Senin, 09 Juli 2018

Tujuh

Edit Posted by with No comments


            Seminggu ini, aku jarang bertemu dengan Park Young Ha, karena dia bilang dia harus mengurus rumah sakit selama dokter Dokuro pergi untuk mengikuti seminar kedokteran di negeri Tirai Bambu itu. Aku bergegas berjalan pulang setelah kuliahku berakhir. Aku masih ingin berlama-lama di flat dengan kakakku karena besok dia sudah harus terbang pulang dan meninggalkanku sendiri di negeri ini. Ku siapkan makan siang untuk kakakku tapi, dia tidak ingin langsung makan. Dia bilang ada seseorang yang ditunggunya yang akan datang dan ikut makan malam bersama.
            Entah kali ini karena takdir lagi yang Tuhan tentukan, ataukah memang karena ulah kakakku yang memang masih penuh selidik untuk memastikan hubunganku dengan Park Young Ha. Karena ku dapati dia masuk kamar flatku ketika kakakku membukakan pintu. Kakakku mengajaknya makan siang bersama dan mengobrol kecil setelahnya.
“Kau sepertinya sudah hafal tempat ini, padahal seingatku aku belum memberitahumu berapa nomor kamar adikku?” tanya kakakku penuh selidik lagi pada Park Young Ha.

Aku dapat melihat pria dengan sepasang mata teduh dan sayu itu kebingungan mencari jawaban. Hingga dia pun akhirnya menjawab pertanyaan kakakku dengan kikuk. Ini pertama kalinya aku melihat dia terlihat begitu kikuk di hadapan orang lain. Biasanya dia selalu berpenampilan percaya diri di depan semua orang tapi kali ini dia berbeda. Aku tahu semua itu karena pertanyaan kakakku yang bukan sekedar pertanyaan biasa, malah bisa di bilang seperti sebuah pertanyaan introgasi seorang polisi kepada tersangka.
“It..tu..karena... Nara san, ma’afkan aku. Aku tidak bermaksud membohongimu. Aku memang sudah pernah beberapa kali kesini. Tapi, aku tidak pernah sama sekali masuk ke dalam kamar adikmu ini jika dia sendiri, karena dia tidak akan mengizinkan aku untuk masuk. Setiap kali aku ingin menemuinya atau mengajaknya pergi aku pasti akan menunggu di rumah Yutaka san, atau jika kebetulan mereka semua sedang tidak ada, aku menunggu di kamar Liena. Sungguh, aku tidak berlaku macam-macam pada adikmu..,” jelasnya dengan sangat detail tanpa melewatkan semua hal kecil sedikitpun. Dan aku juga membenarkan semua perkataannya itu, karena memang itulah kenyataannya. Dia menunduk tak berani memandang kakakku. Dapat ku tahu betapa rasa bersalah tengah menghampirinya saat itu. Dia begitu takut bahwa kakakku tidak akan mempercayai semua perkataannya itu.
“Hahaha... aku percaya padamu Park Young Ha. Ah, tidak, lebih dari itu aku percaya seratus persen pada adikku sendiri. Jadi kau jangan merasa bersalah seperti itu,” ucap kakakku. Park Young Ha yang mendengar tawa kakakku itu segera mendongakkan kepalanya dan kembali melihat seseorang yang berbicara di hadapannya itu. Sementara aku, hanya tertawa kecil sembari menundukkan kepalaku dan kelakuanku yang masih sibuk menyantap makan siangku. “Sudah berapa lama kau mengenal adikku?” tanya kakakku kemudian.
“Em..kira-kira sudah setahun lebih, Nara san,”
“Oh, sudah selama itu. Lantas di antara kalian berdua.....,”
Seolah tahu apa yang akan di katakan kakakku aku langsung menjawab pertanyaan yang ku tahu kemana arah pertanyaan itu. Tapi, tak kusangka bahwa Park Young Ha juga mengatakan hal yang sama denganku dalam waktu yang bersamaan.
“Tidak..ada apa-apa,” ucapku dan Park Young Ha serempak.
“Wah kalian kompak sekali,” ucapnya dengan tersenyum lebar ke arahku dan Park Young Ha. “Baguslah kalau begitu,” ucapnya kemudian.

