Jumat, 13 Juli 2018

Satu

Edit Posted by with No comments


I took for granted, all the times
That I thought would last somehow
I hear the laughter, I taste the tears
But I can't get near you now

~Right Here Waiting,  Richard Marx~


   Naura menarik nafas lega. Acara pelatihan para asisten baru pun telah usai. Sungguh menyenangkan rasanya, dia dapat merasakan betapa jerih payahnya selama ini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari terakhir dia dan rekan-rekannya berada di camp pelatihan. Dalam kesenggangan waktu dari rutinitasnya dia duduk termenung di atas bukit. Memandang bebas temaran cahaya senja di kaki langit. Sesekali di pejamkannya matanya, untuk menyimpan keindahan itu dalam pikirannya. Di biarkannya beberapa helai rambutnya yang terurai itu terbang kesana kemari di terpa hembusan angin sore yang sejuk.
“Kau suka memandangi langit...,” seseorang mengomentari kelakuan Naura tiba-tiba.
Tanpa mencari tahu dari mana asal suara samar-samar itu, Naura hanya menjawab tanpa berbalik dari pandangannya yang masih terpaku pada langit yang menjulang tinggi di atasnya.
“Hm...,” ucapnya singkat dan suasana pun menjadi hening. Sosok seseorang yang tengah mengomentari kelakuannya tadi kini duduk di sampingnya.
Naura masih saja tak menghiraukan siapa yang kini tengah bertengger di sampingnya itu. Dia tetap saja tak mengalihkan pandangannya. Namun, dalam keheningan dia pun mengatakan sesuatu pada seseorang di sampingnya.
“Bukankah langit itu sangat indah...?” tanyanya sembari menunjuk langit yang menjulang di atasnya itu.
Tak mencoba untuk mengalihkan pandangan Naura dari objek yang menurutnya indah itu untuk berbalik menatapnya bicara, seseorang yang tengah duduk di samping Naura itupun menanggapi pertanyaan Naura dengan balik bertanya.
“Kenapa kau suka sekali memandang langit..?” tanya orang itu.
Naura tak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia menarik nafas panjang dan dalam sebelum menanggapi pertanyaan yang dilontarkan seseorang itu.
“Kenapa ya? Kenapa aku suka memandang langit?” Dia mengulang pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Setelah berhenti sejenak dari pertanyaan yang dilontarkannya sendiri untuk dirinya, dia pun kembali berucap. “Ketika kau merindukan seseorang yang tidak bisa kau temui, kau bisa memandang langit. Karena bisa jadi di suatu tempat yang lain, orang itu juga tengah melakukan hal yang sama denganmu. Sehingga dengan begitulah tatapan mata kalian bisa saling bertemu. Bukankah begitu? Kak... Randy...?”
Naura bertanya balik kepada seseorang di sampingnya. Dia pun kini mengalihkan pandangannya ke arah sesosok lelaki yang tengah duduk di sampingnya itu. Tapi begitu terkejutnya dia, ketika seseorang yang berada disampingnya itu bukanlah orang yang sesuai dengan dugaannya semula. “Professor, anda....?” tanyanya dengan raut wajah terkejut dan bersemu merah karena menahan malu.
“Ya, ini aku...?” ucap seorang lelaki yang berusia lima tahun lebih tua dari Naura itu.
“Professor, ma’af saya pikir anda....?”
“Memangnya suaraku mirip sama suara Randy ya...?”
“Ah,, itu....,”
“Tak apa, aku tau kau sangat dekat dengannya. Tapi sayang sekali aku bukan Randy seperti dugaanmu. Apa kau kecewa...?”
“Ah, tidak-tidak. Saya tidak kecewa hanya saja saya berbicara sesuatu yang sedikit tidak masuk akal,”
“Hm.. apanya yang tidak masuk akal. Aku ngerti semua maksud dari perkataanmu. Memangnya kau pikir karena aku lebih tua darimu, makanya aku tak mengerti apa yang dikatakan oleh anak muda?”
“Ah, bukan,bukan begitu maksud saya....,” ucap Naura karena merasa bersalah dan menanggung malu karena kecerobohannya yang tak memeriksa dulu siapa yang di ajaknya bicara sendari tadi.
