Hari
ini aku balik ke Jogja. Ayah, Ibu dan Kak Dicky mengantarkanku ke stasiun
kereta. Sebelumya mereka bersikeras ingin mengantarkan kepergianku sampai
tujuan. Tapi aku tak mau, aku lebih senang berangkat sendiri dengan kereta. Dan
akhirnya mereka pun menyetujui kehendakku. Ibu memelukku dengan pelukan
hangatnya, begitu pula dengan ayah dan kakakku. Ini bukan karena aku akan pergi
jauh dari mereka tapi terlebih karena mereka terlalu khawatir dengan apa yang
telah terjadi di kehidupanku beberapa minggu sebelumnya.
Kereta melaju saat aku masih
mendapati mereka berdiri dan melambai ke arahku. Aku membalas lambaian tangan
mereka dan menyunggingkan senyum terindahku sebagai pertanda kepada mereka
bahwa aku akan baik-baik saja dan tak perlu mereka khawatir akan diriku. Aku
kembali pada kesendirianku saat itu. Masih teringat jelas dalam ingatanku
seseorang yang biasanya duduk di sampingku untuk mengantarkan kepergianku ke
Jogja.
Dia selalu mengantarkanku setiap
kali aku balik ke Jogja. Meskipun dia juga sibuk dengan kuliahnya di bidang
kedokteran dan kerja sambilannya, tapi dia tak pernah mengizinkanku untuk pergi
sendiri ke Jogja. Dia pasti akan mengawalku untuk sampai ke tempat tujuanku itu
dengan selamat. Meski kerap dia sering menghabiskan watunya untuk tertidur di
kereta dan bersandar di bahuku ketika dia benar-benar lelah dengan rutinitas
yang dia jalani. Tapi, sedikitpun dia tidak pernah mengeluh, bahkan dia lebih
sering meminjamkan pundaknya untukku bersandar setiap kali aku mengantuk di
kereta meskipun sebetulnya dia sendiri juga benar-benar lelah dan mengantuk.
Dia selalu mengalah akan sesuatu hal hanya agar aku mendapatkan yang terbaik
yang aku inginkan.
Alfarish Andana Putra, itulah nama
kekasihku yang oleh Tuhan di panggil beberapa hari yang lalu untuk kembali
kepadanya. Dia adalah anak sulung dari dua bersaudara. Dia berasal dari
keluarga yang tak begitu kaya raya namun dia berusaha dengan sangat keras agar bisa
menyelesaikan pendidikannya di bidang kedokteran. Dia bekerja dengan sangat
keras agar bisa memenuhi biaya kuliahnya tanpa harus membebani orang tuanya.
Dia juga orang yang sangat cerdas dan pintar, jadi tak heran jika dia bisa
mendapatkan beasiswa untuk kuliah di bidang kedokteran yang pada dasarnya sulit
untuk dimasuki oleh orang-orang yang tidak benar-benar pintar dengan biaya
pas-pasan kecuali untuk orang-orang kaya yang memang sering menggunakan
kekuasaan uangnya untuk mendapatkan segala macam yang mereka inginkan.
Suatu hari aku pernah bertanya
padanya kenapa dia ingin sekali menjadi seorang dokter. Dan dia pun menjawab
bahwa dia ingin menjadi tangan kanan Tuhan.
Dia tahu Tuhan tidak perlu memerlukan pertolongan
untuk melakukan kuasanya. Tapi ia tetap ingin menjadi tangan kanan Tuhan, yang
dengannya ia dapat membantu untuk memberikan
harapan pada orang-orang yang sakit, menghapus rasa
sakit mereka dan membantu mereka mendapatkan kebahagiaan mereka kembali dalam
hal mendapatkan kesehatan serta membantu orang-orang yang tak mampu agar
mendapatkan
pengobatan gratis dan mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang-orang
lainnya tanpa adanya diskriminasi seperti kebanyakan yang di lakukan oleh
pihak-pihak rumah sakit saat ini. Yakni ada uang dilayani tapi kalau tidak maka
mereka akan disisihkan. Itulah yang dia jelaskan padaku. Dia tahu dia memang
bukan Tuhan yang dapat menyembuhkan semua penyakit orang, tapi setidaknya lewat
dirinya dia akan berusaha untuk membantu mereka mengatasi rasa sakitnya
meskipun jelas secara tidak langsung itu adalah kehendak Tuhan lewat dirinya.
Ketika aku mendengar alasannya itu,
aku semakin mengerti orang seperti apa dia dan betapa mulianya orang ini.
