Seminggu
ini, aku jarang bertemu dengan Park Young Ha, karena dia bilang dia harus
mengurus rumah sakit selama dokter Dokuro pergi untuk mengikuti seminar
kedokteran di negeri Tirai Bambu itu. Aku bergegas berjalan pulang setelah
kuliahku berakhir. Aku masih ingin berlama-lama di flat dengan kakakku karena besok
dia sudah harus terbang pulang dan meninggalkanku sendiri di negeri ini. Ku
siapkan makan siang untuk kakakku tapi, dia tidak ingin langsung makan. Dia
bilang ada seseorang yang ditunggunya yang akan datang dan ikut makan malam
bersama.
Entah kali ini karena takdir lagi
yang Tuhan tentukan, ataukah memang karena ulah kakakku yang memang masih penuh
selidik untuk memastikan hubunganku dengan Park Young Ha. Karena ku dapati dia
masuk kamar flatku ketika kakakku membukakan pintu. Kakakku mengajaknya makan
siang bersama dan mengobrol kecil setelahnya.
“Kau
sepertinya sudah hafal tempat ini, padahal seingatku aku belum memberitahumu
berapa nomor kamar adikku?” tanya kakakku penuh selidik lagi pada Park Young
Ha.
Aku
dapat melihat pria dengan sepasang mata teduh dan sayu itu kebingungan mencari
jawaban. Hingga dia pun akhirnya menjawab pertanyaan kakakku dengan kikuk. Ini
pertama kalinya aku melihat dia terlihat begitu kikuk di hadapan orang lain.
Biasanya dia selalu berpenampilan percaya diri di depan semua orang tapi kali
ini dia berbeda. Aku tahu semua itu karena pertanyaan kakakku yang bukan
sekedar pertanyaan biasa, malah bisa di bilang seperti sebuah pertanyaan
introgasi seorang polisi kepada tersangka.
“It..tu..karena...
Nara san, ma’afkan aku. Aku tidak bermaksud membohongimu. Aku memang sudah
pernah beberapa kali kesini. Tapi, aku tidak pernah sama sekali masuk ke dalam
kamar adikmu ini jika dia sendiri, karena dia tidak akan mengizinkan aku untuk
masuk. Setiap kali aku ingin menemuinya atau mengajaknya pergi aku pasti akan
menunggu di rumah Yutaka san, atau jika kebetulan mereka semua sedang tidak
ada, aku menunggu di kamar Liena. Sungguh, aku tidak berlaku macam-macam pada
adikmu..,” jelasnya dengan sangat detail tanpa melewatkan semua hal kecil
sedikitpun. Dan aku juga membenarkan semua perkataannya itu, karena memang
itulah kenyataannya. Dia menunduk tak berani memandang kakakku. Dapat ku tahu
betapa rasa bersalah tengah menghampirinya saat itu. Dia begitu takut bahwa
kakakku tidak akan mempercayai semua perkataannya itu.
“Hahaha...
aku percaya padamu Park Young Ha. Ah, tidak, lebih dari itu aku percaya seratus
persen pada adikku sendiri. Jadi kau jangan merasa bersalah seperti itu,” ucap
kakakku. Park Young Ha yang mendengar tawa kakakku itu segera mendongakkan
kepalanya dan kembali melihat seseorang yang berbicara di hadapannya itu.
Sementara aku, hanya tertawa kecil sembari menundukkan kepalaku dan kelakuanku
yang masih sibuk menyantap makan siangku. “Sudah berapa lama kau mengenal
adikku?” tanya kakakku kemudian.
“Em..kira-kira
sudah setahun lebih, Nara san,”
“Oh,
sudah selama itu. Lantas di antara kalian berdua.....,”
Seolah
tahu apa yang akan di katakan kakakku aku langsung menjawab pertanyaan yang ku
tahu kemana arah pertanyaan itu. Tapi, tak kusangka bahwa Park Young Ha juga
mengatakan hal yang sama denganku dalam waktu yang bersamaan.
“Tidak..ada
apa-apa,” ucapku dan Park Young Ha serempak.
