangan air
mata. Dia tidak sampai hati harus melepas putrinya lagi ke negeri orang padahal
baru seminggu dia menginjakkan kakinya di Jepang. Tapi dia harus melepasnya
lagi. Namun, diatas semua itu dia tahu, bahwa itulah yang terbaik untuk
putrinya. Dia juga tak ingin putrinya dirundung kesedihan yang berkepanjangan
karena masih mengingat masa lalunya di negeri matahari terbit itu.
Setelah melepaskan pelukan dari Okassannya, Sakura merengkuh adik
laki-lakinya yang berumur lima tahun itu. Dia sangat menyesal tidak bisa
mendampingi adiknya tumbuh besar, tidak bisa bermain bersamanya lagi dan harus
meninggalkannya.
“Oneecan, jangan lupa telpon Shinji yach,” ucap adiknya yang cadel
itu dalam berbicara.
“Ya, pasti. Oneesan pasti akan selalu menelpon Shinji,” ucap
Sakura sembari melepaskan pelukannya dari adiknya dan menggantinya dengan
ciuman manis dipipi kiri adiknya yang mungil itu. Dan setelahnya dia pun
melambaikan tangan kepada Okassan dan adiknya itu. “Sayonara[3],”
ucapnya.
“Odaiji ni,[4]”
ucap okassannya sembari melambaikan tangan juga kepada Sakura.
Panggilan
penerbangan Tokyo-Korea Selatan sudah terdengar dan Sakura naik ke pesawat. Tak
banyak hal dilakukan Sakura selama menghabiskan waktu di pesawat. Untuk
menghabiskan waktunya dari kebosanan dia membolak-balik majalah fashion yang
dipegangnya. Dia sudah mempersiapkan majalah-majalah itu semenjak sebelum
pesawat terbang landas. Karena dia tahu pasti akan sangat membosankan dalam
waktu penantian.
Sakura tidak
mempedulikan seorang laki-laki yang memperhatikannya sedari tadi ketika dia
sibuk dengan majalah-majalah fashionnya itu. Cowok itu berperawakan tampan
seperti wajah-wajah korea dan jangkung pula. Tapi, Sakura tetap fokus pada
majalah-majalah yang ada didepannya itu. Sesekali tangannya bergerak-gerak
untuk menggambar sketsa desainnya diatas kertas putih yang terselip di
majalahnya. Dia seolah berada di dunianya sendiri tanpa memikirkan hal-hal
disekelilingnya. Itulah yang amat disukai oleh Sakura dari hobinya menggambar
desain, karena bisa menyita seluruh waktu dan perhatiaannya. Sementara
laki-laki itu masih memperhatikan Sakura yang tengah asyik dan tenggelam dalam
sketsa-sketsa yang digambarnya.
Pesawat landing
di bandara Incheon yang merupakan bandara internasional terbesar di Korea
Selatan. Akhirnya dia sampai di negeri gingseng itu. Setelah turun dari pesawat
dia mendorong kopernya yang sudah siap dikereta dorong. Begitu banyak orang
berlalu lalang disitu membawa tulisan-tulisan yang diangkat diatas kedua kepala
mereka untuk memberi tahu bahwa mereka mungkin sanak kerabat atau teman dari
orang-orang yang tengah turun dari pesawat. Tapi, kali ini bandara cukup ramai
dengan hiruk pikuk orang-orang yang sepertinya tak begitu berkepentingan disana.
Banyak orang berdesakan dan berteriak-teriak meneriakkan “Lee Jung Soo...Lee Jung
Soo...” seolah nama yang diteriakkannya itu adalah nama aktor atau aktris
terkenal Korea Selatan.
Sakura terkejut
ketika mendapati banyak orang berlarian ke arahnya. Dia bingung dengan keadaan
itu, kenapa tiba-tiba begitu banyak orang yang berlarian ke arahnya. Namun dia
kemudian tahu bahwa orang-orang itu berlarian menghampiri seorang laki-laki
dengan belasan pengawalnya yang berjalan di belakangnya. “Oh, ternyata dia
aktor,” pikir Sakura dalam hati.
Karena begitu
banyaknya orang yang menghampiri laki-laki
dibelakangnya itu, orang-orang itu menyerbunya seolah hendak
menerkamnya. Dia yang tidak bisa menjaga keseimbangan dirinya lagi karena
desakan banyak orang itu akhirnya terjatuh. Dia mendesah kecil karena
mendapatkan sebagian luka kecil di dahinya. Mungkin terkena beberapa alat
peraga yang tengah di bawa oleh para penggemar aktor bernama Lee Jung Soo itu.