Hingga perlahan-lahan tanpa dipaksa hatiku menjadi semakin hari semakin
mencintainya. Hingga tak tahu jika cinta itu menjadi semakin besar seperti saat
ini. Sampai aku tak dapat melupakannya meskipun jasadnya telah berada damai di
alam sana. Tanpa terasa tetesan air hangat membasahi pipiku, aku menangis
ketika tiba-tiba saja kenangan itu menghampiriku. Sungguh aku tak dapat menghindar
dari tetes airmataku saat itu. Tuhan, tidak bisakah untuk sejenak kau biarkan
aku lupa ingatan, batinku dalam hati.
Kereta telah sampai di stasiun dan
aku pun langsung turun. Dengan sisa air mata yang masih membekas di pipiku, aku
menuju toilet untuk menghapusnya. Kusibak air itu dan terasa begitu segar
membasahi wajahku. Lekas itu, aku berjalan dan naik bis untuk sampai ke rumah
kontrakanku di Jogja. Aku terkejut ketika ku dapati Intan dan Sari yang tengah
bertengger di depan rumah kontrakanku.
“
Eh,, lama banget sih neng,,, aku sampai capek berdiri di luar sini,” ucap Intan padaku tanpa
basa-basi. Aku berpikir untuk apa mereka menungguku, tapi aku juga tahu apa
alasannya. Selama beberapa hari aku tidak menghubungi mereka jadi sudah sangat
jelas jika mereka mengkhawatirkanku. Dan mungkin saja kakak perempuanku itu
juga telah memberitahukan apa yang tengah terjadi kepadaku selama beberapa hari
ini.
“
Iya, aku juga udah capek Kar,
kakiku sampek kesemutan,” ucap Sari sambil merengek.
“
Iya, ma’af,,,” ucapku singkat.
“
Mana kuncinya?” ayo cepat-cepat kita masuk,” kata Sari.
Kami
pun masuk rumah bersama-sama. Mereka membantu memasukkan barang bawaanku di
kamar. Terdapat dua kamar tidur di rumah itu, dengan ruang tamu yang tak begitu
besar, ruang tengah yang agak luas dengan bertengger satu televisi dan karpet
berbulu disana serta dengan dapur dan satu kamar mandi. Mereka berdua sudah
hafal betul seluk beluk rumahku hingga Intan yang buru-buru ke kamar mandi yang
sudah tak lagi dapat menahan ingin buang air kecil tak perlu bertanya lagi
dimana tempatnya.
Meskipun
sudah tahu apa maksud mereka tiba-tiba kemari dan ingin menginap di rumahku aku
tetap berusaha bertanya kepada mereka.
“
Kenapa tiba-tiba ingin menginap disini?” tanyaku.
“
Apa maksudmu kenapa, kita kangen sama loe
tentu saja itu,”
“
Iya, lagipula ntar kita tidak bisa lagi menginap disini karena adik ipar kakak
loe mau tinggal di sini juga. Ya,, kan,,” tanya sari meminta kejelasan.
“
Ah, kau itu,, bilang saja kalau kau juga ingin sedikit cari-cari informasi tentang
adik ipar kakaknya Karin,
karna kamu mau membuang status jomblomu itu dengan mendekatinya, “ ledek Intan pada Sari.
“
Hushhh,,, memang keliatan jelas ya,,” ucap Sari dengan wajah bersemu merah.
Kami
semua pun tertawa melihat tingkah Sari yang benar-benar kocak. Temanku yang
satu itu memang sangat berbakat sekali dalam hal menghibur orang yang sedang
sedih. Tingkahnya masih saja konyol dan masih saja bersikap seperti anak kecil.
Jika kau melihatnya mungkin tak akan ada yang akan menyangka bahwa dia seorang
mahasiswi semester 5, mungkin semua orang akan mengira bahwa dia masih anak SMU
terlebih lagi anak SMP melihat betapa imut dan kecilnya postur tubuhnya.
Sementara Intan, dia seperti duplikat kakak perempuanku. Memiliki pemikiran
dewasa dan nasehat-nasehat yang membangun untukku. Dia lah tempat curhat
ternyaman kedua setelah kakakku. Dan aku sangat mencintai kedua sahabatku yang
selalu ada untukku itu.
Sedikitpun mereka tidak menyinggung
tentang kematian kekasihku meskipun mereka sangat-sangat ingin tahu kenapa hal
itu bisa terjadidan bagaimana dengan keadaanku saat ini. Mereka sangat-sangat
tahu, jika mereka bertanya tentang itu kabut pekat itu akan menghiasi mataku
lagi. Mereka menunggu, sampai aku benar-benar telah siap untuk menceritakan
semuanya kepada sahabat-sahabatku itu.
*****
Pagi menjelang, ku tarik gorden
kamar tidurku hingga terlihat matahari yang telah berada di langit dengan
manisnya, dengan awan biru yang indah sebagai permadani. Sungguh indah pagi
ini. Udara begitu segar ku rasa ketika jendela itu ku buka perlahan. Aku tak
sadar bahwa ada orang lain ditempat itu selainku.
