Jumat, 13 Juli 2018

Tujuh

Edit Posted by with No comments


Hanya kamu, kaulah satu-satunya hal yang aku akan lihat selamanya.
Di mataku, dalam kata-kataku dan semua yang kulakukan.”
~ West Side Story ~
Pagi menjelang dan waktu sudah menunjukkan jam 08.00 tepat. Acara pengumuman pemenang pencarian harta karun dan outbond yang sempat tertunda kemarin akan dilakukan kali ini. Semua peserta berkumpul di aula selepas sarapan pagi. Naura masih kebingungan mencari-cari barang yang tidak ditemukannya kemarin.
“Kau mencari apa Ra...,” tanya Sifa.
“Kalungku Fa, aku ingat aku mencarinya dari kemarin tapi aku tak bisa menemukannya. Bagaimana ini....,” ucapnya.
“Apa kalung itu sangat berarti bagimu....,”tanya Sifa lagi.
“Iya.....,”ucapnya sembari tertunduk lemas.
“Ya sudah nanti kita coba cari lagi ya. Sekarang kita sudah di tunggu di aula,” ucap Sifa. Dan kemudian mereka pun berjalan menuju aula.
Seseorang melihat dan mendengar samar-samar kejadian itu dari kejauhan.
“Bodoh, kau sampai balik ke hutan hanya untuk mencari ini...,” gumam seseorang sembari memegang sebuah liontin dengan inisial “R” ditangannya.
   Acara berlangsung dengan lancar hingga waktu tak terasa sudah sore hari. Esok sudah saatnya bagi semuanya untuk kembali ke tempat kerja mereka untuk melakukan aktivitas mereka sehari-hari. Malam harinya acara barbekyu diadakan untuk menutup serangkaian acara yang ada. Beberapa irisan daging, paprika, nanas dan lainnya sudah berada dalam tusukan sate dan siap untuk di panggang. Beberapa dosen dan dokter sebagai panitia berkumpul dan duduk dalam perkumpulan mereka. Sementara yang lain entah itu asisten atau karyawan rumah sakit saling duduk berhamburan karena sudah terlanjur akrab satu dengan yang lainnya.
   Acara pentas seni kecil juga di adakan hanya sebagai hiburan. Mungkin hanya ada satu dua orang yang menyumbang untuk bernyanyi agar suasana menjadi meriah. Kolam renang di tengah aula dihiasi oleh lilin-lilin yang indah menampakkan suasana romantis dan nyaman di hati siapapun yang melihatnya seolah mereka terlepas dari semua beban yang ada. Naura membawa nampan penuh dengan barbekyu yang masih mentah yang siap untuk di panggang. Namun tiba-tiba sesuatu yang tak terduga terjadi. Seseorang yang entah dengan sengaja atau tidak tiba-tiba mendorongnya. Naura terhuyung, tubuhnya limbung dan tanpa sadar dia sudah tercebur di dalam kolam renang tersebut.
“Byuuuuuurrrrrrr…………….,” suasana yang ramai kemudian senyap seketika mendengar suara tersebut.
“Ada orang yang jatuh…ada orang jatuh….,” ucap yang lain.
“Dia tidak bisa berenang,,,,” ucap seseorang yang lain lagi yang melihat kejadian tersebut dan melihat orang yang tercebur itu menggapai-gapai sesuatu diatasnya sembari menaik turunkan kepalanya ke dalam air.
Beberapa orang bukan menolong tapi malah penasaran mencari tahu siapa gadis yang tercebur itu. Seseorang segera menceburkan diri ke dalam kolam dari sisi dan sudut yang lain dimana di penuhi oleh banyak orang yang mengitari kolam renang tersebut. Diangkatnya gadis itu dalam pangulannya untuk berusaha menyelamatkannya. Kemudian di telentangkannya gadis itu di tepi kolam yang kini sepi yang sengaja di berikan space kosong oleh para penonton yang melihat kejadian itu.
“Naura….,” ucap Prof. Daniel dengan lantangnya dan mimik muka terkejut. Sementara yang lain yang mengenal naura pun langsung mencari jalan untuk mendekat melihat kondisi gadis itu. Lelaki yang menolong Naura itu langsung segera melakukan pertolongan pertama pada gadis itu. Di bukanya mulut gadis itu dan segera dihembuskannya udara ke dalamnya.
