Jumat, 13 Juli 2018

Bab 9

Edit Posted by with No comments


Jam sudah menunjukkan jam 08.00 pagi ketika aku sudah siap menenteng tas ku untuk berangkat ke kampus. Tapi ketika aku sampai di ruang tengah kudapati dia tengah berbaring di sofa.
“Raf,, loe tidur disini sejak semalam?”
“Ah,, loe,,,” ucapnya sembari memicingkan matanya. Dia baru saja terbangun oleh pertanyaan ku itu.
“Loe nggak ngampus hari ini?” tanyaku lagi.
“Oh,, gue,, gue izin hari ini,” ucapnya dengan nada yang terdengar lemah.
“Loe, kenapa?Wajah loe pucat gitu.Loe sakit?”
“Ah,, gak papa kok. Kepala gue cuman terasa berat saja,”
“Berapa banyak loe minum?”
“Gue hanya minum beberapa teguk saja.Tapi jadi seperti ini.Sebenarnya semalam pertama kalinya gue minum,” jelasnya sembari nyengir meski dengan keadaannya yang pucat.
“Loe tuh, kalau nggak pernah minum ngapain loe minum. Tau sendiri kan akibatnya,”
“Gue cuman ngikutin saran temen gue. Dia bilang minuman bisa membuatmu melupakan masalahmu,”
“Loe tuh mau-maunya di bohongin kayak gitu. Buktinya apa loe bisa ngelupain masalah loe. Apa masalah loe selesai hanya dengan meneguk minuman itu,” ucapku dengan nada marah.
“Kalau loe cuman mau ngomelin gue, loe pergi aja ke kampus. Ntar loe telat,”
“Bagaimana mungkin gue pergi saat liat keadaan loe begini buruknya.Gue buatin sup dan bubur dulu buat loe, pasti pencernaan loe sedang tidak baik sekarang,” ucapku sembari memeriksa apakah dia sedang demam saat ini.
            Setelah ku dapati tak ada tanda-tanda deman yang menyerangnya gue langsung ke dapur untuk membuatkan bubur dan sup untukknya.
“Makan sup dan buburnya, gue pergi dulu,” ucapku sembari meninggalkan bubur dan sup itu di meja makan.Dia hanya mengangguk menanggapi perkataanku mungkin kepalanya benar-benar berat hanya untuk sekedar duduk dan berkata sesuatu.Dia hanya berbaring saja sampai gue benar-benar meninggalkan rumah.
*****
            Kuliah berjalan lancar hari ini.Tapi pikiranku melayang entah kemana.Perasaan khawatir menderaku. Hingga tiba-tiba aku tersadar bahwa aku tengah memikirkan hal lain saat itu.
“Loe sedangapa Kar? Bengong gitu. Kesambet baru tau rasa loe,”
“Oh,, nggak papa kok,, gue cuman agak khawatir dengan Rafi saat ini, dia sedang sakit soalnya,”
“Nah, loe sekarang loe khawatir sama adik ipar kakak loe, jangan-jangan ntar bisa-bisa loe,,,”
“Udah deh nggak usah ngelantur gitu omongan loe,” sela gue ke Sari karna gue tahu kemana arah pembicaraannya.
“Loe, harus hati-hati Kar,, loe mungkin boleh percaya pada kata hati loe, tapi loe nggak akan bisa menolak cinta yang datangnya tiba-tiba,” intan tak kalah dengan Sari.
            Dua orang itu memang sudah mencium bau tidak beres dengan hubunganku dan Rafi.Mereka berfikir bahwa akhir-akhir ini aku terlalu dekat dengannya hingga jarang ada waktu untuk mereka.Aku tahu ini sepenuhnya bukan karena mereka terasingkan atau terabaikan olehku karna keberadaan Rafi. Bukan,,bukan karena itu, tapi ini lebih karena mereka takut jika hatiku akan goyah dan tidak bisa berfikir rasional lagi. Karena Jujur sepeninggal Farish hatiku tlah terlalu lama kosong.Bahkan waktu setahun masih belum bisa membuatku untuk benar-benar melupakannya.
*****
            Aku tengah berjalan gontai di koridor kampus untuk memasuki kuliah berikutnya.Intan dan Sari sudah nyelonong lebih dulu di depanku hingga mereka tidak tahu bahwa dibelakangnya masih ada sahabatnya yang berjalan selambat kura-kura hingga tertinggal jauh oleh mereka.Namun tiba-tiba aku terkejut ketika seseorang menepuk bahuku.