“
Aduh,, Kar,,, silau nih,,,”
“
Iya, masih jam berapa sih?” Entar aja ke kampusnya,” seru Sari menambahi
omongan Intan.
“
Ah,, iya ma’af aku lupa kalau kalian ada disini. Udah lanjutin tidur dulu aja.
Aku mau ke kampus dulu. Ada hal yang harus ku urus,”
“
Okelah,, yang baru diangkat jadi Asdos.
Sibuk banget sih,,” ledek Intan yang masih dengan memincingkan mata karena
silaunya terik mentari pagi ini.
“
Ah,, kau ini. Sudah aku berangkat dulu,” ucapku.
“
Ya, hati-hati. Kau memang selalu semangat dalam hal apapun. Lakukanlah yang
terbaik. Aku dan Sari akan mendukungmu,” ucap Intan.
“
Iya, terima kasih,,” ucapku sembari memeluk mereka berdua yang masih dengan
rambut acak-acakan dan masih belum sadar sepenuhnya dari tidurnya. Aku memang
sudah bangun sejak subuh tadi. Itu sudah menjadi kebiaasaan yang tak bisa di
ubah dariku. Selalu bangun pagi dan bersiap-siap ke kampus meskipun masih
beberapa jam lagi.
Sebenarnya, aku masih punya banyak
waktu dan tak perlu datang sepagi ini ke kampus. Karena kuliah dimulai pukul
10.00. Tapi aku ingin singgah beberapa jam di Perpus karena harus menyelesaikan
bahan untuk mengajar adik-adik kelasku, menggantikan dosenku yang tengah izin
cuti beberapa bulan untuk menjalani operasi ginjalnya. Awalnya aku tak pernah
menyangka bahwa jadi Asdos
itu juga harus bisa mengajar semua mahasiswa menggantikannya. Ku pikir aku
hanya dijadikan tangan kanannya saja tanpa harus terjun secara langsung. Tapi
mau bagaimana lagi, dosenku telah memintaku menggantikannya selama beberapa
bulan dan aku tak bisa menolak untuk itu, karena beliau sudah ku anggap seperti
ibuku yang begitu mulia, sabar dan penuh pengertian.
Aku merasa gugup untuk beberapa
waktu saat itu, tapi sekarang sudah terbiasa. Aku cuman pengganti dan dosen
pembantu, jika dosenku telah kembali semuanya akan seperti semula. Dan aku
sangat menunggu saat itu tiba, hingga aku tak menjadi terlalu sibuk seperti
sekarang. Aku berdo’a sepanjang waktu untuk dosenku itu, jujur saja jadi Aslab saja sudah
menyibukkan apalagi Asdos. Tapi, aku cukup senang jika diriku bisa berguna
untuk yang lain, selain itu akupun bisa belajar dari semua itu.
Kampus begitu sepi, bahkan di perpus
pun hanya berisi segelintir orang saja. Akupun memilih duduk di samping jendela
kaca dengan membaca dan membolak-balik buku-buku yang telah ku cari di rak
tadi. Aku kembali ke kelas saat jam tengah menunjukkan pukul 10.00, karena
kuliahku akan dimulai. Kudapati Intan dan Sari yang tengah bertengger di bangku
tempat biasa kami duduk.
“
Lama amat sih Kar,,?”
“
Iya, gue pikir loe pingsan di perpus, makanya gue sama Sari mau terbang
kesana,”
“
Ah, loe tuh ada-ada saja, kalaupun gue pingsan. Gue gak mau milih pingsan di
perpus, ntar gak ada yang bantu gue,” ucapku menanggapi candaan Intan dan Sari.
“
Loe, tuh ya, mana ada orang pingsan bisa milih-milih tempat, kalau bisa aku
pasti akan milih pingsan di depan cowok tampan, biar dia yang bakalan nolongin
gue,” cerca Sari.
“
Ah, loe tuh Sar, kebanyakan ngehayal terus,,”
“
Biarin aja,,,” ucap Sari, acuh.
“
Sudah,,sudah kok jadi bicarain pingsan sih,,” ucapku melerai pembicaraan mereka
yang makin ketus satu sama lain.
“
Emangnya sapa yang mulai dulu,” sahut Sari.
“
Ah,, ya deh ma’af. Gue gak bermaksud bikin kalian khawatir. Hanya saja gue tadi
lagi serius banget nyelesain bahan ajar buat adik tingkat kita, sampai-sampai
gak bales sms kalian,”
“
Okelah,, nie kunci rumahmu,” ucap Intan sembari memberikan kunci rumah itu
padaku.
