Beberapa
minggu kemudian acara pernikahan kami pun berlangsung. Acara pernikahan itu
cukup sederhana. Hanya ijab qobul dan makan-makan dengan keluarga besar,
kerabat dan teman-teman terdekat saja. Kami tidak dapat melakukan pernikahan
yang mewah karena Park Young Ha harus terbang kembali ke Jepang untuk mengurus
pembangunan cabang rumah sakit ayahnya. Tapi, kini dia tidak akan sendiri lagi
terbang ke sana. Karena saat dia terbang kesana, aku akan berada di sisinya
untuk menemaninya. Orangtuaku memang berat melepasku, tapi mereka tahu semua
keputusan berada di tanganku. Dan mereka pun percaya padaku bahwa aku telah
mengambil pilihan bijak yang tak akan pernah ku sesali nantinya.
Dapat
ku lihat semua temanku berkumpul di sana. Orang tua angkat Park Young Ha juga
menyempatkan diri untuk datang menghampiri pernikahan kami. Paman dan Bibi Park
Young Ha yang ku kenal dengan nama Lee Tae Min dan Shin Eun Jung itu,
mendampingi Park Young Ha sejak dia menginjakkan kaki ke Indonesia untuk
meminangku hingga pernikahan ini berakhir. Dapat ku lihat juga Liena dan
keluarganya hadir di sana. Disampingnya terdapat Yutaka yang menggendong putra
pertama mereka. Sementara Tuan Yamato dan Nyonya Mayumi asyik mengobrol dengan
besannya yang tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Erwin dan Ibu Mira. Kakakku
dia tersenyum lebar ke arahku dengan menggendong anak ke duanya yang baru lahir
beberapa hari yang lalu sebelum pernikahanku.
Usai ijab Qobul dan semua hal yang
menyertainya, ketika semua orang sudah menyatakan sah. Dengan tiba-tiba Park
Young Ha mengecup bibirku. Aku begitu kaget, sama halnya dengan semua orang
yang berada disana. Semua orang yang berada di sana sontak terkejut dengan apa
yang di lakukannya. Beberapa orang tua menutup mata anaknya yang masih kecil.
Baginya, atau di negerinya mungkin hal itu sudah biasa, mereka bahkan sudah
sering melakukan ciuman di depan umum bahkan meskipun belum menjadi mahramnya.
Tapi, di negeriku yang berbeda jauh kebudayaannya hal itu masih terlihat tabu,
walaupun kami sekarang sudah menjadi mahram dan halal satu sama lain.
“Kamu
bilang aku bisa menciummu kalau aku sudah menjadi suamimu,” bisiknya padaku
ketika itu.
Aku
yang masih canggung karena semua orang memperhatikanku. “Iya, tapi tidak di
tempat umum..,” bisikku.
Dia mengerti apa maksudku, dan saat
itu pula dia berdiri dan membungkuk minta ma’af kepada semua tamu yang hadir di
pesta pernikahanku. Semua orang-orang itupun tertawa kecil melihat kelakuan
Park Young Ha yang seperti anak kecil, yang segera meminta ma’af ketika dia
berbuat salah, meskipun begitu aku menyukainya, menyukai seseorang yang masih
seperti anak kecil yang lugu itu. Semua orang yang kebanyakan adalah kerabatku
dan teman-teman dekatku itu dapat memaklumi tindakan Park Young Ha, pasalnya
mereka semua tahu bahwa lelaki yang kini sudah menjadi imamku itu masilah
seorang mu’alaf. Kakakku tersenyum lebar ke arah Park Young Ha dan menepuk
bahunya. Dapat kulihat jelas kini kakakku membisikkan kata-kata pada telinga
Park Young Ha. Aku yang berdiri di samping Park Young Ha untuk menyalami
tamu-tamu yang mengucapkan selamat kepada kami berdua itupun samar-samar dapat
mendengar bisikan kakakku pada Park Young Ha.
“Tidak
apa, kau sudah menunggu dan menahannya cukup lama, aku bisa memakluminya,”
bisik kakakku.
Park
Young Ha yang mendengar itu tersenyum lebar, dan dia tersenyum pula ke arahku
yang membuatku bersemu merah karena malu. Tapi, untuk menyembunyikan hal itu
aku memfokuskan diriku untuk kembali menyalami tamu-tamuku.
