Hari
itu pun tiba. Hari dimana aku mulai berakting untuk jadi kekasih saudara kakak
iparku itu. Hari ini kuliahku memang tidak full time, maklum hari Jum’at
anak-anak banyak yang tidak suka menghabiskan waktu lama-lama di kampus pada
hari itu. Alhasil semua jadwal sebisa mungkin diganti agar hari Jum’at tidak
terlalu sibuk dan bisa pulang kampung untuk sebagian mahasiswa-mahasiswi yang
ingin pulang ke kampung halamannya.
Sesampainya di rumah, Rafi menyuruhku lekas
berkemas untuk segera berangkat ke puncak. Aku terkejut melihat sebuah mobil
mewah tengah terparkir di depan rumahku.
“Mobil
siapa itu?” tanyaku tanpa memperhatikan Rafi yang tengah mengemasi sebagian
barang keperluannya,
“Oh,
itu,, gue pinjam dari temen gue,”
“Buat
apa?”
“Ya,
buat kita pergi ke puncak lah, mau buat apa lagi coba,,”
“Emangnya
loe bisa nyetir,”
“Kalo”
kagak bisa ngapain gue pinjem,”
“Ah,,
jadi,, kita cuman pergi berdua aja gitu kesana?”
“Gak
usah histeris gitu, gue nggak akan apa-apain loe. Loe jangan kuatir deh, tenang
aja. Emangnya kenapa kalau kita hanya pergi berdua saja?”
“Ya,
nggak apa-apa sih,, cuman bakal sepi aja nie,”
“Kan
ada gue, kecuali kalau loe sendirian itu baru namanya sepi,”
“Tapi
loe kan,,,”
“Emangnya
gue kenapa?”
“Ah,,,
gak apa-apa,” ucapku mengurungkan perkataanku bahwa dia terlalu dingin untuk
sekedar di ajak bicara.
“Sudah
cepat berkemas, gue gak tanggung jawab kalau ada keperluan loe yang tertinggal,
dan gue gak mau jauh-jauh dari sana balik kesini lagi buat ngambil apa yang loe
butuhin,” ucapnya.
“Baiklah,,baiklah,,,”
Mobil pinjaman Rafi melesat dengan
cepat. Rasanya nyaman berada didalamnya. Tak kusangka bahwa Rafi bisa nyetir
mobil juga ternyata, bahkan lebih dari yang ku duga dia cukup ahli melewati
belokan-belokan ataupun jalan-jalan kecil. Alunan musik pun megiringi
perjalanan kami. Sepanjang perjalanan aku menikmati pemandangan disana-sini. Ku
buka kaca mobil itu, dan kurasakan angin yang berhembus menerpaku. Ku keluarkan
tangan kiriku, tuk merasakan hempasan angin yang lebih kuat lewat jemari-jemariku
itu. Dan kusadari sendari tadi Rafi asyik melihat kelakuanku.
“Ada
apa loe liatin gue,” tanyaku membuyarkan pandangannya yang sendari tadi
mengikuti gerak kelakuanku.
“Gak
apa-apa, emang kenapa kalau gue liatin loe,”
“Ya,
nggak apa-apa sih. Cuman,,,”
“Cuman
kenapa? Loe takut gue akan tertarik sama loe,”
“Maksud
gue,,,”
“Tenang
aja, gue masih waras. Gue tahu loe itu siapa, dan gue nggak akan jatuh cinta
sama loe. Dan gue juga tahu diri kalau cowok kayak gue ini bukan tipe loe”
“Emm,,baguslah,,kalau
loe tahu”
“Tapi,
gue boleh nanya sesuatu nggak?”
“Nanya
apa?”
