Sudah
sebulan lebih perkuliahan berlangsung. Aku bersyukur tidak ada kesulitan yang ku
dapat sejauh ini. Hari ini saatnya praktik, kami di suruh mengenakan seragam
lab yang berwarna putih itu laksana jas yang biasa di kenakan oleh dokter.
Wajahku masih begitu basah hingga tampak segar karena berwudhu untuk sholat
dhuhur tadi. Teman sekelasku berasal dari bermacam-macam negara ada yang
berasal dari Arab, Iran, Perancis, Ingris, dan negara-negara lainnya. Di
kelasku, cuman ada dua orang wanita yang mengenakan kerudung. Satu, gadis dengan hidung runcing dari negara Arab yang
kemudian ku kenal dengan nama “Zulaikha”, dan yang satunya tidak lain dan tidak
bukan adalah aku sendiri. Aku merasa senang setidaknya ada juga wanita seiman
yang sekelas denganku, hingga aku bisa beribadah bareng dengannya setiap kami
berada di kampus.
Ketika aku masuk ruang lab, aku
mendengar dua orang pemuda bercakap-cakap selepas aku dan Zulaikha berjalan
melewati mereka. Aku tak tahu apa yang mereka berdua lakukan disana karena
mereka bukanlah teman sekelasku. Tapi, aku dapat melihat dengan jelas seseorang
di antaranya bertanya pada teman disampingnya dengan menunjukkan tangannya ke
arahku dan Zulaikha selepas kami melintas dari hadapan mereka. Aku tak melihat
paras mereka dengan jelas hingga tak ku tahu seperti apa wajahnya karena sedari
tadi aku hanya menundukkan kepalaku. Aku hanya mendengar dengan jelas
percakapan mereka, karena aku duduk di bangku lab yang tak jauh dari tempat
mereka berdiri.
“Ano
hito wa dare desuka[1]?
ucap seseorang pemuda kepada pemuda yang berdiri di sampngnya.
Sementara
pemuda di sampingnya itu bertanya memperjelas. “Yang mana yang kau tanyakan..?”
sambil melihat kami semua yang tengah sibuk mencari tempat duduk yang nyaman.
“Ano
hito[2]?”
ucap pemuda yang bertanya tadi dengan mengarahkan telunjuknya ke arahku.
“Emm..Najwa
san. Ano hito wa Indonesia desu,” ucap seorang pemuda yang ditanya oleh pemuda
sebelum dengan melihat beberapa kertas yang di bawanya yang bisa ku tebak
mungkin berisi form tentang identitasku dan teman-teman sekelasku.
“Oh...Najwa
san,”
Setelah semua teman sekelasku masuk
semua ke dalam lab, seorang pria separuh baya masuk ke lab, dan bisa ku tebak
mungkin dialah dokter pengajar yang akan mengajari kami hari ini. Dengan
senyumannya yang lebar, pria separuh baya itu memperkenalkan dirinya.
“Konnichiwa[3]..,”
ucapnya dengan tersenyum lebar. “Hajimemashite. Dokuro desu. Dozo yoroshiku..,”
ucapnya.
Setelah beliau memperkenalkan
dirinya beliau mempersilahkan dua orang pemuda disampingnya untuk
memperkenalkan diri. Aku menulis nama dokter pengajar itu dalam buku agendaku
hingga tak ku perhatikan pemuda pertama yang berkenalan. Yang ku tahu hanya
namanya Nakato dan bisa ku tebak bahwa dia juga berkebangsaan Jepang sama
dengan sensei[4]
yang berkenalan sebelumnya. Pemuda kedua berkenalan dan aku tengah selesai dari
kesibukanku menulis. Aku arahkan lagi pandanganku pada beberapa orang yang
tengah berdiri di hadapanku dan semua teman-temanku itu.
Betapa terkejutnya aku bahwa ku
dapati seorang pemuda lain yang berdiri di sana adalah seorang pemuda yang beberapa
hari ini sering muncul dalam pikiranku meski berulang kali aku menepisnya.
“Park
Young Ha desu,” ucapnya dengan tersenyum kecil ke arahku. Aku langsung
menundukkan pandangku seperti biasa. Sementara itu, dia melanjutkan acara
perkenalannya. Dalam tundukkanku aku masih bisa mendengar jelas darimana dia
berasal. Dia berasal dari Korea Selatan. Sebuah negeri yang tak begitu jauh
dari Jepang. Sebuah negeri yang sangat terkenal dengan keindahan pulau Jejunya
dan sebuah negeri yang terkenal banyak artisnya itu.
Pelajaran usai dan kami pun langsung
pergi meninggalkan lab untuk pulang. Tiba-tiba saja ketika aku berjalan di
sepanjang koridor lab seseorang memanggil namaku.
“Najwa
chan...,” panggilnya. Aku yang tengah berjalan bersama Zulaikha pun menoleh
mencari sesosok orang yang telah meneriakkan namaku itu. Dia menghampiriku dan
tersenyum lebar. “Najwa chan, masih ingat denganku...?” tanyanya yang sontak
membuatku terbelalak kaget. Sementara Zulaikha yang berdiri di sampingku juga
sama kagetnya, dia berulang kali bolak-balik melihat ke arahku dan ke arah
orang yang sekarang berdiri di hadapan kami itu, seolah tak percaya bahwa kami
saling mengenal.