“
Loe, tuh Kar,,
gak takut apa rumahmu bakal ludes barang-barangnya oleh kita berdua,
sampai-sampai ninggalin kita di rumah loe sendiri,,”
“
Ah, gak bakalan, toh di rumah kontrakanku juga gak ada apa-apa,” ucapku
menanggapi ucapan Sari. Dan kami pun tertawa bersama-sama hingga sesaat sebelum
perkuliahan dimulai.
*****
Hari ini hanya ada satu mata kuliah
saja. Karena itu kami bertiga hendak hunting cari buku dan keperluan-keperluan
cewek sepulang kuliah. Jujur hal itulah yang menjadi favorit para mahasiswi,
kalau sudah bicara tentang shoping seolah semua hal menjadi terlupakan. Begitu
pula dengan Sari
yang sudah menyiapkan daftar panjang barang-barang yang hendak dibelinya nanti.
Entah berapa banyak orang tuanya mengirim uang sebulannya seolah-olah uangnya
tak pernah habis. Kebanyakan mahasiswi paling enggan diajak jalan atau shoping
pada tanggal tua karena kiriman uang mereka pasti menipis, tapi tidak dengan
Sari, dia tak pernah kehabisan uang sedikitpun. Jadi, jangan pernah coba-coba
menawarkan kepada Sari untuk pergi shoping, karena dia tidak akan pernah
menolaknya. Setiap haripun dia pasti mau.
Kami naik angkot ke tempat
pembelanjaan setempat atau ke mal-mal terdekat. Maklumlah dari kami bertiga tak
begitu suka naik motor, kami lebih suka naik angkot yang berdesak-desakan
karena penuh, daripada naik motor. Meskipun masing-masing dari kita punya
motor, kecuali Intan yang memang dari keluarga yang kurang berada. Tapi, itulah
sensasinya, dengan naik angkot kami bisa ngobrol bersama dan tertawa bersama
panjang lebar hingga panas dan sesak jadi tak terasa. Kalau naik motor kami
jadi tak bisa bercakap-cakap atau bercerita panjang lebar karena harus fokus
menyetir.
Seperti biasa tanggal muda, mal-mal
pada penuh, maklumlah bagi mahasiwa/mahasiswi
uang lagi cair-cairnya di tanggal muda. Mungkin juga kalau dihitung
statistik dari semua pengunjung yang ada di tempat itu, paling banyak adalah
mahasiswa atau mahasiswi. Sari masih berkeliling mencari barang-barang yang
telah ia daftar sebelumnya ketika aku dan Intan tengah duduk melepas lelah di
sebuah cafe terdekat dari tempat Sari berada.
Namun tiba-tiba terdengar dering HP
berbunyi, saking asyiknya aku tak menyadari bahwa HP ku telah berdering
beberapa kali tadi. Dan aku terkejut setelah ku dapati nomor kakakku di sana
dan beberapa nomor yang tidak ku kenal telah beberapa kali menghubungiku.
Langsung ku lakukan panggilan pada nomor kakakku.
“
Ada apa kak,,?”
“
Kamu kemana aja sih dari tadi kakak telponin gak di angkat-angkat. Lagi ada kuliah?”
“
Ah, ma’af kak, aku udah selesai kuliah dan sekarang lagi di mal untuk membeli
kebutuhan bulanan jadi gak kedengeran kalau kakak menelponku,”
“
Baikklah kalau gitu, sekarang kamu cepat ke stasiun gih,, dia pasti udah nunggu
lama,”
“
Ke stasiun,,? Siapa yang menunggu?”
“
Ituloh, adik kakak iparmu yang mau kuliah di tempatmu. Dia sudah sampai disana
beberapa jam yang lalu. Dia belum mengenal betul daerah sana jadi tolong jemput
dia ya,,” pinta kakakku.
“
Ah,, baiklah,, tapi kayaknya agak lama karna aku lagi gakbawa motor,”
“
Ya, tak apa, kau bisa menelponnya dia sedang ada dimana sekarang. Takutnya dia
udah nekat nyari rumahmu sendiri, soalnya dari tadi dia juga menghubungimu
tidak kamu angkat,”
“
Emm,,, baiklah kalau begitu,,”
Aku pun bergegas pergi ke stasiun
setelah izin pada Intan seketika itu. Intan pun langsung mengiyakan dan
menyuruhku untuk cepat-cepat pergi. Tapi mungkin berbeda halnya dengan Sari,
kalau sari pasti akan bakalan marah jika acara belanjanya sampai digangguin meskipun bukan kepentingannya secara langsung. Tapi
mengambil sahabatnya yang tengah menemaninya berbelanja adalah hal paling
menjengkelkan untuknya, meski kerap dia lebih sibuk sendiri.
*****
0 comments:
Posting Komentar