“Wah
kalian kompak sekali,” ucapnya dengan tersenyum lebar ke arahku dan Park Young
Ha. “Baguslah kalau begitu,” ucapnya kemudian.
Kakakku sudah menyelesaikan makannya
beberapa menit lalu begitu pula dengan Park Young Ha. Dan aku pun sibuk mencuci
piring-piring kotor itu di dapur. Usai, mencuci piring-piring kotor itu aku
langsung menuju meja belajarku untuk membaca beberapa buku dan mengerjakan
beberapa tugas kuliahku. Walau, aku tidak berada di antara mereka lagi tapi aku
masih bisa mendengar percakapan diantara mereka.
“Besok
aku akan balik ke Indonesia,” ucap kakakku. “Ini beberapa buku yang bisa kau
pelajari,” dari ucapannya yang satu itu aku tahu bahwa dia tengah memberikan
bingkisan buku-buku tentang agama islam ke padanya. Pasalnya semalam tanpa
sengaja aku melihat buku-buku dalam bungkusan rapi itu berada di meja
belajarku. “Aku tidak tahu kenapa kau tertarik sekali dengan islam.
Terlebih lagi, aku tidak tahu dan tidak
peduli apa alasanmu untuk berencana masuk islam. Tapi, ku harap semua ini bukan
karena gadis yang sering kau ceritakan itu. Terlepas dari semua itu, aku sangat
bahagia jika kau pada nantinya kau benar-benar menjadi saudara seimanku,” ucap
kakakku.
Selepas kepergian Park Young Ha,
kini kakakku duduk di ranjang tempat tidurku sembari memperhatikanku yang sibuk
dengan tugasku.
“Sudah
sholat dhuhur?” tanyanya. Aku pun mengangguk mengiyakan karena aku sudah
melakukanya sebelum makan siang tadi. “Najwa...,” ucapnya dengan lembut
memanggil namaku. Dan aku yang tengah sibuk itu pun mau tak mau harus
meninggalkan kesibukanku karena ku tahu kakakku hendak mengatakan sesuatu
padaku.
“Ya,”
jawabku.
“Meskipun
kalian tidak mau mengatakannya. Kakak tahu ada sesuatu di antara kalian berdua,”
“Kak...,”
“Aku
tahu, kau dan Young Ha tidak memiliki hunbungan apapun selain pertemanan. Tapi,
aku tahu perasaan kalian berdua. Tidak...meskipun aku tidak tahu benar ataukah
tidak dugaanku pada Young Ha, tapi untukmu..aku dapat merasakan perasaanmu pada
laki-laki itu,” ucap kakakku.
Aku
tahu, kakakku saudara kembarku. Dia dapat merasakan semua hal yang ku rasakan
dan lebih dari itu walau aku tak pernah mengatakan atau bercerita padanya dia
tahu keresahan yang selalu menggangguku selama ini.
“Kakak
tahu kau pasti sudah berusaha keras untuk menghindarinya. Tapi, kau tidak
berhasil juga...,”
“Kak
Nara aku....,”
“Kakak
tahu kau mencintainya. Tapi, kau juga harus tahu bahwa kau dengannya tidak
mungkin bersama,”
Aku meneteskan air mataku lagi, lagi
dan lagi seperti yang sering ku lakukan di setiap malam di sholat tahajudku.
Aku kali ini menangis di hadapan kakakku. Aku tahu betul bahwa antara aku
dengannya tidak mungkin. Tapi, aku sudah berusaha menghindarinya. Menghindari
perasaan yang tiba-tiba datang dan mengisi ruang kosong di hatiku. Mengisi
pikiranku yang memang tidak ada pria lain atau hal-hal lain di dalamnya kecuali
keluargaku. Aku sudah berusaha keras semampu yang aku bisa. Tapi, aku masih
saja tidak bisa untuk melupakannya. Walau ribuan kali aku tlah menengadahkan
do’aku pada Tuhanku, untuk segera mengambil rasa cinta ini dariku.
0 comments:
Posting Komentar