   Suasana hening seketika. Daniel tersenyum melihat tingkah Naura yang kikuk menghadapinya. Dia tahu bahwa mahasiswinya itu kini tengah malu menghadapi dirinya bahkan melirik sedikitpun kearahnya saja enggan dilakukannya. Dia dapat mengerti kenapa Naura begitu malu menghadapinya. Tanpa sengaja gadis itu telah mengatakan sesuatu yang seharusnya hanya disimpannya dalam hatinya saja atau bahkan dibaginya untuk orang-orang yang dipercayainya. Tapi tak disangka gadis itu malah melakukan kecerobohan dan membiarkan Daniel tahu sedikit tentang rahasia hatinya.
“Kau sedang merindukan seseorang..?” tanya Daniel pada Naura, memecahkan keheningan yang tercipta.
Naura menatap seseorang yang mengajaknya bicara. Dia ragu harus memberikan jawaban apa tentang pertanyaan yang tiba-tiba di ajukan untuk dirinya itu. Kebimbangan menyelimutinya, haruskah dia menjawab ataukah membiarkan pertanyaan itu berlalu saja tanpa jawaban dengan mengalihkan pembicaraan ke topik yang lainnya. Tapi, dia merasa tidak enak jika tidak memberikan jawaban atas pertanyaan professornya itu. Dalam kecanggungan akhirnya ia pun memutuskan untuk menjawab pertanyaan itu.
“Ya,” ucapnya singkat.
“Oh...,” balas Daniel. “Siapa dia?”
Naura tak menjawab pertanyaan itu kali ini. Dia terkejut dan menatap Daniel yang ternyata masih berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak diduganya.
“Siapa? Siapa orangnya?” tandas Daniel lagi.
Naura tetap saja pada keyakinannya bahwa dia tak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Daniel yang kian meruncing ke arah privasinya. Tapi, Daniel juga masih bersikukuh ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya itu. Entah mengapa, Daniel sangat ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan yang kian hari kian mengganggunya itu.
Naura berdiri dari posisi duduknya. Dia hendak beranjak pergi meninggalkan Daniel yang masih duduk di bukit itu yang masih bersikukuh dengan pertanyaan-pertanyaannya itu.
“Ma’af professor saya harus berkemas,” ucap Naura. Dilangkahkannya beberapa langkah kakinya menuruni bukit setelah mengatakan kata-kata itu. Namun, ketika ia membalikkan badannya memunggungi Daniel dan berjalan pergi, Daniel menarik pergelangan tangan kiri Naura hingga mau tak mau Naura pun harus menghentikan langkah kakinya.
“Oh, jadi karena dia. Karena orang itukah kau bahkan tak melihatku selama ini..?” ucap Daniel dengan asumsinya sendiri. Naura lagi-lagi tak mau menjawab pertanyaan itu.
Dalam keheningan itu, terdengar samar-samar suara seseorang meneriakkan nama Naura.
“Ma’af professor, mereka sedang mencariku,” ucap Naura. Akhirnya mau tak mau dengan terpaksa Daniel pun melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan kiri Naura. Naura pun berlalu pergi meninggalkan Daniel yang masih duduk terpaku di atas bukit. Dalam perjalanan menuruni bukit, Naura bernapas sedikit lega. Setidaknya dengan adanya suara seseorang yang meneriakkan namanya itu dia tak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Daniel. “Terima kasih, telah menyelamatkanku..,” gumannya dalam hati pada suara yang telah meneriakkan namanya itu, yang sesungguhnya tak ia ketahui secara pasti suara siapa itu.
*****
David terbaring di tempat tidur dalam lamunannya. Dia masih ingat kejadian yang berlangsung beberapa bulan yang lalu.
Beberapa waktu lalu, David berkunjung ke rumah Raka untuk membantu Raka yang hendak mengemasi beberapa barangnya karena hendak pergi ke luar kota tempat tinggalnya untuk bekerja di tempat yang baru. Tanpa sengaja David menjatuhkan sebuah album foto lama yang tertata rapi di rak buku Raka. David menikmati memandangi foto-foto masa kecil Raka meskipun tanpa seizin dari pemiliknya. Hubungan mereka memang sudah cukup dekat dan bahkan bisa dibilang sudah layaknya seperti saudara kandung. Jadi apapun yang David lakukan terhadap barang-barang Raka tak perlu lagi mendapat persetujuan darinya.