“Em,,apa
sih yang bikin loe mencintai cowok loe, hingga loe masih susah ngelepasin dia
dari hidup loe, meskipun dia,,,dia,,,sudah tiada,”
“Oh,,itu,,,,”
“Apa
mungkin karna dia seorang dokter yang berhati mulia, atau memang kebanyakan
wanita menyukai pria yang pendiam dan romantis serta tidak agresif atau agak
berantakan kayak gue nie,”
“Em,,
kalau menurutku sih nggak semua wanita suka pria yang selalu pendiam dan
tenang. Dan bukan itu pula yang membuat gue mencintai Farish. Yang membuatku
suka padanya adalah sikapnya yang selalu menghargaiku, menghormatiku hingga
membuatku seolah melambung di udara. Dia juga bukan tipe cowok yang romantis,
dia bahkan tidak bisa mengungkapkan sendiri perasaannya. Yang dia lakukan
hanyalah bertindak untuk menunjukkan apa yang dia rasakan,”jelasku.
“Oh,,gitu,,
jadi setiap wanita itu pengen bukti, dan bukannya bualan saja,”
“Ya,
tepat sekali. Ah,, satu hal yang penting, setiap cewek juga sangat meyukai
cowok yang setia,”
“Garis
bawahin perkataannmu yang itu, dan coret saja kalau perlu. Menurutku tidak
setiap cewek suka pria yang setia. Loe tahu sendiri kan yang terjadi sama cewek
gue. Gue kurang setia apa coba, dia berulang kali berbuat kesalahan dengan
berselingkuh tapi gue selalu ma’afin dia. Dan setiap kali kita bertengkar dan
putus pasti gue dulu yang ngajak dia balikan. Terus kurang apa lagi gue, gue
udah mencintai dia sudah lima tahun lamanya sejak kami masih di bangku SMP.
Tapi, dia malah berselingkuh lagi,”
“Maksud
loh ini bukan pertama kalinya loe ngedapetin dia selingkuh?”
“Iya,
sebenernya sih gue udah berulang kali mergoki dia mesra bersama cowok lain.
Setelah gue tanya dia bilang cuman temen lah, apalah. Saat gue ajakin putus dia
malah nangis sejadi-jadinya. Mana tega gue, melihatnya nangis histeris kayak
gitu hati gue seolah teriris-iris oleh belati yang amat sangat tajam,”
“Em,,
ma’af ya,,,kalau gitu sih ada kelainan dengan cewek loe mungkin. Atau dia emang
gak bisa berikatan hanya dengan satu cowok saja,”
“Ya,
mungkin kau benar,”
“Kalau
loe udah sering liat dia kayak gitu, dan sering nasehatin dia tapi kenapa kali
ini loe gak bisa terima dan ma’afin dia balik atas sikapnya itu. Toh,, loe juga
pernah ngalamin sebelumnya bukan? Harusnya kan loe udah kebal. Atau loe udah
jenuh sekarang dengan kelakuannya?”
“Bukan,,bukan
karna itu. Gue masih sangat-sangat mencintainya dan gak mau kehilangan dia.
Makanya sebisa mungkin meskipun sakit dalam hati ini masih menganga, gue tetep
berusaha untuk memperbaiki dan menjaga hubungan gue dengannya,”
“Lantas,
kenapa?”
“Karena
kali ini yang jadi selingkuhannya adalah sohib gue sendiri,”
“Maksud
loe,, dia berselingkuh dengan sahabat karib loe yang sering loe ceritain itu?”
“Iya,,,”
Aku tahu warna mukanya kini telah
berubah setelah mengucapkan kata-kata yang telah berusaha dipendamya itu.
Wajahnya yang semula berseri-seri kini tampak pucat pasi. Aku tak bisa
bayangkan seberapa besar rasa sakit yang telah kekasihnya torehkan dalam
hatinya itu. Dan aku salut padanya karena sudah dapat bertahan dalam waktu yang
lama demi cintanya. Tapi, aku tahu kali ini mungkin dia sudah mencapai
batasnya, karena yang menjadi selingkuhan kekasihnya adalah sahabat karibnya.
