Pagi
menjelang, salju musim dingin masih bertumpuk di depan pekarangan flat. Tapi,
aku dan kakakku berniat untuk pergi hari ini. Dia berjanji akan memperkenalkan
aku pada temannya yang sudah di anggapnya sebagai sahabat. Aku memakai gamisku
yang bermotif bunga-bunga dengan warna ungu muda, itu adalah baju yang kakakku
kirimkan pada beberapa bulan lalu. Aku ingin memakainya di depan kakakku, dan
dia bilang aku sangat cocok dan cantik dengan itu. Aku memakai pasminaku yang
berwarna senada dengan bajuku. Aku sengaja memakai pakaian terindahku karna
kakakku bilang kami akan pergi berjalan-jalan layaknya orang yang sedang
berkencan. Aku langsung tertawa ketika kakakku mengusulkan hal itu.
Maklumlah, setahun lagi, tepatnya
setelah aku lulus dan kembali ke Indonesia, kakakku akan meminang kekasihnya.
Kekasih yang bersedia menjalin hubungan dengannya meskipun dari jarak jauh.
Seorang gadis yang menutup dirinya dari semua pria lain yang meminta menjadi
imamnya, dan bersedia menunggu kakakku dengan setianya. Kakakku bilang, kelak
kalau dia sudah menikah kami akan kesulitan untuk memiliki hari berdua saja.
Karena akan ada orang lain di antara kita. Karena itu selama masih bisa, kami
akan menghabiskan waktu bersama-sama, seperti masa kecil kami yang coba kami
ulang kembali kali ini. Antara aku, kakakku, dan kenangan kebersamaan masa
kecil kami.
Hari
ini kami berencana untuk pergi ke Harajuku. Dari stasiun Harajuku kami berjalan
menuju Kuil Meiji yang terletak di belakang stasiun. Saat memasuki wilayah kuil
aku merasa sangat nyaman dan tenang, seakan-akan meninggalkan hiruk-pikuknya
kota besar. Kami berjalan melewati gerbang kuil yang tinggi dan lebar,
jalananannya berkerikil dan dikelilingi oleh pepohonan yang tampak seperti
hutan kecil. Aku sungguh takjub dengan keindahan yang Tuhan ciptakan di tempat
itu. Ternyata, keindahan alam yang Tuhan ciptakan memang membentang seisi dunia
ini. Dan aku bersyukur dapat menikmati keindahan itu di tempat ini.
Aku
melihat seorang pemuda tinggi jangkung melambaikan tangannya pada kakakku.
Kakakku pun mengajakku berjalan untuk mendekat. Aku berpikir mungkin dialah teman
kakak yang hendak di perkenalkannya padaku. Lagi, lagi aku terkejut ketika
melihat orang yang berdiri di sisi kuil itu. Sepasang mata teduh yang tak
pernah ku lupakan itu, kini dapat kunikmati lagi di antara keindahan alam
ciptaan Tuhan. Seseorang yang berdiri di sana juga sama kagetnya denganku. Dia
menatapku dengan mata sipitnya yang coba di belalakkannya seolah tak percaya
jika benar aku yang berdiri di hadapannya.
“Najwa chan...?” ucapnya.
Kakakku yang mendengar dia memanggil namaku itu pun terkejut bukan main.
“Kau...mengenal adikku?”
tanyanya seketika.
Park Young Ha, lagi-lagi
membelalak kaget. “Najwa chan, adikmu...?” tanyanya seolah tak mempercayai
perkataan kakakku.
“Iya, dia adikku. Saudara
kembarku, yang sering ku ceritakan padamu,” jelas kakakku. “Kalian sudah saling
kenal?” tanya kakakku penuh selidik ke arahku dan Park Young Ha.
Kami pun menjawab serempak.
“Ya...,”
Selesai
berjalan keliling kuil kami memutuskan untuk pergi ke Takeshita Dori. Sebuah
tempat yang berlawanan arah dengan kuil tempat kami berdiri saat ini. Kakakku
bilang dia ingin membeli oleh-oleh untuk Kak Nafisah, kekasihnya. Di tempat ini ini banyak sekali toko-toko
yang berjualan pakaian, pernak-pernik, kosmetik, makanan dan lain-lain, seolah
tempat ini sama halnya dengan toserba. Harga barang-barang yang di jual di
tempat ini cukup murah dan sangat cocok untuk kalangan anak muda sepertiku.
Kata orang,
tempat inilah yang merupakan jantung dari Harajuku, karena jalan Takeshita ini
sendiri jauh lebih ramai daripada jalan yang bernama Harajuku itu sendiri.
Jalan ini panjangnya hanya sekitar 500 meter saja jadi tak heran jika tempat
ini begitu ramai oleh desakan banyak orang terlebih lagi di akhir pekan seperti
ini. Berkali-kali hendak jatuh oleh desakan beberapa orang yang penuh sesak.
