I took for granted, all the times
That I thought would last somehow
I hear the laughter, I taste the tears
But I can't get near you now
~Right Here Waiting,
Richard Marx~
Naura menarik
nafas lega. Acara pelatihan para asisten baru pun telah usai. Sungguh
menyenangkan rasanya, dia dapat merasakan betapa jerih payahnya selama ini
membuahkan hasil. Hari ini adalah hari terakhir dia dan rekan-rekannya berada
di camp pelatihan. Dalam kesenggangan waktu dari rutinitasnya dia duduk
termenung di atas bukit. Memandang bebas temaran cahaya senja di kaki langit.
Sesekali di pejamkannya matanya, untuk menyimpan keindahan itu dalam
pikirannya. Di biarkannya beberapa helai rambutnya yang terurai itu terbang
kesana kemari di terpa hembusan angin sore yang sejuk.
“Kau
suka memandangi langit...,” seseorang mengomentari kelakuan Naura tiba-tiba.
Tanpa
mencari tahu dari mana asal suara samar-samar itu, Naura hanya menjawab tanpa
berbalik dari pandangannya yang masih terpaku pada langit yang menjulang tinggi
di atasnya.
“Hm...,”
ucapnya singkat dan suasana pun menjadi hening. Sosok seseorang yang tengah
mengomentari kelakuannya tadi kini duduk di sampingnya.
Naura
masih saja tak menghiraukan siapa yang kini tengah bertengger di sampingnya
itu. Dia tetap saja tak mengalihkan pandangannya. Namun, dalam keheningan dia
pun mengatakan sesuatu pada seseorang di sampingnya.
“Bukankah
langit itu sangat indah...?” tanyanya sembari menunjuk langit yang menjulang di
atasnya itu.
Tak
mencoba untuk mengalihkan pandangan Naura dari objek yang menurutnya indah itu
untuk berbalik menatapnya bicara, seseorang yang tengah duduk di samping Naura
itupun menanggapi pertanyaan Naura dengan balik bertanya.
“Kenapa
kau suka sekali memandang langit..?” tanya orang itu.
Naura
tak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia menarik nafas panjang dan dalam
sebelum menanggapi pertanyaan yang dilontarkan seseorang itu.
“Kenapa
ya? Kenapa aku suka memandang langit?” Dia mengulang pertanyaan itu untuk
dirinya sendiri. Setelah berhenti sejenak dari pertanyaan yang dilontarkannya
sendiri untuk dirinya, dia pun kembali berucap. “Ketika kau merindukan
seseorang yang tidak bisa kau temui, kau bisa memandang langit. Karena bisa
jadi di suatu tempat yang lain, orang itu juga tengah melakukan hal yang sama
denganmu. Sehingga dengan begitulah tatapan mata kalian bisa saling bertemu.
Bukankah begitu? Kak... Randy...?”
Naura
bertanya balik kepada seseorang di sampingnya. Dia pun kini mengalihkan
pandangannya ke arah sesosok lelaki yang tengah duduk di sampingnya itu. Tapi
begitu terkejutnya dia, ketika seseorang yang berada disampingnya itu bukanlah
orang yang sesuai dengan dugaannya semula. “Professor, anda....?” tanyanya
dengan raut wajah terkejut dan bersemu merah karena menahan malu.
“Ya,
ini aku...?” ucap seorang lelaki yang berusia lima tahun lebih tua dari Naura
itu.
“Professor,
ma’af saya pikir anda....?”
“Memangnya
suaraku mirip sama suara Randy ya...?”
“Ah,,
itu....,”
“Tak
apa, aku tau kau sangat dekat dengannya. Tapi sayang sekali aku bukan Randy
seperti dugaanmu. Apa kau kecewa...?”
“Ah,
tidak-tidak. Saya tidak kecewa hanya saja saya berbicara sesuatu yang sedikit
tidak masuk akal,”
“Hm..
apanya yang tidak masuk akal. Aku ngerti semua maksud dari perkataanmu. Memangnya
kau pikir karena aku lebih tua darimu, makanya aku tak mengerti apa yang
dikatakan oleh anak muda?”
“Ah,
bukan,bukan begitu maksud saya....,” ucap Naura karena merasa bersalah dan
menanggung malu karena kecerobohannya yang tak memeriksa dulu siapa yang di
ajaknya bicara sendari tadi.