Sahabat yang selalu di bangga-banggakannya tiap kali bercerita padaku. Sahabat
yang rela melakukaan apapun untuknya dan selalu ada untuknya. Namun kini dua
orang yang sangat dicintainya itu menusuknya dari belakang.
Sakit,,mungkin sangat sakit hatinya
sekarang. Andai saja aku tahu apa yang bisa ku lakukan untuk menghiburnya saat
ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Ku perhatikan mimik mukanya yang masih
tampak bersedih dan tersiksa dan kudapati salah satu tangannya gemetaran. Aku
memandang ke arahnya, tapi dia tetap mengarahkan pandangannya lurus ke depan
dan meneruskan mengemudi. Ini pertama kalinya dia tidak mempedulikan
keberadaanku di sampingnya. Padahal sendari tadi dia masih sibuk mencermati
kelakuanku. Tapi kini hanya kudapati kebekuan di wajahnya.
“Berhenti,”ucapku.
Tapi dia sengaja tak menghiraukannya atau memang dia tak mendengar perkataanku.
Aku pun mengulangi perkataannku lagi dengan suara yang lebih tinggi,” Hentikan
mobilnya,” bentakku. Dan baru saat itulah dia terkaget dan merem mendadak
mobilnya.
“Ada
apa?” tanyanya.
“Loe
mau ngecuekin gue sepanjang perjalanan ini,”
“Loe
ngomong apa sih, gue lagi konsen nyetir, siapa yang nyuekin loe,”
“Loe
pikir gue anak kecil apa yang gak bisa baca situasi. Wajah loe berubah setelah
loe cerita tentang pacar loe, dan tangan loe gemetaran, loe pikir gue gak
tahu,” bentak ku.
Tapi, dia hanya diam saja tak
berucap satu katapun. Dan seketika itu kulihat matanya berkaca-kaca. Dia
meneteskan air mata. Ini memang bukan pertama kalinya aku lihat cowok menangis.
Karena Farish, cowokku sendiri juga pernah menangis dua kali saat dia melihat
ku lemah terkulai tak berdaya karena typus yang menyerangku dan saat dia harus
meninggalkanku selamanya dari dunia ini. Tapi, ini pertama kalinya aku
melihatnya menangis. Maksudku cowok yang setegar dan sebrutal dia menangis, aku
benar-benar tak menyangka. Mungkin rasa sakit yang ditahannya kini sudah mulai
kronis hingga dia tidak bisa menahannya lagi.
“Terus
gue harus gimana Karin,,
Gue terlalu sayang ma dia,” ucapnya masih dengan terisak.
Aku mendekatinya perlahan dan
meraihnya dalam pelukanku. Aku tahu saat ini hanya itu yang bisa kulakukan
untuk membuatnya merasa lebih baik. Karena aku sendiri juga gak tahu harus
melakukan apa untuknya.
“Gue
gak tahu, lakukan aja apa yang pengen loe lakuin dan gue akan bantu loe sebisa
mungkin. Meskipun sakit tapi mungkin ini adalah keputusan yang terbaik buat
loe, loe bener-bener harus lepasin dia sekarang,” ucap ku sembari masih
memeluknya yang masih menangis.
Setelah beberapa menit pun akhirnya
tangisnya mereda. Seulas senyumnya menyungging ke arahku tuk mengisyaratkan
bahwa dia sudah baik-baik saja. Aku pun merenggangkan pelukanku dan
melepaskannya perlahan. Dan kami pun melanjutkan perjalanan.
*****
Aku tak tahu kapan tepatnya kami
tiba di puncak. Karena aku menghabiskan sebagian waktuku di mobil untuk
tertidur. Kusadari dan terbangun ketika mobil tengah berhenti di suatu tempat.
Ku dapati seuntai jaket melingkar dan
menutupi sebagian tubuhku. Aku tahu pasti Rafi yang tengah meletakkannya di
tubuhku, ketika aku tertidur. Makanya aku tak merasakan kedinginan udara di
puncak saat malam tiba.