Selembar-demi selembar dinikmatinya foto-foto tua itu. Banyak sekali foto masa kecil Raka yang masih bertampang innocent dan imut-imut itu. Tapi ketika dia melihat foto seseorang yang berdiri disamping foto masa kecil Raka itu, membuat David terbelalak kaget dan tak percaya. Dia mengenali foto seorang gadis kecil yang tersenyum ceria di samping Raka di sebuah taman. Foto gadis itu tak asing di matanya, seolah dia sudah ribuan kali melihat gadis yang sama dengan gadis di foto itu. Meskipun masih bertampang tembem dan imut dalam foto itu, tapi David bersikeras bahwa foto itu adalah foto gadis yang sering bersamanya saat ini. Diambilnya ponselnya dan dicocokkannya foto dalam ponsel itu dengan foto dalam album yang dipandanginya itu. Setelah dibandingkannya kedua foto itu, barulah dia yakin bahwa dugaannya tak salah.
“Raka, gadis kecil ini...?” tanya David pada Raka dengan menunjukkan foto itu.
“Oh, dia... dia orangnya..,”
“Orangnya? Maksudmu, orang yang selama ini kau cari?”
“Ya..,”
Wajah David pucat pasi mendengar perkataan Raka. Seolah tengah didengarnya dentuman bom yang menggelegar di depannya. Dia tak percaya bahwa gadis yang sering diceritakan oleh sahabatnya itu adalah gadis yang setiap hari mengisi hari-harinya dan gadis yang perlahan-lahan mulai mengisi hatinya. Dia di dera kebimbangan yang cukup dalam, apakah dia harus memberi tahu Raka tentang kebenaran gadis itu, ataukah dia hanya harus menyimpannya saja seumur hidupnya agar dia tetap bisa bersama dengan gadis itu.
Tapi, sungguh egois dirasakannya, ketika dia mengetahui betapa sahabatnya sangat merindukan gadis itu, dan betapa kerasnya bagi sahabatnya untuk dapat menemukan gadis itu. Sampai hatikah dia tetap menyembunyikan keberadaan gadis yang sangat di cintai oleh sahabatnya itu, bahkan lebih dari rasa cintanya terhadap dirinya sendiri. Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam pikirannya. Dia pun tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Raka setelah dia tahu bahwa baik Raka maupun dirinya mencintai gadis yang sama.
Setelah berpikir panjang akhirnya David memutuskan untuk memberitahu Raka kebenarannya meskipum dia tahu bahwa dia pasti akan terluka. Namun, dia tak mau menyembunyikan kenyataan itu dari sahabatnya. Sejak awal gadis itu adalah milik Raka, dan dia tak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Lebih dari itu, alasan yang lebih penting adalah karena dia tahu bahwa gadis itu, juga menyimpan perasaan yang sama dengan sahabatnya.
*****
Raka duduk termenung di beranda rumahnya. Dinikmatinya indahnya langit sore yang menghampar diatasnya. Esok pagi dia, sudah tak akan bisa menikmati keindahan tempat tinggalnya itu karena pergi ke luar kota untuk bekerja di tempat yang baru. Tak mudah membuat keputusan itu, pasalnya dia tak pernah ingin meninggalkan tempat itu. Betapa banyak kenangan terukir di sana. Entah kenangan menyenangkan atau bahkan mengharukan sekalipun telah dilaluinya di ¼ hidupnya. Sebenarnya dia enggan untuk pergi meninggalkan tempat itu, terlebih karena takut bahwa sewaktu-waktu seseorang yang di tunggunya itu akan datang mencarinya. Tapi, waktu berlalu begitu cepat, entah sudah berapa tahun di habiskannya waktunya di tempat itu hanya untuk menunggu orang itu. Karena itulah kini dia memutuskan untuk pergi. Dia ingin melupakan kenangan itu meskipun ia tahu bahwa itu bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, karena tak ingin membuat ibunya kian hari kian bersedih melihat dirinya, dia pun memutuskan untuk pergi.
   Terdengar dering ponselnya di sela-sela lamunan yang di bangunnya. Setelah di bacanya nama yang tertera di walpapernya itu, dia pun menjawab telpon dari seseorang di seberang sana.
“Oh, loe.. ada apa?”
“Raka, loe dimana?”
“Gue di rumah. Ada apa loe nyari gue?”
“Gue ada di taman deket rumah loe. Ada sesuatu yang pengen gue omongin ke loe. Loe  bisa kemari?”
“Ada apa? Apakah sesuatu yang penting?”
“Ya?”