Sakura menoleh sebal melihat laki-laki itu yang sibuk dengan para penggemarnya.
Dia pun tahu kalau laki-laki itu kini memperhatikannya dan melihatnya terjatuh.
Tapi bukannya menolong aktor tampan itu malah membiarkan Sakura yang tengah
berusaha berdiri itu.
“Dasar, aktor menyebalkan,” desah Sakura dalam hati.
Tak hanya itu,
kesialan yang di dapatkan oleh Sakura di bandara. Dia juga mendapati hak
sepatunya yang patah karena telah terjatuh lagi. Dia segera menepi dari
sekumpulan orang-orang itu sembari menjinjing kedua sepatu yang salah satu
haknya patah. Karena dia tidak mungkin mengenakan lagi sepatu yang sudah tidak
seimbang itu. Dia menjinjing sepatunya dan membiarkan kakinya tanpa alas kaki
dan segera menepi dari kerumunan orang-orang itu agar tidak terjadi hal-hal
yang lebih dari apa yang telah didapatkannya itu.
Sementara itu,
Lee Jung Soo yang sibuk meladeni para penggemarnya itu dengan memberi mereka
tanda tangan yang mereka minta masih memperhatikan gerak-gerik wanita yang
tengah mendapatkan musibah karenanya itu. Tapi, ketika wanita itu menepi dari
kerumunan orang-orang itu dia tak lagi dapat menemukan sosoknya dari kerumunan
penggemarnya yang menggebu-nggebu itu.
Setelah mengganti
sepatunya dengan sepatu lainnya yang tersimpan dalam kopernya itu Sakura
langsung naik taksi menuju tempat tinggalnya yang baru di negeri gingseng ini.
Sakura tidak memilih tinggal di rumah bibinya yang mewah di Seoul itu, dia
lebih memilih tinggal sendiri. Rumah yang cukup sederhana namun dengan taman
yang cukup indah dan menyegarkan itu adalah tempat yang akan ditempati Sakura
untuk menghabiskan waktunya di negeri gingseng itu. Dia tahu saat dia pesan
rumah itu pada temannya yang ada di korea dulu rumah itu tak seindah yang
sekarang, tapi rumah itu menjadi lebih indah dari yang dulu. Dan tentu saja dia
tahu siapa yang menyulap rumah sederhana itu menjadi rumah yang cukup nyaman,
kalau bukan ayahnya.
Meskipun ayahnya keberatan Sakura
menghabiskan waktu di Korea Selatan dalam jangka waktu yang tak menentu, ayahnya
tak tega jika harus membiarkan putri kesayangannya itu tinggal di rumah sempit
tanpa pemandangan yang bagus di tempat yang tak jauh dari Dongdaemoon tempat
dimana Sakura akan memulai bisnisnya.
“Terima kasih, Otosan,” desahnya dalam hati.
Sakura berkeliling
menikmati rumah barunya itu. Dia senang dengan pilihan kertas dinding dengan
motif bunga sakura yang indah itu. Dan dia tahu betul kalau itu pasti pilihan
Okassannya, karena Okassannya sangat menyukai bunga yang menjadi maskot utama
negeri Jepang itu. Dia tahu, setelah membicarakan rencanya untuk menetap di
negeri gingseng itu sebelum pergi ke Perancis, Otosan dan Okassannya telah
mempersiapkan semuanya untuk Sakura. Termasuk mendekorasi rumah yang tengah
Sakura pesan dari temannya di Korea selatan itu.
Puas berkeliling
membuat Sakura cukup lelah meskipun rumahnya tak sebesar rumahnya di Tokyo atau
tak semewah rumah bibinya yang akan dikunjunginya besok. Dia merebahkan
tubuhnya di ranjang kecil di kamarnya. Kecuali ukurannya yang lebih kecil, ranjang
itu tak jauh beda dari ranjangnya di Tokyo. Penataan kamarnya pun sama seperti
kamarnya di Tokyo, mungkin Okassannya melakukan semua itu agar dia tidak rindu
akan rumahnya di Tokyo dan segera bisa melupakan semua hal yang ingin di
lupakannya itu dengan memberikan kenyamanan bagi putri keduanya itu.
Sebenarnya Sakura
Yamanaka bukanlah putri satu-satunya dari keluarga Yamanaka. Karena sebelum
menikah dengan ayahnya Takeshi Yamanaka, ibunya sudah menikah dengan orang
Indonesia dan mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Indira Agatha.