Tapi, untung saja ada Park Young Ha yang berjalan di belakangku hingga bisa
mencegah aku terjatuh oleh desakan orang-orang itu. Tapi, melihat begitu
dekatnya aku dengan Park Young Ha kakakku penuh selidik menatapku.
Setelah puas berkeliling kami pun
merasa lapar. Di musim dingin seperi sekarang ini akan sangat tepat jika
memakan ramen asli buatan orang-orang Jepang. Dan itulah yang di usulkan oleh
kakakku ketika kami melewati kedai ramen Achibana. Kakakku memulai
pembicaraannya dengan Park Young Ha, ketika mereka berdua sudah menghabiskan
ramen dalam mangkuk yang cukup besar di hadapannya. Sementara aku, sang pemilik
bibir tipis dan kecil ini masih belum bisa menghabiskan ramen dengan ukuran
yang lebih kecil dari apa yang mereka pesan.
“Wah..
ini semua seperti takdir ya, tadinya aku ingin memperkenalkan kau pada adikku.
Tapi, tak kusangka kau sudah mengenalnya lebih dulu,” ucap kakakku memulai
pembicaraannya. Park Young Ha tidak menjawab dan hanya tersenyum simpul ke arah
kakakku.“Jadi, kau benar-benar membatalkan pesta pernikahanmu?” tanya Kakakku
di ucapannya selanjutnya.
“Iya..,”
“Apa
sebabnya? Padahal aku sudah penasaran ingin melihat siapa gadis yang ingin kau
nikahi itu?” tanya kakakku yang sontak membuatku setengah kaget.Karena aku
tahu, gadis yang kakak maksud adalah mantan kekasih Park Young Ha, gadis Jepang
yang bernama Keiko. Gadis yang sama pula yang kulihat tengah berciuman dengan
Park Young Ha, di Kuil Budha di Nara, saat festival musim semi. Aku tersedak
kecil ketika itu, tapi syukurlah mereka berdua tidak mendengar dan masih sibuk
dengan obrolan mereka.
“Oh,
itu karena wanitaku berselingkuh dengan pria lain,”
“Oh,
begitu. Tapi...bukan karena seorang gadis muslim yang sering kau ceritakan
padaku kan?” tanya kakakku tiba-tiba yang sontak membuat Park Young Ha yang
tengah menikmati minumannya itu menumpahkan sebagian air dalam gelasnya. Dia
mengambil tissue dan segera membersihkan air yang tengah membasahi sebagian
kemeja biru mudanya itu. Dia melirik sepintas ke arahku dan menjawab singkat
pertanyaan kakakku.
“Bukan...bukan
karena dia. Itu sudah terjadi sebelum aku mengenal lebih dekat gadis itu,”
ucapnya. Aku yang masih menikmati ramenku itu memutar otakku. Gadis muslim,
yang mana?” pikirku.
“Oh,
begitu ya. Lalu, mengenai rencanamu masuk Islam itu bagaimana? Apa kalau yang
ini karena gadis itu?”
Mendengar
pertanyaan selanjutnya dari kakakku pada Park Young Ha itu membuatku begitu
kaget. “Masuk islam?” seruku dalam hati. Karena Park Young Ha tidak pernah
mengatakan rencanaya itu padaku. Aku tersedak lagi, dan kali ini begitu keras
hingga membuat mereka terpaksa harus menghentikan pembicaraan padaku. Seperti
biasanya, setiap kali melihatku tersedak dengan sigapnya Park Young Ha langsung
mengambilkan minuman untukku. Dan melihat semua itu, lagi-lagi kakakku
melihatku dengan penuh selidik.
Terlebih
lagi setelah mendengar perkataan Park Young Ha yang seolah sebuah pengakuan
untuknya. “Kau, kenapa Najwa chan? Kau selalu saja tersedak saat makan.
Makanlah dengan pelan-pelan,” ucapku. Kakakku yang tadi melihatku penuh selidik
itu, kini memandang kelakuan Park Young Ha padaku yang baginya sedikit aneh.
“Kau
tidak membaca do’a saat hendak makan? Hingga sering tersedak?” tanya kakakku
yang seolah mengisyaratkan kepada Park Young Ha untuk kembali ke sikapnya yang
semula.
“Ah..aku..sudah
berdo’a,” ucapku simpul.
Pembicaraan itu, berakhir begitu
saja. Saat hari sudah hampir malam kami pun kembali ke stasiun harajuku untuk
naik kereta yang akan mengantarkan kami ke Tokyo. Park Young Ha melihatku kedinginan
karena salju yang turun cukup lebat. Dia bermaksud memberikan jasnya untukku.
Tapi, aku menolak dan memperlihatkan jas yang sudah ku bawa di tanganku tapi
belum ku kenakan. Aku tahu kakakku lagi-lagi menatap kami dengan tatapan penuh
curiga. Aku lekas-lekas memakai jasku dan berjalan mendahului mereka berdua.
0 comments:
Posting Komentar