“Kenapa nggak di rumah aja?”
“Gue gak bisa bicarain ini di rumah loe..?”
“Ya, baiklah gue kesana...,”
   Raka kembali masuk ke dalam kamar untuk mengganti bajunya. Ia tak tahu apa sebenarnya yang ingin di bicarakan oleh David hingga ia tidak bisa membicarakan hal itu di rumahnya. Usai berganti pakaian Raka pun melesat dengan cepat menuju tempat pertemuannya dengan David.
*****
   Di taman David sedang duduk-duduk menunggu kedatangan Raka. Senyum simpul mengembang di kedua pipinya ketika mendapati Raka sudah berdiri di hadapannya. Di berikannya minuman yang telah di belinya itu pada Raka dan menyuruh Raka untuk duduk di sampingnya,
“Duduklah...,”
“Apa yang pengen loe omongin hingga gak bisa di omongin di rumah,”
“Oh, ini tentang foto gadis kecil yang gue tanyakan padamu beberapa bulan yang lalu,”
“Oh, karena dia..,”
“Ya, loe bilang jangan pernah ungkit lagi tentang dia karena loe takut ibu loe akan sedih mendengarnya,”
“Ya...,”
“Karena itulah gue ngajak loe ketemuan disini,”
“Tapi, kenapa loe tiba-tiba pengen tau tentang gadis itu?”
“Gue cuman pengen tahu alasan kenapa loe putus darinya. Apakah karena Rasya? Karena Loe dan Rasya bener-bener.....,”
“Gue gak nyangka loe gak percaya sama gue Dav,”
“Bukan begitu maksud gue, hanya saja, gue.....,”
“Itu bukan karena Rasya. Gue gak pernah ngelakukan itu terhadapnya dan loe juga tahu sendiri kan kalau gue bukan cowok yang sebrengsek itu,”
“Ya, gue tahu. Gue percaya sama loe...,”
“Tapi, kenapa?”
“Dav, kenapa loe bahas sesuatu yang sudah lama berlalu..,”
“Karena gue pengen tahu. Untuk memutuskan sesuatu, gue harus tahu tentang kebenaran itu,”
“Maksud loe...,”
“Raka, loe percaya kan sama gue...,”
“Ya,”
“Jadi gue mohon jelasin semua masalah loe dengannya pada gue tanpa bertanya apa-apa lagi,”
“Ya, apapun yang loe lakuin gue gak peduli. Gue akan ceritakan semuanya sama loe...,” ucap Raka.
   Cerita panjang di balik kenangan masa lalu yang menyegel hatinya itu pun di ceritakan oleh Raka pada David. Entah berapa banyak dia menahan rasa sakit di hatinya karena mengulang kembali semua kenangan-kenangan itu. Meskipun dengan suara yang parau karena menahan tangisnya, raka menceritakan setiap detail kisah yang terjadi saat itu. Sementara David menyimaknya dengan seksama setiap untaian kata yang keluar dari mulut sahabatnya. Betapa dia begitu tahu sulitnya bagi sahabatnya itu untuk bertahan hidup hingga sekarang. Semua pencapaian yang didapatkannya itu, masih saja tak mampu menghapus luka kesedihan yang tersemat di hatinya. Yang mungkin sudah merekat bagai karang di lautan dalam. Seperti itulah kenangan tentang masa lalunya yang tak pernah bisa dilupakannya itu.
   David mengeluarkan sebuah foto kecil di saku celana kanannya. Dan Raka pun terkejut melihat kenapa foto itu bisa berada di tangan David.
“Dav, loe...,”
“Sorry gue ngambil tanpa bilang-bilang ke loe...,”
“Kenapa? Kenapa loe....,”
“Sorry gue hanya pengen mastiin aja seseorang dalam foto itu,”
“Maksud loe...,” ucap Raka yang makin bingung dengan teka-teki yang David katakan.
   Kemudian David pun mengeluarkan ponsel dari saku kanan celana jinsnya. Dia bukanya flip ponsel itu dan di carinya sebuah foto di dalamnya. Hanya terdapat satu foto itu dalam sekian banyakfoto-foto di ponselnya. Setelah di temukannya apa yang pengen dicarinya itu, ditunjukkannya foto itu pada Raka. Raka memandanginya foto tersebut dan terbelalak kaget setelah menyadari siapa sebenarnya seseorang di foto itu,”
“Ini.....,”
“Ya, bukankah mereka orang yang sama?” ucap David dengan membadingkan foto di tangan kanan Raka dengan foto di ponselnya.