“Apa yang kau lakukan..?” Prof. Daniel tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh pria penolong.
“Dia sedang melakukan pertolongan pertama professor,,,” jelas dr. Farhan.
“Tapi…kenapa…kenapa harus…..,” Prof. Daniel masih tidak setuju dengan metode yang digunakan oleh lelaki penolong itu. Baginya itu bukanlah perbuatan yang patut dilakukan terlebih pada gadis itu, gadis yang diam-diam dicintainya itu.
   Gadis itupun akhirnya terbatuk-batuk sembari mengeluarkan beberapa air dari dalam mulutnya. Nafas gadis itu kembali lagi dan normal seperti sedia kala. Rasa sesak yang menghimpit dadanya kini sudah hilang. Perlahan demi perlahan diapun mulai tersadar. Melihat hal itu sang penolong pun segera meninggalkan gadis itu dan orang-orang yang ramai mengelilinginya.
   Naura melihat sang lelaki yang menolongnya itu samar-samar. Tapi dia dapat mengenali orang itu meski hanya melihat punggungnya yang kini berjalan semakin menjauh darinya.
 “Raka….”desahnya.
   Naura segera pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian di bantu oleh Sifa. Sebelumnya dia sudah membungkukkan badan untuk meminta ma’af pada orang-orang yang memadati tempat itu. Dia berpikir bahwa karenanya acara penutupan jadi terhenti beberapa jam, meskipun sebenarnya bukan sepenuhnya dia yang bersalah tapi Naurea tetap meminta ma’af karena merasa tidak enak.
   Digantinya pakaian yang basah dengan pakaian baru. Tapi tak sengaja tangannya menemukan sesuatu tergantung di lehernya.
“Kalung ini….Jangan-jangan Raka…..,” gumamnya. Kemudian dia segera menyelesaikan menyisir rambutnya dan bergegas keluar dari kamarnya.
“Loh, kamu sudah selesai Ra….,” tanya Sifa. Yang ditanya malah tidak menjawab dan hanya mengangguk saja.
“Aku pergi dulu Fa….,” ucapnya dengan tetap meninggalkan Sifa yang masih terbengong di depan pintu.
*****
   Naura menyusuri tiap kolam renang yang masih ramai dipenuhi oleh orang-orang yang masih belum selesai dengan acara penutupan itu. Beberapa orang memanggilnya, menanyakan keadaannya namun ia tak menjawab hanya anggukan kecil yang ia lakukan untuk menjawab semua tanya mereka. Hingga Randy tiba-tiba menghadangnya hingga ia pun akhirnya mau tak mau menghentikan langkahnya.
“Kau celingak celinguk dari tadi. Sedang mencari siapa Ra…,” tanya nya.
Naura hanya diam. Sampai dia memang harus mengatakan siapa yang dicarinya kini karena sedari tadi orang itu tak kunjung ditemuinya.
“Raka….,” ucapnya.
“Ha….?”
“Maksudku dr. Raka, Kak Randy apa kau melihatnya??”
“Oh dr. Raka. Iya, tadi dia izin pulang ke Prof. Daniel sama dr. Farhan. Katanya sih ada urusan gitu…,”
“Maksudmy dia kembali…..,”
“Iya dia tidak disini. Dia sudah kembali lebih dulu. Paham….,”
“Ya….,” jawab Naura dengan disertai anggukan kecil.
   Keinginannya untuk mengkonfirmasi tentang kalung itu juga keinginannya untuk mengucapkan terima kasih pada Raka karena telah menolongnya kini sirnah sudah. Lelaki itu sudah kembali lebih dulu.
“Kenapa kau pergi Raka…. ,” desah Naura dalam lamunannya di kejauhan dari keramaian yang ada di sekitar kolam renang. Sementara sepasang mata di kejauhan tengah mengamati kesendiriannya dan menebak-nebak apa yang tengah dipikirkan oleh gadis yang diamatinya tersebut hingga membuat wajah gadis itu menjadi sedikit muram.
*****
Sudah beberapa bulan sejak acara lokakarya itu Naura tak melihat Raka sama sekali. Di rumah sakit, di kampus atau dimanapun, dia tak dapat menemukan Raka. Hingga yang dilakukannya sekarang hanyalah memasang wajah murung dan tak bersemangat. Seseorang menepuk bahunya ketika dia sedang duduk sendiri di kantin kampus dengan tangannya yang masih sibuk mengaduk-ngaduk lemon tea di hadapannya.