            Kakakku sudah menyelesaikan makannya beberapa menit lalu begitu pula dengan Park Young Ha. Dan aku pun sibuk mencuci piring-piring kotor itu di dapur. Usai, mencuci piring-piring kotor itu aku langsung menuju meja belajarku untuk membaca beberapa buku dan mengerjakan beberapa tugas kuliahku. Walau, aku tidak berada di antara mereka lagi tapi aku masih bisa mendengar percakapan diantara mereka.
“Besok aku akan balik ke Indonesia,” ucap kakakku. “Ini beberapa buku yang bisa kau pelajari,” dari ucapannya yang satu itu aku tahu bahwa dia tengah memberikan bingkisan buku-buku tentang agama islam ke padanya. Pasalnya semalam tanpa sengaja aku melihat buku-buku dalam bungkusan rapi itu berada di meja belajarku. “Aku tidak tahu kenapa kau tertarik sekali dengan islam. Terlebih  lagi, aku tidak tahu dan tidak peduli apa alasanmu untuk berencana masuk islam. Tapi, ku harap semua ini bukan karena gadis yang sering kau ceritakan itu. Terlepas dari semua itu, aku sangat bahagia jika kau pada nantinya kau benar-benar menjadi saudara seimanku,” ucap kakakku.
            Selepas kepergian Park Young Ha, kini kakakku duduk di ranjang tempat tidurku sembari memperhatikanku yang sibuk dengan tugasku.
“Sudah sholat dhuhur?” tanyanya. Aku pun mengangguk mengiyakan karena aku sudah melakukanya sebelum makan siang tadi. “Najwa...,” ucapnya dengan lembut memanggil namaku. Dan aku yang tengah sibuk itu pun mau tak mau harus meninggalkan kesibukanku karena ku tahu kakakku hendak mengatakan sesuatu padaku.
“Ya,” jawabku.
“Meskipun kalian tidak mau mengatakannya. Kakak tahu ada sesuatu di antara kalian berdua,”
“Kak...,”
“Aku tahu, kau dan Young Ha tidak memiliki hunbungan apapun selain pertemanan. Tapi, aku tahu perasaan kalian berdua. Tidak...meskipun aku tidak tahu benar ataukah tidak dugaanku pada Young Ha, tapi untukmu..aku dapat merasakan perasaanmu pada laki-laki itu,” ucap kakakku.
Aku tahu, kakakku saudara kembarku. Dia dapat merasakan semua hal yang ku rasakan dan lebih dari itu walau aku tak pernah mengatakan atau bercerita padanya dia tahu keresahan yang selalu menggangguku selama ini.
“Kakak tahu kau pasti sudah berusaha keras untuk menghindarinya. Tapi, kau tidak berhasil juga...,”
“Kak Nara aku....,”
“Kakak tahu kau mencintainya. Tapi, kau juga harus tahu bahwa kau dengannya tidak mungkin bersama,”
            Aku meneteskan air mataku lagi, lagi dan lagi seperti yang sering ku lakukan di setiap malam di sholat tahajudku. Aku kali ini menangis di hadapan kakakku. Aku tahu betul bahwa antara aku dengannya tidak mungkin. Tapi, aku sudah berusaha menghindarinya. Menghindari perasaan yang tiba-tiba datang dan mengisi ruang kosong di hatiku. Mengisi pikiranku yang memang tidak ada pria lain atau hal-hal lain di dalamnya kecuali keluargaku. Aku sudah berusaha keras semampu yang aku bisa. Tapi, aku masih saja tidak bisa untuk melupakannya. Walau ribuan kali aku tlah menengadahkan do’aku pada Tuhanku, untuk segera mengambil rasa cinta ini dariku.




0 comments:

Posting Komentar