Sepanjang
liburan musim panas ini, aku menghabiskan waktuku untuk membantu Park Young Ha
di rumah sakit. Sebentar lagi, lelaki dengan sepasang mata teduh itu akan
segera menyelesaikan gelar doktornya dan membantu ayah angkatnya untuk mengurus
rumah sakit ayahnya di Tokyo ini. Saat jam istirahat kami makan di kantin rumah
sakit dan berbincang kecil.
“Najwa
chan, kenapa seorang wanita muslim itu harus memakai tudung kepala?”tanyanya.
“Jilbab
maksudmu?”
“Ya,
seperti yang kau kenakan itu?”
“Oh,
ini gunanya untuk menutup aurat. Kau pasti sudah membaca bukan bahwa aurat
wanita adalah seluruh anggota badan kecuali pergelangan tangan dan wajah?”
tanyaku balik.
“Iya..,”
“Nah,
karena itu maka seorang wanita sudah seharusnya menggunakan penutup kepala atau
kerudung agar dapat menutup aurat bagian atasnya itu,” jelasku.
“Oh,
begitu. Aku sering membaca dan mungkin semua orang juga sudah pada tahu bahwa mahkota
seorang wanita adalah pada rambutnya. Banyak wanita yang menghabiskan jutaan
atau bahkan puluhan juta untuk mempercantik diri dan merawat mahkotahnya itu
sebaik mungkin agar terlihat cantik di depan banyak orang terutama di kalangan
pria. Dan yang ku tahu tidak semua muslim wanita memakai kerudung contohnya
saja si Liena itu. Bukankah dia islam juga?” ucapnya.
“Ya,”
jawabku singkat.
“Terus,
bolehkah ku tahu kenapa kau lebih memilih untuk menutup kepalamu? Apakah kau tidak
gerah dengan itu? Terlebih di musim panas seperti saat ini?” tanyanya.
“Alasannya
ya sama seperti yang telah kau pelajari itu. Aku hanya ingin mematuhi
kewajibanku sebagai seorang wanita muslim yang menutup semua auratku seperti
perintah agama. Kau bertanya apakah tidak gerah?” tantaku balik kepadanya untuk
mempertegas pertanyaannya yang diajukan padaku tadi. Dan dia pun menggangguk
mengiyakan. “Kalau kau melakukan semuanya itu dari hati, maka kau tidak akan
merasakan kegerahan sedikitpun. Malah, kenyamanan dan keamanan yang akan kau
peroleh. Dengan menutup aurat dan memakai hijab identitasmu mudah di kenali
bahwa kau adalah seorang muslim, dan itu semua juga dapat menghindarkanmu dari
kejahatan ataupun bahaya lainnya,” jelasku.
“Oh,
jadi kau melakukannya dengan hati. Pantas saja kau tidak merasa gerah,” ucapnya
menyela kata-kata yang hendak ku ucapkan selanjutnya.
“Menggunakan
mahkota atau penampilannya untuk menarik pria? Em..kalau aku, aku tidak akan
melakukan semua itu hanya untuk menarik perhatian seorang pria. Bagiku, tidak
apa-apa meski tidak ada pria yang akan tertarik padaku, karena suatu saat nanti
Tuhan pasti akan mengirimkannya untukku, karena Sang Maha Pencipta itu sudah
menetapkan manusia dengan jodohnya masing-masing. Lagipula.....,”ucapku
terhenti.
“Lagi
pula kenapa Najwa chan...?” tanya Park Young Ha penasaran akan lanjutan
kata-kataku.
“Lagi
pula aku hanya ingin memperlihatkan mahkotahku pada seseorang yang sudah
menjadi imamku...,” ucapku dengan malu-malu.
“Em...
aku berharap itu aku. Aku berharap bisa menjadi imammu,” ucap Park Young Ha
yang sontak membuatku kaget dan tersedak seperti yang sudah-sudah.
“Najwa
chan..kenapa kau selalu tersedak seperti ini,” ucapnya sembari sibuk seperti
biasa untuk mengambilkanku minum.
Aku jadi teringat pesan kakakku di
bandara waktu itu sebelum kakakku terbang ke Indonesia.