“Karin,, kamu Karin bukan?”seorang pria bertanya padaku dengan senyuman khasnya yang sudah pernah beberapa kali ku lihat itu.
“Ah,, Kak Arif,,,” ucapku dengan setengah terkejut. Kok bisa ada disini kak?” tanyaku.
“Oh,, kakak lagi magang disini, jadi dosen sementara, hehe,,” ucapnya sambil nyengir.
“Oh,, gitu,,”
“Sudah lama ya nggak ketemu.Aku turut prihatin ya dengan yang terjadi pada Farish. Ma”af sebagai teman yang sesama dokter aku juga tidak bisa berbuat apa-apa untuknya,”
            Ucapan Kak Arifitu seolah membuka kenangan ku tentang Kak Farish.Padahal aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk hanya menyimpan kenangan indah itu dalam hati saja tanpa memikirkannya lagi.Tapi, setiap kali orang membicarakan tentang almarhum kekasihku itu, aku tak dapat menolak memoryku yang terbuka tanpa seizinku meski tlah berulang kali ku coba tuk menahannya.
“Emm,, ma’af Kar, aku nggak bermaksud membuatmu jadi teringat kembali pada Farish,”
“Ah,, nggak papa kok Kak,” Ini memang bukan salah Kak Arif. Ini memang karena aku masih sangat-sangat terikat dengan kenangan itu.
“Oh,, ya kamu disini kamu tinggal dimana? Boleh aku main ke tempatmu?
“Ah,, apa boleh seorang dosen main ke rumah mahasiswanya?” ucapku sembari membuat candaan kecil agar dapat mengalihkan perasaannku yang mulai melow menjadi penuh humor ringan.
“Loh,, nggak papa kan,, lagian loe bukan mahasiswa gue secara langsung,” ucap Kak Arif dengan cengiran yang tanpa sandiwara.
            Itulah Kak Arif, teman seperjuangan Kak Farish sekaligus sahabat terbaiknya. Aku sudah kenal akrab betul dengannya meski kami hanya beberapa kali bertemu.Karna Kak Farish sering menceritakan tentang dia padaku.Dan benar seperti semua yang dikatakan Kak Farish kalau Kak Arif memang anaknya asyik di ajak ngobrol.Karena sibuk ngobrol sampai-sampai aku lupa masuk kelas.
“Ah,, Kak,, aku pergi dulu ya. Ada kelas soalnya,”
“Oh,, iya tentu. Ma’af menyita waktumu,”
“Oh,, nggak papa aku senang dapat bertemu Kakak. Ya sudah kalau pengen ngobrol lagi main saja ke rumahku,” ucapku.
“Oke,,, tentu,,,”
            Aku memberikan alamat dan nomor HP ku seperti yang Kak Arif minta.Dan bergegas pergi untuk masuk ke kelas.
*****
Kelas berakhir pukul 05.00 sore dan aku pulang bareng dengan Intan dan Sari seperti biasa.Kami berpisah di tikungan jalan yang berbeda karena rumah kontrakan kami berbeda arah dari jalanan itu.Aku mendapati rumah yang masih gelap gulita. Padahal jam segini biasanya rumah sudah terang benderang dengan temaran cahaya lampu. Terlebih ruang tamu yang sudah harus di nyalakan jam-jam segini.
Pintu rumah tak di kunci.Sama persis ketika aku meninggalkannya tadi pagi.Dan aku tiba-tiba berpikir mungkinkah ada pencuri yang masuk? Tapi setelah ku dapati Rafi yang masih tidur di sana aku sedikit lega. Setidaknya dugaanku salah.Tapi, kenapa dia masih disana, batinku.
“Raf,,, rafi,,,” aku membangunkannya. Tapi dia tak bangun-bangun.Aku memulai membangunkannya lagi dengan menggoyang-goyangkan tangannya.Dan akhirnya dia pun terbangun.
“Oh, loe udah pulang,”
“Ya, loe kok masih disini?Loe masih nggak enak badan?”
“Ah,, iya aku masih merasa pusing. Padahal sudah makan sup dan bubur buatanmu,” ucapnya.Dan memang betul dia telah memakannya.Terlihat masih terdapat mangkuk bubur di meja yang masih belum dibereskan.