“Sudah
bangun?”
“Ah,
iya,,, makasih ya,,”ucapku sembari memberikan jaketnya kembali padanya. Kita
sudah sampai?”
“Iya,
kita sudah sampai beberapa menit yang lalu,”
“Maksud
loe, loe tetep nunggu disini dari tadi?”
“Iya,
gue gak tega bangunin loe. Loe kelihatan nyenyak banget saat tidur,”
“Ah,
loe tuh,, Ya udah ayo kita masuk. Loe bilang semua temen loe udah nunggu disana,”
ajakku.
“Iya,,”
Aku masih bepikir sejenak dengan
sikapnya tadi. Ada apa dengan cowok ini, kenapa nggak membangunkanku dari tadi
kalau kita sudah sampai. Malah menungguku hingga aku terbangun dengan
sendirinya.
“Kita
mulai berakting sekarang, loe siap kan?”tanyanya.
“Ya,,”
jawabku.
“Loe
nggak gugup kan, kita harus terlihat mesra di depan mereka semua, terutama di
depan cewek gue,”
“Iya
tenang aja, gue rasa loe sendiri yang agak gugup,” tandasku melihat tingkahnya.
“Ya,
jujur gue sedikit gugup, tapi gue harus nyelesain semuanya sekarang. Gue gak
mau seperti ini terus,”
“Ya,
itu bagus,,” ucapku.
Kami memasuki Villa yang telah
disewa oleh teman-teman Rafi itu. Dengan menggandeng tanganku Rafi menebarkan
senyum kepada setiap temannya yang tengah memperhatikannya. Dan mereka semua
pun membalas dengan senyum yang sama seperti yang Rafi lakukan. Tapi, kudapati
sesosok cewek yang sudah tak asing lagi buatku, karna Rafi sudah sering
memperlihatkan fotonya padaku. Ya,,dialah cewek Rafi yang mungkin akan segera jadi
mantannya lagi nanti.
“Loe
bawa siapa Raf?” tanya sesosok cowok tinggi jangku dengan paras menawan dan
terdapat bekas kacamata di pelipisnya.
Dan aku tahu itulah dia, Anton, sahabat karib Rafi, yang hampir-hampir tak ku
kenali tanpa kacamata yang melingkar di matanya, padahal aku sudah sering pula
melihat fotonya.
“Oh,
ini Karin, cewek baru gue,” jawab Rafi mantap.
“Cewek
loe, loe gak bercanda kan, bukannya gue denger-denger issue kalau loe berencana balikan lagi ya sama
Angel, Angel juga baru saja nyampain berita gembira itu pada kita semua,” ucap
seorang cewek bertubuh kurus dengan rambut yang berkuncir bak ekor kuda, yang
kemudian ku kenal dengan nama Prisilia itu.
“Iya,
Raf,, gue tahu meskipun loe putus sama Angel beberapa bulan yang lalu. Gue
yakin pada akhirnya loe juga akan balikan lagi dengannya. Kalian memang
pasangan yang tak terpisahkan,” tambah seorang cewek bertubuh ramping dengan
rambut sebahu, dan rok mini yang tampak sangat cocok untuk postur tubuhnya itu.
Yang Rafi kenalkan padaku dengan nama Merryl.
“Tapi,,,
kok loe malah bawa cewek lain Raf,, Loe gak peduliin perasaan Angel?” desak
Anton meminta Rafi segera memberi penjelasan. Sementara masih ku lihat sesosok cewek dengan wajah
imut dan rambut panjang terurai itu, dengan bandana merah jambu yang melingkar
di kepalnya itu masih melihatku dengan tatapan sinis. Ya, dialah cewek Rafi.
Cewek dengan gaun yang sangat feminim itu, kini berdiri mendekat ke arahku dan
Rafi, dengan muka yang ku tahu tertulis kata jijik di depannya ke arahku.
