Senin, 09 Juli 2018

Sepuluh

Edit Posted by with No comments


             Studiku sudah berakhir di negeri sakura ini, dan kini saatnya aku harus kembali. Aku harus kembali ke negeriku, Indonesia. Aku tak akan lagi merasakan hangat dan lembutnya udara musim semi dan betapa indahnya kenangan-kenangan yang pernah ku lalui di musim semi. Aku juga harus meninggalkan dia yang sangat ku cintai di sini. Sementara aku kembali, tidak dengan Liena. Liena menerima ajakan Yutaka untuk bertunangan dan menikah dengannya. Dan itupun sudah mendapat persetujuan dari ke dua orang tua Liena. Karena itu dia menetap di sana sampai pesta pernikahan itu berlansung dan mungkin dia selamanya akan menetap di sana bersama Yutaka. Dia menyuruhku untuk menghadiri pesta pernikahannya di Jepang beberapa bulan lagi. Dan aku mengiyakan untuk itu.
            Liena memelukku ketika aku berpamitan untuk pergi ke bandara hari ini. Hal yang sama juga di lakukan oleh Nyonya Mayumi dan anak perempuannya. Mataku sempat berkaca-kaca ketika berpisah dengan mereka. Bagaimana tidak, mereka sudah ku anggap seperti keluargaku sendiri. Menjagaku saat aku sakit dan membantuku saat aku mendapat kesulitan. Aku sungguh-sungguh bersyukur karena Tuhan mengirimkan orang-orang baik itu kepadaku.Usai acara perpisahan itu, aku langsung melesat menuju bandara Narita dengan mobil yang di kemudikan oleh Park Young Ha.

            Dengan seizinku, Park Young Ha terus menggenggam sebelah tangannku sampai kami tiba di bandara. Rasanya, ia tak ingin melepas tanganku dari genggamannya. Aku bisa memahaminya sama seperti dirinya aku juga rasanya berat untuk berpisah darinya. Kami sering menghabiskan waktu bersama, belajar bersama dan bahkan merawat orang-orang di rumah sakit bersama-sama. Tapi, kebersamaan itu sekarang harus berakhir. Pernah suatu ketika aku berkata padanya bahwa jika dia merindukanku, dia hanya harus menatap langit biru karena aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku merindukannya. Aku percaya ketika kami berdua sama-sama memandang langit biru di saat itulah mata kami akan saling bertemu.
“Najwa chan, aku pasti akan merindukanmu,”
“Ya, begitu juga denganku,”
“Berhati-hatilah Najwa chan. Tunggu aku, aku akan datang ke sana suatu saat nanti. Dan ku harap saat aku disana kau masih bersedia menungguku. Aku mohon berjanjilah padaku Najwa chan. Berjanjilah padaku, berjanjilah kau bersedia menungguku,” ucapnya.
“Young Ha kun...,”
“Aku tidak akan mengingkari janjiku yang ku buat padamu. Aku pasti akan datang suatu saat nanti,”
“Hmm...aku akan menunggumu. Tapi, aku tidak bisa menjanjikan untuk menunggumu sampai akhir. Karena kau tahu itu tidak akan mungkin. Aku akan menunggumu semampuku. Dan ku harap kau segera memenuhi janjimu  sebelum aku mencapai batasku,”
“Ya, pasti,” sembari melambaikan tangannya dan tersenyum lebar yang ku tahu itu di paksakannya karena ku dapati kesedihan dalam sepasang mata teduh itu. Aku pun tersenyum balik meski itu juga ku paksakan. Karena aku takut, jika benar ini pertemuan terakhir di antara kami aku hanya ingin memberi kesan bahagia dalam kenangan terkahirku dengannya.