“Kakak
rasa, sama seperti dirimu, Park Young Ha juga merasakan hal yang sama
denganmu.,” ucapnya. “Kakak tidak tahu apakah penilaian atau dugaan kakak itu
benar atau salah. Tapi, jikalau itu benar kakak hanya ingin dapat menguasai
hatimu. Jangan sekali-kali memaksanya untuk masuk agama kita agar kau bisa
bersamanya. Biarkan dia menentukan dan memutuskan jalannya sendiri. Kita hanya
perlu menjadi penuntunya. Kita harus bersyukur jika Tuhan memberikan hidayahnya
pada Young Ha, tapi jika tidak maka kakak ingin kau menyerah,”
Perkataan kakakku itu selalu
berkecamuk di pikiranku. Aku selalu bertanya-tanya dalam hatiku benarkah pria
di hadapanku itu mempunyai perasaan yang sama denganku? Benarkah dia
benar-benar berencana masuk islam? Benarkah pria itu yang Tuhan takdirkan untuk
jadi imamku? Aku bertanya-tanya tanpa henti pada diriku sendiri dan pada Tuhan
dalam setiap sholat dan do’aku. Tapi, aku masih saja belum mendapat jawaban
ataupun petunjukknya. “Lantas haruskah aku menyerah?”pikirkku seketika.
Park Young Ha yang melihatku terdiam
dan sibuk dalam pikiranku sendiri akhirnya membuyarkan lamunanku.
“Najwa
chan, kau kenapa?” tanyanya.
“Ah..tidak
aku tidak kenapa-kenapa. Dan tiba-tiba saja aku ingin bertanya sesuatu pada
pria di hadapanku itu. Tentang pertanyaan kakakku kepada pria itu beberapa
waktu lalu. Tentang pertanyaan yang juga akhir-akhir ini memenuhi otakku.
“Young Ha kun...,” tegurku.
“Iya,
ada apa Najwa chan?”
“Em...boleh
aku tahu sesuatu?”
“Tentang
apa?”
“Em..mengenai
pembicaraanmu dengan kakakku beberapa waktu lalu. Tentang gadis muslim itu.
Benarkah kau ingin masuk islam karena gadis itu? Boleh kah aku tahu siapa gadis
muslim itu?” tanyaku.
Park
Young Ha melihatku dan menyelidik ke arah mataku. Aku segera memalingkan
wajahku dari pandangannya. Kemudian dan
tersenyum kecil dan kemudian berkata.” Aku memang sejak dulu tertarik dengan
agama islam. Kau bisa tanya pada kakakmu sendiri bahwa sejak dulu aku sering bertanya
pada kakakkmu tentang agama islam. Tentang alasan kenapa aku memutuskan untuk
berencana masuk islam, itu bukan karena gadis itu. Sejak dulu rencana itu
memang selalu ku pikirkan, tapi aku masih belum mantap seperti saat ini. Salah
satu alasan yang membuatku mantap adalah ketika aku mendengar seseorang membaca
kitabnya dengan lirih dan indah. Dan aku bisa merasakan suara ayat suci itu
sampai ke tulang-tulangku dan membuatku merasa nyaman. Aku memutuskan untuk
sering mendengarkan suara-suara seperti itu lagi untuk meyakinkan diriku. Dan
benar bahwa memang karena itu, aku merasa nyaman dan tenang juga tentram setiap
kali aku mendengarnya terlebih ketika aku berusaha untuk mempelajarinya,”
jelasnya.
“Oh...begitu...,”
ucapku.
“Kalau
tentang gadis muslim itu...?”
“Kenapa?
Apa aku mengenalnya? Apa dia teman satu kampus kita?” tanyaku beruntun dan itu
tentu membuat Park Young Ha tersenyum melihat tingkahku yang sungguh ingin
tahu. Aku merasa malu dan enggan tuk melihat matanya menatapku karena ku tahu
dia pasti akan mencari jawaban dari sikapku yang tidak wajar dari mataku ini
karena mata adalah indera yang mampu memberikan jawaban yang paling benar dan
paling tidak bisa berbohong.
“Tentang
gadis itu...suatu saat nanti Najwa chan juga akan mengetahuinya sendiri,”
ucapnya dengan senyum simpul padaku.
0 comments:
Posting Komentar