Studiku
sudah berakhir di negeri sakura ini, dan kini saatnya aku harus kembali. Aku
harus kembali ke negeriku, Indonesia. Aku tak akan lagi merasakan hangat dan
lembutnya udara musim semi dan betapa indahnya kenangan-kenangan yang pernah ku
lalui di musim semi. Aku juga harus meninggalkan dia yang sangat ku cintai di
sini. Sementara aku kembali, tidak dengan Liena. Liena menerima ajakan Yutaka
untuk bertunangan dan menikah dengannya. Dan itupun sudah mendapat persetujuan
dari ke dua orang tua Liena. Karena itu dia menetap di sana sampai pesta
pernikahan itu berlansung dan mungkin dia selamanya akan menetap di sana
bersama Yutaka. Dia menyuruhku untuk menghadiri pesta pernikahannya di Jepang
beberapa bulan lagi. Dan aku mengiyakan untuk itu.
Liena memelukku ketika aku
berpamitan untuk pergi ke bandara hari ini. Hal yang sama juga di lakukan oleh
Nyonya Mayumi dan anak perempuannya. Mataku sempat berkaca-kaca ketika berpisah
dengan mereka. Bagaimana tidak, mereka sudah ku anggap seperti keluargaku
sendiri. Menjagaku saat aku sakit dan membantuku saat aku mendapat kesulitan.
Aku sungguh-sungguh bersyukur karena Tuhan mengirimkan orang-orang baik itu
kepadaku.Usai acara perpisahan itu, aku langsung melesat menuju bandara Narita
dengan mobil yang di kemudikan oleh Park Young Ha.
Dengan seizinku, Park Young Ha terus
menggenggam sebelah tangannku sampai kami tiba di bandara. Rasanya, ia tak
ingin melepas tanganku dari genggamannya. Aku bisa memahaminya sama seperti
dirinya aku juga rasanya berat untuk berpisah darinya. Kami sering menghabiskan
waktu bersama, belajar bersama dan bahkan merawat orang-orang di rumah sakit
bersama-sama. Tapi, kebersamaan itu sekarang harus berakhir. Pernah suatu
ketika aku berkata padanya bahwa jika dia merindukanku, dia hanya harus menatap
langit biru karena aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku merindukannya.
Aku percaya ketika kami berdua sama-sama memandang langit biru di saat itulah
mata kami akan saling bertemu.
“Najwa
chan, aku pasti akan merindukanmu,”
“Ya,
begitu juga denganku,”
“Berhati-hatilah
Najwa chan. Tunggu aku, aku akan datang ke sana suatu saat nanti. Dan ku harap
saat aku disana kau masih bersedia menungguku. Aku mohon berjanjilah padaku
Najwa chan. Berjanjilah padaku, berjanjilah kau bersedia menungguku,” ucapnya.
“Young
Ha kun...,”
“Aku
tidak akan mengingkari janjiku yang ku buat padamu. Aku pasti akan datang suatu
saat nanti,”
“Hmm...aku
akan menunggumu. Tapi, aku tidak bisa menjanjikan untuk menunggumu sampai
akhir. Karena kau tahu itu tidak akan mungkin. Aku akan menunggumu semampuku.
Dan ku harap kau segera memenuhi janjimu
sebelum aku mencapai batasku,”
“Ya,
pasti,” sembari melambaikan tangannya dan tersenyum lebar yang ku tahu itu di
paksakannya karena ku dapati kesedihan dalam sepasang mata teduh itu. Aku pun
tersenyum balik meski itu juga ku paksakan. Karena aku takut, jika benar ini
pertemuan terakhir di antara kami aku hanya ingin memberi kesan bahagia dalam
kenangan terkahirku dengannya.
Sudah setahun lebih aku berada di
Indonesia, tepatnya di Yogyakarta. Aku melakukan rutinitasku sebagai dosen di
universitas yang telah memberi gelar doktor ini kepadaku. Dan tentunya menjadi
dosen di bidang kedokteran. Aku memang tak bekerja di rumah sakit, tapi jika
ada waktu senggang aku selalu menghabiskan waktu untuk sekedar membantu di
sana. Karena rumah sakit itu, juga rumah sakit kampus jadi aku juga
berkewajiban untuk mengelolanya dengan baik juga.