“Hai[5]...,”
ucapku. “Bagaimana mungkin aku melupakanmu? Sepasang mata teduh di balik
Sakura..,” batinku.
“O,
genki desu[6]?”
tanyanya padaku yang juga membuat tragedi kekagetanku yang tadi terulang lagi.
“Ada
apa dengan pria ini? Kenapa dia sok akrab denganku?” pikirku. Tapi, aku
langsung buru-buru menjawab pertanyaannya karena takut jika dia tiba-tiba tahu
bahwa aku tengah berpikir tentang arti sikapnya padaku. “Hai, genki desu[7],”
ucapku. Aku pun bertanya hal yang sama padanya dan dia pun menjawab dengan
jawaban yang telah ku lontarkan tadi.
“Ah,
baiklah kalau begitu. Saya pikir anda sudah lupa sama saya,” ucapnya.
“Oh,
tidak bagaimana mungkin. Anda telah menolong saya waktu itu,” ucapku sekenanya.
Alasan sebenarnya adalah aku tidak bisa melupakannya karena sepasang mata
teduhnya itu yang ku lihat di balik pohon sakura untuk pertama kalinya di musim
semi, beberapa bulan yang lalu.
“Ah,
anda tidak perlu sungkan. Baiklah kalau begitu saya permisi dulu. Sayonara[8],”
ucapnya dengan tersenyum dan membungkukkan badan. Aku dan Zulaikha pun
melakukan hal yang sama.
Sejak
saat itu, kami jadi beberapa kali sering bertemu tanpa sengaja. Dia bersikap
ramah meskipun dia berada dua tingkat di atasku. Walau begitu, dia tak pernah
meremehkan atau tidak menghargaiku, dia bersikap hormat padaku seperti yang di
lakukannya pada orang lain, sehingga itu membuat kami menjadi sedikit lebih akrab.
Dia adalah tipe orang yang sangat ingin tahu. Dia sering bertanya hal-hal yang membuatnya
penasaran.
“Najwa
chan, yang biasanya sering kau dan Zulaikha lakukan itu apa?”
Aku
yang terkejut mendengar perkataannya pun mengetahui arah pembicaraan yang ingin
di bangunnya itu. “Oh, itu namanya sholat..,”
“Sholat..?”
“Iya,
bagi kami orang-orang yang beragama Islam wajib melaksanakannya. Kami
melakukannya setiap hari dan dalam sehari kami melakukan hal yang sama sebanyak
lima kali berdasarkan waktu-waktu yng sudah di tentukan dalam agama kami, dan
dengan tiap rakaat yang berbeda-beda yang juga sesuai dengan ketentuan,”
“Wah..
banyak sekali bahkan melebihi aturan minum obat. Kau tidak merasa
lelah?”tanyanya dengan penuh penasaran.
Aku
yang sekarang tak canggung lagi melihat laki-laki di depanku itu pun tersenyum
simpul mendengar pertanyaannya. “Tidak... Jika kau melakukan itu dengan iklas
dalam hati dan karena Tuhanmu, kau tidak akan pernah merasa lelah sedikitpun,”
“Kau
begitu mencintai Tuhanmu?”
“Ya,
Dialah Yang Maha Agung. Yang menciptakan alam semesta yang indah ini, yang juga
memberikanku napas sampai sekarang..,”
“Oh...begitu,”
ucapnya dengan raut wajah penuh berpikir.
“Kalau
Young Ha kun bagaimana?” tanyaku.
Park
Young Ha terkejut mendengar aku bertanya hal yang sama padanya. “Ak...aku...aku
tidak mengenal Tuhan. Jika memang benar di atas sana ada Tuhan, kenapa dia
tidak pernah mendengar do’a-do’aku selama ini?” ucapnya.
Sama
terkejutnya dengan ketika Park Young Ha mendengar pertanyaanku. Aku yang
mendengar jawaban darinya lebih terkejut lagi. “Kau....seorang
atheis...?”tanyaku sebelumnya.
“Iya,”
jawabnya mantap. “Sebelumnya, aku beragama kristen. Tapi, sejak peristiwa yang
terjadi saat itu, aku sekarang tidak percaya pada Tuhan...,” ucapnya dengan
tersenyum kecil padaku.
Aku tidak bertanya lebih lanjut
padanya setelah kulihat raut wajahnya yang tiba-tiba berubah menjadi mendung
setelah mengatakan hal itu. Meskipun sangat penasaran dengan apa yang terjadi
padanya, hingga dia tidak percaya pada Tuhan, aku memutuskan untuk tidak
bertanya. Aku hanya membalas tatapannya padaku yang tersenyum manis, dan
membalasnya dengan senyuman yang sama.
[1]
Siapa orang itu?
[2]
Orang itu?
[3]
Selamat siang.
[4]
Guru.
[5] Ya.
[6]
Bagaimana kabar anda?
[7]
Ya, saya baik-baik saja.
[8]
Selamat tinggal.
0 comments:
Posting Komentar