Aku
begitu terkejut ketika mendapati telepon rumahku berdering dan kudapati
seseorang di seberang sana yang sudah ku kenal adalah seseorang yang sangat ku
kenal dan ku nanti-nanti. Aku bertanya-tanya darimana dia dapat nomor telepon
rumahku? Pikirku. Tapi, aku bisa menebak bahwa itu pastilah ulah kakakku karena
sendari tadi dia senyum-senyum kecil melirikku yang dengan jantung
berdebar-debar menerima telpon dari seseorang yang berada di seberang sana.
Aku lebih terkejut lagi ketika aku
mendengar bahwa dia sedang berada di sini sekarang, di kotaku, Yogyakarta. Aku
berkali-kali bertanya padanya. Tapi, dia juga tetap memberikan jawaban yang
sama. Dan mendengar jawabannya yang kelima kali dari pertanyaanku itulah aku
percaya bahwa dia benar-benar berada di sini. Di tempat yang tak begitu jauh
dariku. Di tempat yang tak lagi terpisah oleh didinding tinggi dari tempat itu.
Di tempat dimana waktu tidak akan berbeda jauh dari tempat itu. Dia di
Indonesia sekarang, benar-benar di Indonesia dan bukannya di negeri Jepang.
Terlebih lagi, dia di Yogyakarta, di Bandara Adi Sucipto, dan memintaku untuk
bersedia menjemputnya di sana. Karena ini pertama kalinya dia menginjakkan
kakinya di Yogyakarta. Dia pernah beberapa kali datang ke Indonesia dengan ayah
angkatnya dokter Dokuro, tapi itu hanya ke Bali.
Aku
tahu kakakku sudah tahu sebelumnya tentang berita kedatangannya itu. Dia sudah
berpakaian rapi dan menyiapkan kontak mobil di tangannya. Dia mengajakku untuk
menemaninya. Aku menatap kakakku penuh selidik.
“Kak
Nara..,”
“Apa?”
“Jujur
deh, kakak sebenarnya sudah tahu kan dia mau datang?” Kakakku tidak menjawab
pertanyaannku dan hanya tersenyum simpul ke arahku. “Kakak tega banget
denganku?” ucapku.
“Kakak
bilang, kakak sudah lama tidak berhubungan lagi dengannya. Tapi, kakak malah
lebih tahu tentang keadaannya dariku,”
“Ma’af...
kakak sebenarnya juga ingin memberi tahumu. Tapi, dia melarangnya,”
“Kenapa?”
“Dia
hanya tidak ingin kau khawatir. Dia banyak mengalami kesulitan beberapa waktu
lalu. Kau tahukan tak mudah baginya untuk bisa menjadi muslim?”
“Iya..,”
“Dia
berusaha keras meyakinkan orang tua angkatnya bahwa itu adalah jalan yang
terbaik untuknya,”
“Em..begitu,
tapi tak seharusnya dia menyembunyikannya dariku. Dia menanggung kesedihannya
sendiri tanpa ku tahu,” ucapku. “Terus, kalau akhir-akhir ini, kenapa dia tak
menghubungiku sama sekali..,” tanyaku dengan manyun ke arah kakakku.
“Kalau
masalah itu, sebaiknya kau tanyakan saja padanya,” ucap kakakku sembari
mencubit pipiku.
Tak beberapa lama kami pun tiba di
bandara Adi Sucipto. Aku melihat dia yang melambai ke arahku dan kakakku. Tapi,
yang kuherankan dia tidak datang sendiri ada dua orang separuh baya di
sampingnya yang tak ku tahu dengan jelas itu siapa. Dari kejauhan, aku mengira
dia pasti datang bersama dengan Dokter Dokuro dan Nyonya Misaki, orangtua
angkat Park Young Ha, tapi ternyata bukan. Aku lebih terkejut lagi ketika
melihat sang wanita mengenkan jilbab sama sepertiku. Dia tersenyum dan
buru-buru berlari menghampiriku. Hampir-hampir saja dia melepaskan kerinduannya
dengan memelukku, jika saja kakakku tidak berdehem untuk memperingatkannya.
“Tunggu,
sampai aku menjadi halal bagimu...,” ucapku berbisik ke telinganya dan dia pun
tersenyum mendengar kata-kata itu.
“Aishiteru[1],”
ucapnya padaku. Dan aku memberikan senyuman termanisku untuknya.
Sebelum naik ke mobil, dia
memperkenalkan dua orang pria dan wanita yang berdiri di sampingnya. Kedua
orang itu adalah paman dan bibi Park Young Ha yang dengan susah payah di
carinya selama lebih dari satu tahun. Dia begitu bersyukur jika ternyata paman
dan bibinya juga menganut agama yang sama dengannya. Untuk mencari kedua orang
itulah dia tidak bisa menghubungiku lewat email selama beberapa bulan.
Sebenarnya, yang di carinya adalah orang tua kandungnya tapi kedua orang tuanya
sudah meninggal akibat kecelakaan mobil setelah memberikan Park Young Ha ke
panti asuhan. Sementara itu, paman dan bibinya tidak tahu kalau kakaknya
memiliki seorang putra. Karena mereka berdua sudah di usir dari keluarga
besarnya karena menganut agama islam.
Orangtuaku menyambut kedatangan Park
Young Ha beserta Paman dan Bibinya, dengan ramah. Mereka membicarakan maksud
kedatangan mereka kemari bahwa ingin segera meminangku. Aku yang saat itu hanya
memakai gamis biasa begitu terkejut mendengar hal itu. Ketika aku membuatkan
minum dan menyiapkan makanan kecil di dapur ibu berbisik kecil ke arahku.
“Oh,
jadi pemuda itu, yang membuat anak gadis ibu rela menjadi perawan tua,” ucap
ibuku.
“Ibu...Tapi,
ibu menyetujuinya bukan?”tanyaku dengan malu-malu.
“Setuju
apa?”
“Ya,
setuju jika dia mau jadi imamku,”
“Kau
yakin itu maksud kedatangannya kesini...?” goda ibu padaku. Aku mengangguk
malu. “Ya, bagaimana ya...,”
“Ibu...,”
“Bagaimana
mungkin ibu tidak menyetujuinya. Ketika ibu tahu sendiri anak gadis ibu ini
sudah menjaga dirinya begitu lama hanya untuk menunggu pemuda itu meminangnya,”
ucap ibuku. Aku langsung memeluk ibuku dan mencium sebelah pipinya.
“Terima
kasih...,” ucapku.
“Ya,
ma’afkan ibu karna bersikap kasar padamu dan memaki pemuda itu,”
“Iya,
aku tahu bahwa sebenarnya ibu tidak bermaksud seperti itu,”
“Anak
gadis ibu satu-satunya akan menjadi istri orang. Ibu harap dia pilihan yang
tepat untukmu. Sekali lagi, ma’afkan ibu karena sempat menghalangi jalanmu,”
ucap ibuku dengan berlinang air mata dan memelukku dengan eratnya. Aku pun
membalas pelukan ibuku dengan tak kalah hangatnya.
0 comments:
Posting Komentar