Sudah cukup malam ketika semua tamu
itu pergi meninggalkan kami berdua. Aku sudah cukup lelah hari itu begitu pula
dengan Park Young Ha. Kerabat orang tuaku memang cukup banyak. Maklumlah ini
pernikahan terakhir anaknya, jadi orangtuaku mengundang semua kerabat besarku.
Kami pun segera beristirahat untuk melepas kelelahan itu.
“Najwa
chan...,” ucapnya.
“Iya..,”
“Aku
boleh melihat mahkotamu?” tanyanya.
“Ya,
tentu. Kau kini sudah menjadi imamku,” ucapku dengan senyuman ke arahnya.
Dia tersenyum balik kearahku. Di
bukanya perlahan hijab yang tengah menutupi mahkotaku itu olehnya. Dapat
kulihat begitu takjubnya dia melihat rambut panjangku yang bersembunyi di balik
hijabku. Dipegangnya rambutku dengan lembut olehnya.
“Rambutmu
indah, Najwa chan. Aku begitu beruntung bisa melihat mahkota yang mati-matian
kau lindungi itu,” ucapnya. “Najwa chan, Aku mencintaimu..,” ucapnya dalam
bahasa Indonesia.
Aku
sedikit terkejut mendengarnya. “Kau bisa bahasa Indonesia?”
“Iya,
memangnya Najwa chan pikir aku hanya belajar bahasa Indonesia hanya untuk
kata-kata yang ku ucapkan di ijab Qobul itu tadi?” ucapnya dengan sedikit
manyun. “Aku sudah belajar keras agar bisa berbicara bahasa Indonesia dengan
baik. Aku kan juga ingin bisa mengobrol dengan orang tuamu, tanpa harus kau
yang menjadi penerjemah,” ucapnya kemudian masih dengan sedikit manyun.
Aku
hanya memperhatikan kelakuan lucunya itu dan berbisik lembut di telinganya.
“Sarangheyo. Sarangheyo..Young Ha sshi...,” ucapku. Dia terbelalak kaget
mendengar perkataanku.
“Kau...bisa
bahasa Korea?” tanyanya seketika.
Aku
mengangguk. “Ya, aku minta kakakku mengajariku..,” ucapku. Dia tersenyum
bahagia dan mengecup keningku.
“Najwa
sshi,” ucapnya kini dengan bahasa korea.“Boleh aku menyentuhmu?” tanyanya.
Aku
membisikkan kata-kataku di telinganya. “Iya, Young Ha sshi. Kini aku sudah
halal bagimu, dan kau juga sudah halal bagiku. Kau kini sudah berhak atas
diriku,” bisikku padanya. Dia memandangi wajahku dan tersenyum bahagia. Begitu
pula dengan diriku. Aku melihat sepasang mata teduhnya, yang dulunya hanya bisa
ku lihat tanpa sengaja di balik pohons akura itu, kini bisa kunikmati setiap
hari dengan lebih dekat. Seketika itu juga ketika mata kami saling bertatap
pandang, dia tersenyum dan segera meraihku dalam pelukannya.
Aku masih bangun di setiap
pertengahan malam. Aku masih menggelar sajadah panjangku dan bersimbuh
kepada-Nya, sang pemilik alam semesta ini. Namun, kali ini aku tak bersimbuh
untuk menangis, agar tuhan mengambil rasa cintaku kepada pemilik sepasang mata
di balik sakura itu. Tapi, melainkan mengucap syukur atas segala kuasanya
karena telah memberikan hadiah terindah dalam hidupku setelah semua hal yang
telah terjadi.
Tuhanku, terima kasih...
Karena tlahh mengizinkanku untuk
memilikinya
Karena tlah mengizinkan cinta ini
untuk masih kumiliki
Tuhanku...
Bersama dengan lelaki yang telah
menjadi imamku ini
Hamba berdo’a penuh pengharapan
kepada-Mu
Agar Engkau bersedia menjaga cinta
kami
Dalam keagungan dan keabadian
kasih-Mu
Sampai akhir nanti
Hingga kami kembali menghadapmu
A.N.E
0 comments:
Posting Komentar