Suasana
hening seketika. Daniel tersenyum melihat tingkah Naura yang kikuk
menghadapinya. Dia tahu bahwa mahasiswinya itu kini tengah malu menghadapi
dirinya bahkan melirik sedikitpun kearahnya saja enggan dilakukannya. Dia dapat
mengerti kenapa Naura begitu malu menghadapinya. Tanpa sengaja gadis itu telah
mengatakan sesuatu yang seharusnya hanya disimpannya dalam hatinya saja atau
bahkan dibaginya untuk orang-orang yang dipercayainya. Tapi tak disangka gadis
itu malah melakukan kecerobohan dan membiarkan Daniel tahu sedikit tentang
rahasia hatinya.
“Kau
sedang merindukan seseorang..?” tanya Daniel pada Naura, memecahkan keheningan
yang tercipta.
Naura
menatap seseorang yang mengajaknya bicara. Dia ragu harus memberikan jawaban
apa tentang pertanyaan yang tiba-tiba di ajukan untuk dirinya itu. Kebimbangan
menyelimutinya, haruskah dia menjawab ataukah membiarkan pertanyaan itu berlalu
saja tanpa jawaban dengan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lainnya. Tapi,
dia merasa tidak enak jika tidak memberikan jawaban atas pertanyaan
professornya itu. Dalam kecanggungan akhirnya ia pun memutuskan untuk menjawab
pertanyaan itu.
“Ya,”
ucapnya singkat.
“Oh...,”
balas Daniel. “Siapa dia?”
Naura
tak menjawab pertanyaan itu kali ini. Dia terkejut dan menatap Daniel yang ternyata
masih berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak diduganya.
“Siapa?
Siapa orangnya?” tandas Daniel lagi.
Naura
tetap saja pada keyakinannya bahwa dia tak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
Daniel yang kian meruncing ke arah privasinya. Tapi, Daniel juga masih
bersikukuh ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya itu. Entah
mengapa, Daniel sangat ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan yang kian hari
kian mengganggunya itu.
Naura
berdiri dari posisi duduknya. Dia hendak beranjak pergi meninggalkan Daniel
yang masih duduk di bukit itu yang masih bersikukuh dengan
pertanyaan-pertanyaannya itu.
“Ma’af
professor saya harus berkemas,” ucap Naura. Dilangkahkannya beberapa langkah
kakinya menuruni bukit setelah mengatakan kata-kata itu. Namun, ketika ia
membalikkan badannya memunggungi Daniel dan berjalan pergi, Daniel menarik
pergelangan tangan kiri Naura hingga mau tak mau Naura pun harus menghentikan
langkah kakinya.
“Oh,
jadi karena dia. Karena orang itukah kau bahkan tak melihatku selama ini..?”
ucap Daniel dengan asumsinya sendiri. Naura lagi-lagi tak mau menjawab
pertanyaan itu.
Dalam
keheningan itu, terdengar samar-samar suara seseorang meneriakkan nama Naura.
“Ma’af
professor, mereka sedang mencariku,” ucap Naura. Akhirnya mau tak mau dengan
terpaksa Daniel pun melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan kiri
Naura. Naura pun berlalu pergi meninggalkan Daniel yang masih duduk terpaku di
atas bukit. Dalam perjalanan menuruni bukit, Naura bernapas sedikit lega.
Setidaknya dengan adanya suara seseorang yang meneriakkan namanya itu dia tak
harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Daniel. “Terima kasih, telah
menyelamatkanku..,” gumannya dalam hati pada suara yang telah meneriakkan
namanya itu, yang sesungguhnya tak ia ketahui secara pasti suara siapa itu.
*****
David
terbaring di tempat tidur dalam lamunannya. Dia masih ingat kejadian yang
berlangsung beberapa bulan yang lalu.
Beberapa
waktu lalu, David berkunjung ke rumah Raka untuk membantu Raka yang hendak
mengemasi beberapa barangnya karena hendak pergi ke luar kota tempat tinggalnya
untuk bekerja di tempat yang baru. Tanpa sengaja David menjatuhkan sebuah album
foto lama yang tertata rapi di rak buku Raka. David menikmati memandangi
foto-foto masa kecil Raka meskipun tanpa seizin dari pemiliknya. Hubungan
mereka memang sudah cukup dekat dan bahkan bisa dibilang sudah layaknya seperti
saudara kandung. Jadi apapun yang David lakukan terhadap barang-barang Raka tak
perlu lagi mendapat persetujuan darinya.