            Sudah setahun lebih aku berada di Indonesia, tepatnya di Yogyakarta. Aku melakukan rutinitasku sebagai dosen di universitas yang telah memberi gelar doktor ini kepadaku. Dan tentunya menjadi dosen di bidang kedokteran. Aku memang tak bekerja di rumah sakit, tapi jika ada waktu senggang aku selalu menghabiskan waktu untuk sekedar membantu di sana. Karena rumah sakit itu, juga rumah sakit kampus jadi aku juga berkewajiban untuk mengelolanya dengan baik juga.
            Ibuku berkali-kali memarahiku karena aku tidak mau menikah-menikah padahal sudah banyak pria berdatangan silih berganti meminangku, tapi aku tetap saja menolaknya. Aku masih ingin menunggu, menunggu pemilik sepasang mata di balik sakura yang telah mencuri hatiku itu. Tapi, ibuku tetap saja tak mau mengerti hatiku. Dia tetap saja ingin aku segera menikah karena usiaku sudah tidak muda lagi. Terlebih lagi, karena kakak iparku sudah mau melahirkan anak keduanya.
“Najwa, sampai kapan kau harus menunggu pemuda itu. Pemuda itu hanya membohongimu, dia sama saja dengan orang-orang kafir lainnya?” Ibuku naik pitam dan memarahiku.
“Ibu, dia sudah masuk islam. Dia sudah jadi mu’alaf, aku tidak mau ibu menyebutnya pemuda kafir lagi,” ucapku dengan linangan air mata. Aku tahu ibuku tak bermaksud menyakitiku. Aku tahu ibu sebenarnya tak ingin melontarkan kata-kata kasar itu. Karena ini pertama kalinya aku mendengar ibuku melontarkan kata kasar itu.
            Sudah beberapa bulan yang lalu sejak aku menerima email darinya bahwa dia sudah masuk islam. Di kirimkannya beberapa fotonya, dengan kiyai yang dia temui yang mengajarinya tentang agama dan cara membaca Al-Qur’an. Dia pun sempat memperdengarkan bacaan Al-Qurannya padaku meski masih belum begitu lancar. Tapi, aku menyukainya. Aku menyukai jika lelaki itu sudah menetapkan hatinya untuk masuk agama islam, sehingga dia menjadi saudara seimanku. Tapi, setelah semua itu dia tak pernah mengirim kabar apapun lagi. Entah apa yang tengah di lakukannya di sana? Terlalu sibukkah dia hingga tidak sempat mengabariku? Pikiran seperti itu selalu menghampiriku.

            Tapi, untunglah ada kakakku. Kakakku yang mengambil cuti selama beberapa minggu karena anaknya mau lahir itu selalu membantuku. Dia selalu bisa melerai pertengkaran antara aku dan ibu. Dia selalu bisa membujuk ibuku untuk membiarkanku pada pilihanku. Dan dia juga selalu ada untuk menjaga hatiku.
“Najwa...,”
“Iya, kak...,”
“Kau, masih mau menunggunya?” Aku tak menjawab dan hanya mengangguk. “Sebaiknya kau sholat istikharah untuk meminta petunjuk,” usul kakakku.
“Aku sudah melakukannya kak. Aku malah melakukannya setiap hari,”
“Trus..apa hasilnya?”
“Aku masih tetap mantap untuk menunggu. Aku percaya, bahwa dia akan datang dan penuhi janjinya. Bukankah kakak sudah memastikan sendiri bahwa dia tidak pernah berbohong dengan perkataannya?”
“Iya, aku memang memastikannya. Aku memastikan bahwa dia sudah benar-benar menjadi muslim. Tapi, aku tidak bisa jamin bahwa lelaki dengan masa lalu seperti dia bisa menjadi imam yang terbaik untukmu,”
“Tidak ada yang terbaik di dunia ini kecuali Allah kak. Allahlah pemilik semua kebaikan dan kesempurnaan itu. Dan aku mencintainya, bukan karena wajah tampannya atau kebaikan hatinya. Aku mencintainya karena ku percaya bahwa dialah imam yang Allah takdirkan untukku. Dan mengenai masa lalunya itu? Aku mungkin memang tidak bisa menghapus masa lalunya yang kelam itu, tapi aku akan berusaha untuk menjadikan masa depannya indah bersamaku dengan izin Allah,”
“Iya, baiklah jika kau berpikir seperti itu. Dan bersedia menerima dia beserta masa lalunya,”




0 comments:

Posting Komentar