Ya, mungkin dia tidak percaya bahwa
Rafi akan berjalan atau berpacaran dengan cewek seperti aku. Aku hanya
mengenakan blus biru yang biasa ku kenakan, dengan sepatu kets yang masih
melingkar di kakiku, dan dengan wajah berantakan tanpa polesan make up. Itu sangat
jauh di banding dengan dirinya yang aduhai, yang dimana setiap pria yang
melihatnya pasti akan terpesona pada pandangan pertama. Dan pantas saja jika
gadis seksi dengan wajah imut seperti dia sering di kagumi oleh banyak pria
termasuk pria-pria yang menjadi korban perselingkuhannya itu.
“
Maksud loe apa bawa cewek kemari?” Loe berniat buat bikin gue cemburu?” Itu
nggak mungkin mempan?” ucapnya pada Rafi sembari mendatang mendekat ke arah
rafi dan hendak mencium bibir Rafi. Mungkin mereka sering melakukannya atau
lebih tepatnya dia yang sering melakukannya karena tak tersirat sedikitpun
kekakuan dari kelakuannya itu. Tapi Rafi menolak dan menghindar dari ciuman
cewek agresif ini. Terpasang raut wajah yang merah padam dan malu di muka cewek
itu.
“Ada
apa dengan loe?” tanya Anton.
“Gue
nggak apa-apa,” jawab Rafi singkat.
“Kalau
gak ada apa-apa kenapa loe ngehindar?” tanyanya lagi.
“Gue
hanya sudah gak minat dengan ciumannya,” ucap Rafi mantap.
“Maksud
loe?” tanya cewek itu, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di
lontarkan oleh mulut Rafi.
“Gue,
gak berniat balikan lagi sama loe. Dan sebaiknya rencana kita buat balikan di
batalkan saja,”
“Maksud
loe? Loe udah nggak mau jadi cowok gue lagi?”
“Iya,
“
“Ah,
loe pasti bercanda. Dulu loe juga ngomong begitu, tapi ujung-ujungnya loe juga
minta gue buat balik sama loe,”
“Mulai
sekarang dan seterusnya, gue nggak akan bersikap seperti itu lagi,”
“Kenapa?”
Kenapa loe jadi begini?” tanyanya masih dengan raut wajah tak percaya.
“Loe
tahukan gue sedang bawa cewek di samping gue,” ucapnya.
“Terus
kenapa?”
“Gue
sudah gak tertarik lagi sama loe, dan cewek di sebelah gue ini yang sekarang menarik perhatian
gue,”
“Maksud
loe, loe udah nggak tertarik lagi sama gue dan malah loe tertarik dengan cewek
macam dia,” ucapnya begitu pedas dengan memandang ke arahku dengan sinisnya
hingga membuatku begitu geram. Tapi tangan Rafi menggenggamku dengan sangat
erat, megisyaratkan padaku untuk bersabar sedikit lebih lama. “Hello,,, gue
Angel, Raf,,” ucapnya dengan PD nya.
“Iya,
gue tahu. Tapi ma’af ya tapi aku sudah jenuh sekarang denganmu,” ucap Rafi.
Cewek itu langsung mengangkat
sebelah tangannya dan mendaratkan sebuah tamparan di pipi kanan Rafi. Dan cowok
di sampingnya atau tepatnya sahabat karib rafi, Anton juga mendaratkan tonjokkan
keras ke arah rafi hingga membuat bibir sebelah kanan Rafi berdarah. Aku hanya
berdiam mematung di situ. Rafi hanya diam tak membalas setiap pukulan
sahabatnya itu, sementara tangannya yang menggenggam tanganku, gemetaran hingga
dia makin mempererat genggaman untuk pukulan-pukulan berikutnya yang dia
terima. Dan kemudian
teman-temannya yang lain pun melerai dan menghentikan pukulan Anton yang ke
empat kalinya.