Selembar-demi
selembar dinikmatinya foto-foto tua itu. Banyak sekali foto masa kecil Raka
yang masih bertampang innocent dan imut-imut itu. Tapi ketika dia melihat foto
seseorang yang berdiri disamping foto masa kecil Raka itu, membuat David
terbelalak kaget dan tak percaya. Dia mengenali foto seorang gadis kecil yang
tersenyum ceria di samping Raka di sebuah taman. Foto gadis itu tak asing di
matanya, seolah dia sudah ribuan kali melihat gadis yang sama dengan gadis di
foto itu. Meskipun masih bertampang tembem dan imut dalam foto itu, tapi David
bersikeras bahwa foto itu adalah foto gadis yang sering bersamanya saat ini.
Diambilnya ponselnya dan dicocokkannya foto dalam ponsel itu dengan foto dalam
album yang dipandanginya itu. Setelah dibandingkannya kedua foto itu, barulah
dia yakin bahwa dugaannya tak salah.
“Raka,
gadis kecil ini...?” tanya David pada Raka dengan menunjukkan foto itu.
“Oh, dia... dia orangnya..,”
“Orangnya?
Maksudmu, orang yang selama ini kau cari?”
“Ya..,”
Wajah
David pucat pasi mendengar perkataan Raka. Seolah tengah didengarnya dentuman
bom yang menggelegar di depannya. Dia tak percaya bahwa gadis yang sering
diceritakan oleh sahabatnya itu adalah gadis yang setiap hari mengisi
hari-harinya dan gadis yang perlahan-lahan mulai mengisi hatinya. Dia di dera
kebimbangan yang cukup dalam, apakah dia harus memberi tahu Raka tentang
kebenaran gadis itu, ataukah dia hanya harus menyimpannya saja seumur hidupnya
agar dia tetap bisa bersama dengan gadis itu.
Tapi,
sungguh egois dirasakannya, ketika dia mengetahui betapa sahabatnya sangat
merindukan gadis itu, dan betapa kerasnya bagi sahabatnya untuk dapat menemukan
gadis itu. Sampai hatikah dia tetap menyembunyikan keberadaan gadis yang sangat
di cintai oleh sahabatnya itu, bahkan lebih dari rasa cintanya terhadap dirinya
sendiri. Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam pikirannya. Dia pun tak bisa
membayangkan bagaimana reaksi Raka setelah dia tahu bahwa baik Raka maupun
dirinya mencintai gadis yang sama.
Setelah
berpikir panjang akhirnya David memutuskan untuk memberitahu Raka kebenarannya
meskipum dia tahu bahwa dia pasti akan terluka. Namun, dia tak mau
menyembunyikan kenyataan itu dari sahabatnya. Sejak awal gadis itu adalah milik
Raka, dan dia tak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Lebih dari itu,
alasan yang lebih penting adalah karena dia tahu bahwa gadis itu, juga menyimpan
perasaan yang sama dengan sahabatnya.
*****
Raka
duduk termenung di beranda rumahnya. Dinikmatinya indahnya langit sore yang
menghampar diatasnya. Esok pagi dia, sudah tak akan bisa menikmati keindahan
tempat tinggalnya itu karena pergi ke luar kota untuk bekerja di tempat yang
baru. Tak mudah membuat keputusan itu, pasalnya dia tak pernah ingin
meninggalkan tempat itu. Betapa banyak kenangan terukir di sana. Entah kenangan
menyenangkan atau bahkan mengharukan sekalipun telah dilaluinya di ¼ hidupnya.
Sebenarnya dia enggan untuk pergi meninggalkan tempat itu, terlebih karena
takut bahwa sewaktu-waktu seseorang yang di tunggunya itu akan datang
mencarinya. Tapi, waktu berlalu begitu cepat, entah sudah berapa tahun di
habiskannya waktunya di tempat itu hanya untuk menunggu orang itu. Karena
itulah kini dia memutuskan untuk pergi. Dia ingin melupakan kenangan itu
meskipun ia tahu bahwa itu bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, karena tak ingin
membuat ibunya kian hari kian bersedih melihat dirinya, dia pun memutuskan
untuk pergi.
Terdengar
dering ponselnya di sela-sela lamunan yang di bangunnya. Setelah di bacanya
nama yang tertera di walpapernya itu, dia pun menjawab telpon dari seseorang di
seberang sana.
“Oh,
loe.. ada apa?”
“Raka,
loe dimana?”
“Gue
di rumah. Ada apa loe nyari gue?”
“Gue
ada di taman deket rumah loe. Ada sesuatu yang pengen gue omongin ke loe.
Loe bisa kemari?”
“Ada
apa? Apakah sesuatu yang penting?”