“Dav, bagaimana bisa loe.....,”
“Dia seseorang yang gue kenal,”
“Maksud loe....,”
“Sorry gue baru ngasih tahu loe. Awalnya guenggak yakin bahwa mereka orang yang sama. Tapi setelah gue konfirmasi ke loe hari ini gue jadi yakin bahwa mereka orang yang sama. Seberapapun berubahnya dia sekarang, gue tahu kalau loe pasti masih bisa mengenalinya dengan baik. Sorry Raka, gue gak bermaksud...,”
“Bagaimana  keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia hidup bahagia? Seberapa tingginya kini? Apakah dia....,”
“Raka...,”
“Sorry, gue hanya pengen tahu,”
“Dia baik. Keadaannya baik-baik saja. Dia....,”
“Syukurlah kalau begitu, aku lega mendengarnya...,” ucap Raka memotong perkataan David.
“Raka, gue.... Gue tahu dimana gadis itu sekarang. Gue bisa bawa loe menemui dia..,”
“Tidak usah. Gue sudah denger dari loe kalau dia baik-baik saja. Tak ada alasan lagi bagi gue untuk menemuinya..,”
“Tapi Raka loe udah nyari dia kemana-mana. Loe...,”
“Gue hanya pengen tahu keadaannya saja. Gue gak..........,”
“Berhenti membohongi diri loe sendiri. Gue tahu loe pengen banget menemuinya....,”
“David.............,”
“Raka, loe harus............,”
“Loe juga gak bisa bohongin gue...,”
“Maksud loe..?”
“Loe juga ada rasa sama gadis di foto itukan...?”
“Raka...,”
“Sudahlah, mungkin saja mereka hanya mirip. Bisa saja aku salah mengenalinya. Ini sudah 10 tahun lamanya...,”
“Karena itu, loe harus temuin dia buat  nyari tahu kebenarannya,”
“Lantas apa ada yang berubah jika memang benar itu dia...,”
“Raka...,”
“Harusnya loe tak perlu ngasih tahu gue tentang dia padahal loe sendiri juga menyukai gadis itu,”
“Raka, bagaimana mungkin gue nyembunyiin itu dari loe. Dia milik loe, gue gak berhak buat merebut dia dari loe,”
“Dia bukan milik gue Dav, dia milik dirinya sendiri,”
“Ya, tapi hatinya hanya milik loe...!!”
“Dav...,”
“Gue ngelakuin ini bukan hanya buat loe. Bukan karena loe sahabat gue. Tapi, gue lakuin ini sepenuhnya karenanya. Karena sepertinya yang loe bilang gue menyukainya. Karena itu gue harus ngelakuin ini meskipun nyakitin,”
“Sudahlah gue nggak mau bahas ini lagi,”
“Gue gak tahu pastinya bagaimana perasaannya ke loe. Tapi, selama gue kenal dia, dia gak pernah bisa buka hatinya untuk orang lain. Termasuk untuk gue,”
“Dav...,”
“Jadi, gue mohon, sebagai sohib loe gue mohon jangan menghindar lagi darinya. Kalian berdua harus menyelesaikan semua permasalahan diantara kalian..,”
“Tapi....,”
“Jangan-jangan loe gak mau ngelakuinnya karena gue...,” ucap David. Loe takut nyakitin gue...?” tanya David dengan kembali pada dirinya yang biasanya.
“Dav...,”
“Loe gak usah khawatirin gue. Gue ini David Alata, gue nggak akan sakit hati hanya karena gagal dapetin satu cewek yang gue suka. Diluar sana masih banyak gadis-gadis yang masih mau ngantri untuk gue. Lagipula gue udah bosen di tolak terus sama cewek itu,”
“David loe...,”
“Gue serius, lagipula ini semua sudah takdir bahwa loe harus bertemu dengannya.Dan sejak awal ini sudah menjadi keputusan loe, karena itu gue gak mau loe merusak rencana hidup loe karena loe tahu bahwa dia akan ada disana...,”
“Karena itukah loe ngasih tau gue di awal tentang dia, agar gue gak lari?”
“Ya...,” ucap David. “Tapi, lebih dari itu, gue lakuin semua ini karena dia...,” gumam David.
*****







0 comments:

Posting Komentar