Tapi, ayah Indira meninggal karena sakit saat kakak tirinya itu duduk di bangku
SMP. Setelah itu ibunya bertemu dengan Takeshi Yamanaka, ayahnya dan menikah serta
ikut ayahnya untuk tinggal di Jepang. Kakaknya juga sempat ikut ke Jepang dan
tinggal bersama mereka selama lima tahun, tapi setelah lulus SMA kakaknya ingin
kembali ke Indonesia dan tinggal bersama neneknya yang menetap disana. Meski
enggan, ayah dan ibunya pun mengizinkannya.
Hubungan Sakura dengan Indira, kakak tirinya
sangat akrab, tidak seperti saudara tiri lainnya yang senantiasa bertengkar
tiap waktu. Baik Sakura maupun Indira tak pernah mempedulikan status mereka,
mereka saling menyayangi satu sama lain. Bahkan berbagi kasih sayang orang tua
bersama. Meskipun bukan anak kandungnya, ayah Sakura juga sangat menyayangi
anak tirinya itu tanpa pernah membeda-bedakannya dengan Sakura.
Sakura masih ingat betul apa yang menjadi
alasan kakaknya ingin kembali ke Indonesia. Ternyata Kakaknya yang cantik
dengan kulit sawo matang khas orang Indonesia itu, sudah kepincut dengan
laki-laki Indonesia yang merupakan cinta pertamanya. Dia sering sekali mendengarkan
cerita-cerita kakaknya tentang lelaki yang tengah mencuri hatinya itu. Dan
disaat itulah Sakura percaya bahwa cinta pertama itu, memang selalu indah sama
seperti yang diuraikan kakaknya.
Dia pun masih ingat betapa dia tak ingin
kakaknya pulang ke Indonesia karena dia tidak ingin sendirian. Dia duduk di SD
saat itu, tapi dia menangis seperti anak usia lima tahun, persis seperti
adiknya yang menangis karena dia meninggalkannya. Tapi rasa sepinya itu
akhirnya terhapuskan oleh kehadiran Shinji, setelah beberapa tahun sendirian.
Kakak perempuannya itu juga menepati janjinya untuk menelponnya setiap minggu.
Bahkan kakaknya yang sekarang sudah menikah dengan cinta pertama yang sering
diceritakan kepadanya itu, juga sering berkunjung ke Jepang untuk menemui
dirinya dan keluarganya serta membawa kedua putra dan putinya untuk berlibur.
Sementara itu,
Jung Soo yang telah selesai dengan acara jumpa fansnya itu setelah
kedatangannya dari Tokyo telah tampak lelah. Dia merebahkan diri di tempat
tidurnya yang empuk dan luas itu. Cahaya masih tampak gelap di kamarnya,
sebelum tiba-tiba manajernya menyalakannya.
“Hyongnim[5],
kenapa kau nyalakan lampunya? Aku ingin segera tidur,” ucapnya kepada
manajernya, Park Hyo Joo yang lebih tua dua tahun darinya.
“Kamu mau langsung tidur. Mandi dan ganti baju dulu sana. Masa
aktor kayak gitu,”
“Biarlah hyongnim, toh mereka tidak akan menyelidiki keseharianku
apakah sudah mandi atau belum sehabis acara jumpa fans,” ucapnya.
“Tapi tetap saja, mandi akan menyegarkan badanmu dan membuat rasa
lelahmu sedikit berkurang,” ucap manajernya yang sekaligus sahabat baiknya itu.
Park Hyo Joo mendorong tubuh Jung Soo menuju kamar mandi. Dia tidak ingin
artisnya itu tidur dalam keadaan bau dan penuh keringat.
Apa boleh buat, Jung Soo pun terpaksa harus mengikuti saran dari
manajernya itu. Karena dia tidak ingin ambil pusing untuk berdebat dengan
manajernya, karena dia tidak pernah menang atasnya. Dia tidak ingin lagi
mendengar ancaman sahabatnya itu untuk berhenti menjadi manajernya jika dia
tidak mengikuti kehendaknya. Bisa berabe urusan jika sampai harus kehilangan
manajer yang selalu setia sepertinya, dan dia juga selalu tahu apa yang terbaik
untuk Jung Soo. Mencari manajer baru yang sebaik dia seperti mencari jarum di
dalam tumpukan jerami. Karena banyak manajer-manajer dari artis-artis lainnya
yang hanya mementingkan dirinya sendiri daripada artisnya. Mereka kerap
menggunakan artis mereka sebagai mesin pencetak uang daripada manusia.