“Kenapa melamun gitu…,” tanya David.
“Oh…kau…,” hanya kata itu yang terlontar dari mulut Naura.
“Kau kenapa? Beberapa hari ini mukamu gitu terus, kayak mayat hidup tau gak…?” ledek David semberi menarik pipi Naura. Tapi Naura tetap diam dan tidak menanggapi kelakuan David. “Kau sedang memikirkan Raka?” ucap David yang tentu saja langsung merubah mata Naura menjadi berkaca-kaca kini.
Naura tak dapat menyembunyikannya kini, dia tak dapat menyembunyikan perasaanya lagi terhadap Raka dari siapapun. Rasa sesak yang sudah ditahannya selama bertahun-tahun tak dapat ditahannya lagi seolah kini dapat meledak seketika. Air matanya pun menetes kini dan butiran-butiran bak air hujan itu sudah membasahi meja kantin tempatnya duduk. Ia tak peduli lagi dengan orang-orang yang tengah memandangnya. Yang ia inginkan hanyalah mengeluarkan semua rasa sesak yang ada dihatinya.
“Jangan menangis, nanti mereka akan berfikir kalau gue udah ngapa-ngapain loe,,,” bisik David sembari menarik Naura dalam pelukannya.
“Dav, gue….gue sudah gak tahan lagi…,” ucap Naura lirih yang masih diikuti dengan isak tangisnya.
“Iya gue tahu, ini berat buat loe… Tapi apa loe sadar kalau ini juga berat buat gue Na, ngeliat loe kayak gini terus ini juga nyakitin gue Na…,”
“Ma’af Dav, gue….gue terlalu egois sama loe….,”
“Akhirnya loe sadar…,” ucap David sembari menghapus air mata yang masih menggenang di mata gadis itu. “Gue tahu, loe masih mencintai Raka, bahkan sampai sekarang bukan. Sekalipun loe sudah pisah selama bertahun-tahun sama dia, loe masih belum bisa melupakan dia bukan?”
“Dav, gue udah berusaha…gue….,”
“Iya, gue tahu. Tapi usaha loe sia-sia Naura. Pada akhirnya hati loe tetap untuk Raka, bukan gue… Sudah sekarang jangan nangis lagi, loe jelek kalau kayak gini,” ledek David yang tentu saja membuat Naura tersenyum simpul. “Gue rela, gue relain loe sama Raka, Ra…,” ucap David. “Aduh kenapa gue jadi mellow kayak gini ya, kan kita memang cuman sahabatan dari awal dan gak ada hubungan apa-apa selain itu, tapi kenapa gue berasa seperti ngelepasin cewek gue buat orang lain ya…,” ucap David dengan wajah konyolnya dan muka yang dibuatnya seolah berpikir.
Naura tersenyum. “Tapi semua terlambat Dav,,,” ucap Naura diantara senyumnya yang dipaksakannya itu.
“Tidak ada kata terlambat buat ngejar cinta loe Ra, selagi loe percaya dia takdir loe, loe bakal kembali bersama dengannya,”
“Dia sudah pergi Dav, dia pergi ninggalin gue. Dia ngelakuin apa yang pernah gue lakuin dulu terhadapnya. Gue gak tahu kalau rasanya bakal sesakit ini, gue gak tahu kalau dulu gue juga sudah buat dia sesakit ini Dav, ini salah gue,,”
“Ra, berhenti nyalahin diri loe sendiri. Bagaimana Raka bakal mau ma’afin loe kalau loe sendiri belum bisa ma’afin diri loe sendiri,” ucap David semberi mengusap puncak kepala Naura.
David mengeluarkan sebuah tiket pesawat beserta paspor dari dalam tasnya dan menyerahkannya ke Naura.
“Apa ini Dav…?” tanya Naura yang masih tidak mengerti. Naura selama ini tak mempunyai paspor karena untuk apa baginya karna dia tak pernah pergi ke luar negeri sebelumnya.
“Pergilah, susullah cowok brengsek itu…,” ucap David.
“Maksud loe…?”