Menurut teman-temannya, itu pertama
kalinya Anton bertengkar dengan Rafi dan menonjok Rafi seperti itu. Sebelumnya
mereka tak pernah melihat Anton marah sekalipun apalagi hingga memukul orang.
Sama dengan penampilannya Anton terkenal sebagai orang yang pendiam dan ramah,
tapi kali ini sikapnya sungguh berbeda. Semuanya pun merasa ada yang aneh yang
terjadi dalam diri Anton.
“Sudahlah
kita hentikan pertengkaran ini. Sekarang sudah malam dan waktunnya istirahat.
Loe balik ke kamar?” ucapnya pada Anton. Dan loe Raf, loe mending tidur di
kamar gue dulu biar Anton sendirian,” ucap seorang cowok maskulin yang terlihat
cool dan tegas itu yang,
Rafi perkenalkan sebagai Diaz, mantan ketua kelasnya dulu saat SMA, termasuk
ketua geng diantara kawan-kawannya itu. “Dan pacar loe, maksud gue cewek di
samping loe itu biar tidur dengan Cindy di kamarnya,” Ucapnya.
“Apa
sudah ndak ada kamar kosong lagi?” tanya Rafi.
“Ada
tinggal satu, kamar Rizal sama Dani. Mereka belum datang mungkin agak malem
mereka datang,” jelas Diaz.
“Gue
akan pakai kamar itu dengan cewek gue,” ucap Rafi yang membuatku terlonjak
kaget. Cowok disamping ini rasanya sudah gak waras setelah mendapat beberapa
pukulan dari sohibnya itu, batinku. Mana mungkin dia mengusulkan untuk tidur
sekamar denganku. Sama denganku,
teman-temannya yang lain
pun terkejut dengan perkataan dan sikap Rafi.
“Loe
beneran mau tidur dengan cewek ini?” ucap gadis berambut pirang atau yang lebih
tepatnya gadis dengan rambut yang di semir menyerupai bule itu, yang kemudian
ku kenal dengan nama Hera.
“Iya
emangnya kenapa?” jawab Rafi lagi. Sementara aku yang di sampingnya masih
mematung melihat semua orang menghakimi Rafi.
“Gue
tahu, loe marah malam ini, tapi loe gak harus seperti ini,” bentak Diaz.
“Memangnya
kenapa? Apakah salah jika seorang pria ingin tidur sekamar dengan teman
wanitanya?” jawab Rafi
yang membuatku kembali terlonjak kaget.
“Cowok ini..benar...benar...,” batinku.
“Tapi,
Raf,, bukankah kita sudah berjanji bahwa dalam geng kita tidak boleh ada yang
berbuat seperti itu sebelum kita
menikah,” jelas Diaz.
“Gue
tahu, tapi apa loe bisa jamin kalau yang lain masih bisa memegang janji kita?”
Gue gak mau sembunyi-sembunyi, gue akan jujur jika gue langgar janji gue dan
gue siap untuk konsekuensinya,” jelas Rafi. Sudahlah kita bahas besok saja,
mana kuncinya? Gue dan cewek gue lelah habis perjalanan jauh,” ucap Rafi sembari
menjulurkan tangannya untuk menerima kunci kamar dari Diaz.
Diaz sepertinya enggan memberikan
kunci itu pada Rafi, tapi karna Rafi memaksa Diaz tidak bisa berkata apapun
lagi dan tak punya pilihan yang lain lagi selain memberikan kunci itu pada
Rafi. Rafi menggandengku dan mengajakku pergi ke kamar kami. Masih ku dapati
wajah-wajah teman Rafi, yakni Prisilia, Hera, Merryl, Anton, dan Diaz yang
masih diam ditempat dan menatap kami berdua yang tengah berlalu pergi. Masih
juga ku lihat wajah cewek Rafi yang terlihat sangat marah dan kecewa.
*****

0 comments:
Posting Komentar