“Ya?”
“Kenapa
nggak di rumah aja?”
“Gue
gak bisa bicarain ini di rumah loe..?”
“Ya,
baiklah gue kesana...,”
Raka
kembali masuk ke dalam kamar untuk mengganti bajunya. Ia tak tahu apa
sebenarnya yang ingin di bicarakan oleh David hingga ia tidak bisa membicarakan
hal itu di rumahnya. Usai berganti pakaian Raka pun melesat dengan cepat menuju
tempat pertemuannya dengan David.
*****
Di
taman David sedang duduk-duduk menunggu kedatangan Raka. Senyum simpul
mengembang di kedua pipinya ketika mendapati Raka sudah berdiri di hadapannya.
Di berikannya minuman yang telah di belinya itu pada Raka dan menyuruh Raka
untuk duduk di sampingnya,
“Duduklah...,”
“Apa
yang pengen loe omongin hingga gak bisa di omongin di rumah,”
“Oh,
ini tentang foto gadis kecil yang gue tanyakan padamu beberapa bulan yang
lalu,”
“Oh, karena dia..,”
“Ya,
loe bilang jangan pernah ungkit lagi tentang dia karena loe takut ibu loe akan
sedih mendengarnya,”
“Ya...,”
“Karena
itulah gue ngajak loe ketemuan disini,”
“Tapi,
kenapa loe tiba-tiba pengen tau tentang gadis itu?”
“Gue
cuman pengen tahu alasan kenapa loe putus darinya. Apakah karena Rasya? Karena
Loe dan Rasya bener-bener.....,”
“Gue
gak nyangka loe gak percaya sama gue Dav,”
“Bukan
begitu maksud gue, hanya saja, gue.....,”
“Itu
bukan karena Rasya. Gue gak pernah ngelakukan itu terhadapnya dan loe juga tahu
sendiri kan kalau gue bukan cowok yang sebrengsek itu,”
“Ya,
gue tahu. Gue percaya sama loe...,”
“Tapi,
kenapa?”
“Dav,
kenapa loe bahas sesuatu yang sudah lama berlalu..,”
“Karena
gue pengen tahu. Untuk memutuskan sesuatu, gue harus tahu tentang kebenaran
itu,”
“Maksud
loe...,”
“Raka,
loe percaya kan sama gue...,”
“Ya,”
“Jadi
gue mohon jelasin semua masalah loe dengannya pada gue tanpa bertanya apa-apa
lagi,”
“Ya,
apapun yang loe lakuin gue gak peduli. Gue akan ceritakan semuanya sama
loe...,” ucap Raka.
Cerita
panjang di balik kenangan masa lalu yang menyegel hatinya itu pun di ceritakan
oleh Raka pada David. Entah berapa banyak dia menahan rasa sakit di hatinya
karena mengulang kembali semua kenangan-kenangan itu. Meskipun dengan suara
yang parau karena menahan tangisnya, raka menceritakan setiap detail kisah yang
terjadi saat itu. Sementara David menyimaknya dengan seksama setiap untaian
kata yang keluar dari mulut sahabatnya. Betapa dia begitu tahu sulitnya bagi
sahabatnya itu untuk bertahan hidup hingga sekarang. Semua pencapaian yang
didapatkannya itu, masih saja tak mampu menghapus luka kesedihan yang tersemat
di hatinya. Yang mungkin sudah merekat bagai karang di lautan dalam. Seperti
itulah kenangan tentang masa lalunya yang tak pernah bisa dilupakannya itu.
David
mengeluarkan sebuah foto kecil di saku celana kanannya. Dan Raka pun terkejut
melihat kenapa foto itu bisa berada di tangan David.
“Dav,
loe...,”
“Sorry
gue ngambil tanpa bilang-bilang ke loe...,”
“Kenapa?
Kenapa loe....,”
“Sorry
gue hanya pengen mastiin aja seseorang dalam foto itu,”
“Maksud
loe...,” ucap Raka yang makin bingung dengan teka-teki yang David katakan.
Kemudian
David pun mengeluarkan ponsel dari saku kanan celana jinsnya. Dia bukanya flip
ponsel itu dan di carinya sebuah foto di dalamnya. Hanya terdapat satu foto itu
dalam sekian banyakfoto-foto di ponselnya. Setelah di temukannya apa yang
pengen dicarinya itu, ditunjukkannya foto itu pada Raka. Raka memandanginya
foto tersebut dan terbelalak kaget setelah menyadari siapa sebenarnya seseorang
di foto itu,”
“Ini.....,”
“Ya,
bukankah mereka orang yang sama?” ucap David dengan membadingkan foto di tangan
kanan Raka dengan foto di ponselnya.