“Raka di Jepang, susullah dia dan bawa dia kembali Ra…,”
“Kok loe…,”
“Gue tau, sekalipun dia gak ngasih tahu gue, gue tahu dimana sahabat gue Ra,”
“Tap..tapi,,,Kenapa dia pergi kesana Dav..?”
“Gue gak tahu. Loe yang harus nyari tahu sendiri alasan dia pergi kesana. Jadi jangan buang waktu lagi. Simpan semua ego loe dan susul dia kesana,”
“Tap..tapi bagaimana dengan kuliah gue, kerjaan gue disini.. Dia gak mungkin bisa dengan mudah mau ikutin mau gue buat balik ke Indonesia Dav, loe tahu kan bagaimana keras kepalanya dia…,” jelas Naura.
“Karena itu kami mau kamu yang menjemputnya kesana, Naura,” ucap seorang wanita dengan pakaian rapi dan tas jinjing biru tua di tangannya.
Naura terkejut mendengar siapa wanita yang tengah berbicara di tengah-tengah pembicaraannya dengan David itu. Dan dia pun terkejut bukan main ketika melihat wanita itu berjalan ke arah dimana dia dan David duduk bersama.
“Ma…ma..mama….,”  
Wanita itu membuka pelukannya lebar-lebar karna tahu bahwa gadis kecil dihadapannya itu akan berhambur memeluknya.
“Anakku, anak gadisku sudah tumbuh sebesar ini…,” ucap wanita itu sembari tetap memeluk erat gadis itu.
“Ma…ma’afin Naura, Naura ninggalin mama bertahun-tahun…,”
“Tak apa sayang, kamu tidak perlu minta ma’af, melihat kamu tumbuh menjadi gadis cantik sebesar ini saja mama sudah bahagia.. Tapi mama akan bisa lebih bahagia lagi kalau kamu bisa bersama lagi dengan Raka seperti dulu…,”
“Ma…mama….,”
“Jemput dia sayang, bawa dia kembali. Kamu mau melakukan itu bukan? Lakukan itu bukan untuk mama, atau papa, tapi lakukan itu untuk diri kamu sendiri, juga untuk Raka. Kamu mau kan sayang…?” tanya wanita itu. Naura pun menggangguk sembari masih memeluk erat tubuh wanita yang sangat dirindukannya itu.
*****
Bandara Narita, setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 7 jam akhirnya Naura tiba di Jepang. Dia masih asing di Negara tersebut pasalnya dia pergi seorang diri tanpa ditemani siapapun. Semua paspor, visa tinggal dan bahkan tempat tinggal serta semua biaya kuliah kepindahannya ke Jepang diselesaikan oleh Ibu Raka beberapa bulan yang lalu dan tentu saja itu tanpa sepengetahuan Raka. Sebelum kepergiannya ke Jepang tangisan haru terpancar dari wajah kedua orang tua Naura, dan teman-temannya, tapi mereka semua mendukung kepergian Naura. Toh disana Naura juga tetap bisa belajar banyak untuk melanjutkan kuliah S2 nya.
Sebenarnya ada keraguan dibenak Naura beberapa bulan yang lalu untuk menyusul Raka ke Jepang. Dia berat untuk berpisah terlalu jauh dan lama dari kedua orang tuanya. Maklum Naura anak tunggal jadi selepas kepergiaannya nanti perasaan kesepian pastilah hinggap di benak kedua orang tuanya nanti. Selain itu bahasa Jepang nya pun belum begitu fasih, meskipun pernah dia ikut kursus sewaktu di SMA dulu bersama dengan Raka. Ya, keduanya belajar bahasa jepang sewaktu SMA dulu karena impian mereka adalah bisa pergi ke Jepang bersama-sama suatu saat nanti. Mereka termotivasi oleh cerita Ayah Naura yang pernah pergi ke Jepang karena dapat beasiswa dari kantornya dulu ketika Naura masih sangat kecil. Ayah Naura sering bercerita tentang bunga sakura yang indah, salju di musim dingin dan banyak tempat-tempat indah lainnya disana.
Dan akhirnya, kini pun mereka menginjakkan kaki mereka di Negara impian mereka, meskipun mereka tidak pergi bersama-sama. Tapi, dengan tekad yang kuat Naura berusaha untuk menjadikan keberadaannya di Jepang akan selalu bersama-sama dengan Raka walau apapun yag terjadi.
*****

0 comments:

Posting Komentar