“Sepusing itukah loe hingga tak bisa bangkit dari sini?”
“Hmmm,,,”
            Aku mengantar Rafi ke kamarnya.Dan melakukan apapun untuk bisa membantunya dan merawatnya semampuku.
*****
            Aku kebingungan menghadapinya.Aku juga merasa cemas bagaimana harus menolongnya.Biasanya aku tak pernah menjaga orang sakit karna biasanya tiap kali aku sakit selalu ada Kak Farish bersamaku.Tapi seketika itu aku tiba-tiba teringat dengan Kak Arif. Untung saja aku punya no HP nya  karna setelah aku memberinya nomer HP dia langsung memberiku pesan singkat untuk memberitahukan nomernya. Aku melakukan panggilan sekali tapi tak ada jawaban.Kemudian aku mencoba untuk melakukan panggilann lagi dan syukurlah kini dia mengangkatnya.
“Hallo,,,”
“Hallo,, Kak Arif, ini Karin,”
“Oh, ya Karin ada apa?”
“Em,, Kak Arif malam ini lagi sibuk ?”
“Nggak sih,, ada apa?”
“Em,, Kak Arif bisa ke rumah kontrakan Karin nggak? Adik Karin lagi sakit dan Karin nggak tahu lagi harus berbuat apa. Soalnya demamnya tinggi lagi,”
“Ah, baiklah. 15 menit lagi Kakak tiba disana,”
“Ya,, baiklah. Terima Kasih kak,, Ma’af merepotkan,”
“Ah,, nggak perlu sungkan,”
“Aku tunggu ya Kak,”
“Ya,, aku akan segera kesana,”
*****
            Setelah 15 menit telpon ditutup, Aku mendengar ketukan dari luar pintu rumahku. Aku bergegas ke depan dan membuka pintu. Tepat seperti perkiraanku Kak Arif lah yang berdiri disana lengkap dengan tasnya yang sudah jelas pasti berisi peralatan kedokterannya.
“Ah,, untunglah Kakak segera datang,”
“Dimana adikmu?”
“Oh,, dikamarnya. Aku sudah membawanya kesana,”
            Kak Arif langsung mengikutiku menuju kamar Rafi.Ketika ku buka pintu kamarnya dia masih terkulai lemas tak berdaya.Padahal biasanya dia sering menjahilinya tapi melihatnya terbaring seperti ini dia tidak tega untuk mengabaikannya.
“Raf,, loe di priksa dulu ya,”ucapku membangunkan Rafi yang tengah tertidur.
“Loe, panggil dokter? Sudah gue bilang kan gak usah,”
“Gimana gak panggil dokter. Demam loe tinggi dan kata loe pusiing loe udah nggak tertahankan,”
“Iya, biarkan aku memeriksamu.Cuman sebentar kok,” Kak Arif angkat bicara.
“Loe tahu kan gue gak suka di suntik,”
“Ah loe tuh masih kayak anak kecil aja. Nie nggak bakalan sakit kok. Percaya sama gue ya, demi kesembuhan loe nie, gue nggak tahu harus gimana lagi merawat loe soalnya,”
“Mas ini kan udah gede masak takut di suntik,” ledek Kak Arif.
“Gue nggak takut di suntik dok. Cuman gue,,,,,”
“Udah deh Kak,, periksa aja dia jangan dihiraukan. Kalau memang perlu di suntik, suntik aja,” ucapku jutek.
“Loe,,,”
            Meskipun dengan wajah kusut masih terlihat kalau dia manyun ke arahku. Aku sendiri juga nggak habis pikir kenapa dia takut banget sama jarum suntik. Dulu memang dia pernah cerita padaku akan hal yang ditakutinya itu. Tapi aku nggak habis pikir bahwa meskipun dia sedang sakit dan terkulai lemas tak berdaya seperti ini, dia masih berlagak seperti anak kecil yang nggan mau disuntik.
“Gimana hasilnya?”
“Ah,, nggak ada yang serius. Dia cuman perlu istirahat saja dan ini resep yang harus kau tebus di apotek,”
 “Huft,,” aku menghembuskan nafas pelan. Baiklah kalau begitu, ma’af ya sudah merepotkan Kakak,”
“Iya, nggak papa. Kalau dalam tiga hari masih belum turun demamnya kamu bawa dia ke rumah sakit ya,”
“Iya, baik kak,”
*****









0 comments:

Posting Komentar