Tapi, beda dengan Park Hyo Joo, dia memperlakukan
Jung Soo seperti kawannya dan kakaknya, dia tak segan memarahi Jung Soo kalau
dia salah. Dan dia pun tak pernah memaksa Jung Soo untuk pergi syuting atau
acara yang lainnya jika dia sedang tidak ingin. Karena itulah dia kerap
mendapatkan imbas dari perbuatan Lee Jung Soo yang suka seenaknya itu. Entah
apa yang membuat lelaki yang berumur lebih dari tiga puluh tiga itu sabar
menghadapi tingkah Lee Jung Soo yang masih kekanak-kanakan.
Lee Jung Soo sudah selesai mandi ketika
mendapati manajernya menyiapkan makanan yang telah dipesannya di meja makan.
Maklumlah di apartemen itu Lee Jung Soo hanya tinggal sendiri, pembantu hanya
datang di siang hari untuk membersihkan rumahnya. Dia sering makan diluar, dan
tadi karena tidak sempat makan karena sibuknya jadwal, hyongnimnya menyiapkan
makanan untuknya. Itulah yang membuat Jung Soo menyukai Park Hyo Joo, dia
begitu perhatian terhadapnya.
Dengan baju mandi dan rambut yang masih basah
karena keramas, Lee Jung Soo menghampiri meja makan dan bersiap untuk menyantap
makanan yang telah disediakan hyongnimnya.
“Kalau sikap hyongnim selalu begini, aku tidak akan pernah mau
menikah,”ucapnya sembari mencicipi makanan yang tersedia di atas meja itu.
“Kenapa?”
“Aku tidak perlu pusing mencari makan karena hyongnim akan menyediakan
makanan untukku,” ucap Jung Soo dengan senyum manis di bibirnya.
“Memangnya sampai kapan aku harus menjagamu. Kalau kamu tidak mau
menikah terserah, tapi aku mau segera menikah,” ucap Hyo Joo menanggapi candaan
Jung Soo.
“Memang siapa wanita yang mau hyongnim nikahi? Pacar saja hyong
tidak punya,” ledek Jung Soo.
“Memangnya aku harus memberi tahumu. Sudah cepat ganti baju dan
segera makan keburu dingin. Aku mau pulang dulu, ada urusan,” ucap hyongnimnya
yang buru-buru hendak pergi dengan mengganti sendalnya dengan sepatunya.
“Jangan bilang kalau mau mencari wanita untuk bersedia hyongnim nikahi.
Atau mencoba menggoda Na-Na lagi,” ledek Jung Soo lagi.
“Bukan urusanmu,” ucap Hyo Joo dengan senyumnya sebelum akhirnya
dia menghilang di balik pintu.
Seperti pesan
hyongnimnya setelah selesai ganti baju Lee Jung Soo langsung menyantap makanan
yang ada di meja makan. Dia memang sangat kelaparan akibat jadwal yang padat
tadi. Sayang sekali hyongnimnya tak bisa menemaninya makan padahal dia sangat
tidak suka makan seorang diri. Tapi apa boleh buat hari sudah begitu malam, dan
hyongnimnya juga sudah sangat lelah setelah seharian menemaninya.
Lee Jung Soo
meletakkan piringnya ke tempat cuci piring seusai menyantap makan malamnya dan
meletakkan sisa makanan ke dalam kulkas. Dia tidak pernah membuang makanan yang
masih layak di makan itu, meski dia sendiri tidak mau memakannya. Tapi seperti
biasa dia akan menyuruh pembantunya yang bekerja di siang hari itu untuk
membawanya pulang. Dan dengan senang hati, pembantunya yang jarang makan
makanan restoran mewah itu akan sangat senang menerimanya.
Jung Soo kembali
merebahkan tubuhnya di ranjangnya. Cahaya lampu yang terang itu dimatikannya
dan digantikan oleh temaran lampu tidur yang tidak begitu menyilaukan mata.
Seketika dia teringat akan kejadian di bandara tadi siang. Bagaimana keadaan
wanita itu sekarang,” pikirnya. Sebelum matanya terpejam karena kantuk yang
ditahannya sedari tadi.
[1] Sebutan untuk ibu dalam bahasa
Jepang.
[2] Sebutan untuk ayah dalam bahasa
jepang.
[3] Artinya selamat tinggal.
[4] Artinya jagalah diri anda.
[5] Panggilan lelaki kepada lelaki
yang lebih tua.
0 comments:
Posting Komentar