Ibuku berkali-kali memarahiku karena
aku tidak mau menikah-menikah padahal sudah banyak pria berdatangan silih
berganti meminangku, tapi aku tetap saja menolaknya. Aku masih ingin menunggu,
menunggu pemilik sepasang mata di balik sakura yang telah mencuri hatiku itu. Tapi,
ibuku tetap saja tak mau mengerti hatiku. Dia tetap saja ingin aku segera
menikah karena usiaku sudah tidak muda lagi. Terlebih lagi, karena kakak iparku
sudah mau melahirkan anak keduanya.
“Najwa,
sampai kapan kau harus menunggu pemuda itu. Pemuda itu hanya membohongimu, dia
sama saja dengan orang-orang kafir lainnya?” Ibuku naik pitam dan memarahiku.
“Ibu,
dia sudah masuk islam. Dia sudah jadi mu’alaf, aku tidak mau ibu menyebutnya
pemuda kafir lagi,” ucapku dengan linangan air mata. Aku tahu ibuku tak
bermaksud menyakitiku. Aku tahu ibu sebenarnya tak ingin melontarkan kata-kata
kasar itu. Karena ini pertama kalinya aku mendengar ibuku melontarkan kata
kasar itu.
Sudah beberapa bulan yang lalu sejak
aku menerima email darinya bahwa dia sudah masuk islam. Di kirimkannya beberapa
fotonya, dengan kiyai yang dia temui yang mengajarinya tentang agama dan cara
membaca Al-Qur’an. Dia pun sempat memperdengarkan bacaan Al-Qurannya padaku
meski masih belum begitu lancar. Tapi, aku menyukainya. Aku menyukai jika
lelaki itu sudah menetapkan hatinya untuk masuk agama islam, sehingga dia
menjadi saudara seimanku. Tapi, setelah semua itu dia tak pernah mengirim kabar
apapun lagi. Entah apa yang tengah di lakukannya di sana? Terlalu sibukkah dia
hingga tidak sempat mengabariku? Pikiran seperti itu selalu menghampiriku.
Tapi, untunglah ada kakakku. Kakakku
yang mengambil cuti selama beberapa minggu karena anaknya mau lahir itu selalu
membantuku. Dia selalu bisa melerai pertengkaran antara aku dan ibu. Dia selalu
bisa membujuk ibuku untuk membiarkanku pada pilihanku. Dan dia juga selalu ada
untuk menjaga hatiku.
“Najwa...,”
“Iya,
kak...,”
“Kau,
masih mau menunggunya?” Aku tak menjawab dan hanya mengangguk. “Sebaiknya kau
sholat istikharah untuk meminta petunjuk,” usul kakakku.
“Aku
sudah melakukannya kak. Aku malah melakukannya setiap hari,”
“Trus..apa
hasilnya?”
“Aku
masih tetap mantap untuk menunggu. Aku percaya, bahwa dia akan datang dan
penuhi janjinya. Bukankah kakak sudah memastikan sendiri bahwa dia tidak pernah
berbohong dengan perkataannya?”
“Iya,
aku memang memastikannya. Aku memastikan bahwa dia sudah benar-benar menjadi
muslim. Tapi, aku tidak bisa jamin bahwa lelaki dengan masa lalu seperti dia
bisa menjadi imam yang terbaik untukmu,”
“Tidak
ada yang terbaik di dunia ini kecuali Allah kak. Allahlah pemilik semua
kebaikan dan kesempurnaan itu. Dan aku mencintainya, bukan karena wajah
tampannya atau kebaikan hatinya. Aku mencintainya karena ku percaya bahwa
dialah imam yang Allah takdirkan untukku. Dan mengenai masa lalunya itu? Aku
mungkin memang tidak bisa menghapus masa lalunya yang kelam itu, tapi aku akan
berusaha untuk menjadikan masa depannya indah bersamaku dengan izin Allah,”
“Iya,
baiklah jika kau berpikir seperti itu. Dan bersedia menerima dia beserta masa
lalunya,”
0 comments:
Posting Komentar