“Dav,
bagaimana bisa loe.....,”
“Dia
seseorang yang gue kenal,”
“Maksud
loe....,”
“Sorry
gue baru ngasih tahu loe. Awalnya guenggak yakin bahwa mereka orang yang sama.
Tapi setelah gue konfirmasi ke loe hari ini gue jadi yakin bahwa mereka orang
yang sama. Seberapapun berubahnya dia sekarang, gue tahu kalau loe pasti masih
bisa mengenalinya dengan baik. Sorry Raka, gue gak bermaksud...,”
“Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah
dia hidup bahagia? Seberapa tingginya kini? Apakah dia....,”
“Raka...,”
“Sorry,
gue hanya pengen tahu,”
“Dia
baik. Keadaannya baik-baik saja. Dia....,”
“Syukurlah
kalau begitu, aku lega mendengarnya...,” ucap Raka memotong perkataan David.
“Raka,
gue.... Gue tahu dimana gadis itu sekarang. Gue bisa bawa loe menemui dia..,”
“Tidak
usah. Gue sudah denger dari loe kalau dia baik-baik saja. Tak ada alasan lagi
bagi gue untuk menemuinya..,”
“Tapi Raka loe udah nyari dia
kemana-mana. Loe...,”
“Gue
hanya pengen tahu keadaannya saja. Gue gak..........,”
“Berhenti
membohongi diri loe sendiri. Gue tahu loe pengen banget menemuinya....,”
“David.............,”
“Raka,
loe harus............,”
“Loe
juga gak bisa bohongin gue...,”
“Maksud
loe..?”
“Loe
juga ada rasa sama gadis di foto itukan...?”
“Raka...,”
“Sudahlah,
mungkin saja mereka hanya mirip. Bisa saja aku salah mengenalinya. Ini sudah 10
tahun lamanya...,”
“Karena itu, loe harus temuin dia
buat nyari tahu kebenarannya,”
“Lantas
apa ada yang berubah jika memang benar itu dia...,”
“Raka...,”
“Harusnya
loe tak perlu ngasih tahu gue tentang dia padahal loe sendiri juga menyukai
gadis itu,”
“Raka,
bagaimana mungkin gue nyembunyiin itu dari loe. Dia milik loe, gue gak berhak
buat merebut dia dari loe,”
“Dia
bukan milik gue Dav, dia milik dirinya sendiri,”
“Ya,
tapi hatinya hanya milik loe...!!”
“Dav...,”
“Gue
ngelakuin ini bukan hanya buat loe. Bukan karena loe sahabat gue. Tapi, gue
lakuin ini sepenuhnya karenanya. Karena sepertinya yang loe bilang gue
menyukainya. Karena itu gue harus ngelakuin ini meskipun nyakitin,”
“Sudahlah gue nggak mau bahas ini
lagi,”
“Gue
gak tahu pastinya bagaimana perasaannya ke loe. Tapi, selama gue kenal dia, dia
gak pernah bisa buka hatinya untuk orang lain. Termasuk untuk gue,”
“Dav...,”
“Jadi,
gue mohon, sebagai sohib loe gue mohon jangan menghindar lagi darinya. Kalian
berdua harus menyelesaikan semua permasalahan diantara kalian..,”
“Tapi....,”
“Jangan-jangan
loe gak mau ngelakuinnya karena gue...,” ucap David. Loe takut nyakitin
gue...?” tanya David dengan kembali pada dirinya yang biasanya.
“Dav...,”
“Loe
gak usah khawatirin gue. Gue ini David Alata, gue nggak akan sakit hati hanya
karena gagal dapetin satu cewek yang gue suka. Diluar sana masih banyak gadis-gadis
yang masih mau ngantri untuk gue. Lagipula gue udah bosen di tolak terus sama
cewek itu,”
“David loe...,”
“Gue
serius, lagipula ini semua sudah takdir bahwa loe harus bertemu dengannya.Dan
sejak awal ini sudah menjadi keputusan loe, karena itu gue gak mau loe merusak
rencana hidup loe karena loe tahu bahwa dia akan ada disana...,”
“Karena
itukah loe ngasih tau gue di awal tentang dia, agar gue gak lari?”
“Ya...,”
ucap David. “Tapi, lebih dari itu, gue lakuin semua ini karena dia...,” gumam
David.
*****
0 comments:
Posting Komentar