Berita
tentang pernikahan Alvi dengan Niken sudah tersebar di seantero kampus. Dan
tentu saja berita itu juga sampai ke telinga Irene. Irene berjalan mencari-cari
dimana Alvi berada. Ditemuinya lelaki yang kini tengah menatap keluar jendela
lantai tiga ruang kelasnya itu. Semua temannya seolah tahu apa yang akan
terjadi kemudian dan mereka meninggalkan Alvi dan Irene berdua saja di dalam
kelas.
“Ada
apa loe kesini...?” tanyaAlvi.
“Ada
apa? Loe bilang ada apa? Loe amnesia ya, atau loe pikir gue gadis bodoh yang
bisa loe bohongin gitu aja...,” cercahnya.
“Oh,
loe sudah tahu...,”
“Dengan
gampangnya loe hanya ngomong hal itu ke gue? Gue butuh penjelasan dari loe...,”
“Penjelasan
apa lagi yang loe butuhin. Bukannya loe udah tahu lebih dulu tentang hal ini
sebelumnya. Dan gue juga sudah beritahu loe sejak awal kalau gue mau di
jodohin,”
“Tapi..
loe apa gak bisa menolak keinginan kedua orang tua loe...,”
“Gue
gak punya jalan lain. Bukannya loe sendiri yang nolak untuk nikah dengan gue?
Jadi, selain menerima hal ini gue gak bisa lakuin apa-apa lagi...,”
“Jadi,
sampai akhir loe akan tetap bertahan menjadi boneka kedua orang tua loe yang
berpikiran kolot itu...?”
“Jangan
pernah mengatai kedua orang tuaku ataupun menjelek-jelekkan keluargaku.
Sekalipun aku membenci mereka, mereka tetap orang tua gue, tetap keluarga
gue..,” ucap Alvi kali ini dengan nada meninggi.
“Loe...
Loe udah berubah Vi...,”
“Gue?
Berubah? Bukannya loe yang sudah berubah. Atau sejak awal memang itu sifat dan
tujuan loe,” ucap Alvi pada Irene sembari meninggalkan gadis itu di dalam
kelas.
Irene mencoba mencerna perkataan terakhir
Alvi karena dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh lelaki itu yang
megatakan sifatnya berubah dan bahkan lelaki itu jua menyebutkan tujuannya yang
sebenarnya. Dia berpikir sejenak dan menemukan sesuatu dalam pikirnya.
“Bulshitttt
apa dia sudah tahu......,” desahnya.
*****
Alvi pulang dari kampus dan melewatkan pelajaran
terakhirnya. Bersama dengan ketujuh bodyguarnya mobil melaju menuju sebuah
rumah bergaya kuno yang luasnya naujubileh besarnya. Dari depan rumah itu tak
begitu mencolok, bahkan jika dibandingkan dengan rumah-rumah mewah lainnya yang
berada di kanan kiri rumah itu. Tapi, ketika memasuki rumah itu, interiornya
begitu indah. Terdapat ragam budaya disana ada gaya eropa dan gaya-gaya
lainnya.
Alvi duduk di Gazebo di dekat kolam
renang. Dia duduk termenung disana, memikirkan kejadian yang berlangsung hari
ini. Kalau saja dia tidak mendengar hal mengerikan itu beberapa hari lalu, maka
dia mungkin gak akan semarah saat ini pada Irene. Dan gak mungkin menyakiti
gadis itu sesadis saat ini. Pikirnya kembali pada kejadian yang berlangsung
beberapa hari lalu.
Beberapa
hari lalu Alvi berhasil kabur dari ketujuh bodyguardnya. Dia hangout bareng
bersama kedua sahabatnya, Fandy dan Bagas. Mereka mengunjungi sebuah cafe yang
cukup bergengsi. Tapi, tanpa sengaja Alvi melihat Irene juga berada disana.
Alvi hendak menghampiri Irene dan mengajaknya bergabung bersama dia dan kedua
temannya. Pasalnya baik dia ataupun Irene sulit sekali untuk pergi kencan
bersama. Karena itu dia ingin memanfaatkan fakta yang ada. Namun, gadisnya tak
sendirian di cafe itu. Dia bersama dengan seseorang, seseorang yang menjadi
musuh bebuyutannya tak hannya dirinya tapi perusahaan keluarganya juga
merupakan saingan dari perusahaan keluarga Alvi.
Kedua temannya yang melihat hal itu pula mengajak Alvi
meninggalkan cafe itu. Tapi, bukan Alvi namanya kalau dia berhenti sampai
disitu saja. Setidaknya dengan mata kepalanya sendiri dia ingin mengetahui apa
yang terjadi sebenarnya antara kekasihnya dengan Jacky. Dia mengisyaratkan
kedua temannya untuk ikut menyamar seperti dirinya. Mereka duduk tepat dibelakang
meja Irene dan Jacky hingga mereka bisa mendengar semua hal yang dibicarakan
oleh kedua orang tua itu.
“Kenapa?
Kenapa kau lakukan itu padaku....,” desah Alvi dalam renungannya.
“Loe
kenapa? Lagi galau?” seseorang mengagetkan Alvi dan membuyarkan renungan lelaki
itu.
“Loe?
Ngapain disini...?”
“Ya,
seperti biasa...,” ucapnya sembari membawa beberapa bunga lili yang telah di
petiknya dalam genggaman tangannya.
“Bisa
abis semua bungaku kalau loe petikin tiap hari......,” ucap Alvi dengan sinis
seperti biasanya.
“Loe
kenapa? Perang dingin sama cewek loe? Apa dia udah tahu kalau kita akan menikah
hari sabtu besok?” tanya Niken.
“Ya,
dia udah tahu. Dan dia marah habis-habisan ke gue. Puas loe....,”
“Hah..
Baguslah kalau dia udah tahu. Loe udah putus dengannya..?” tanyanya lagi yang
membuat Alvi langsung meninggikan suaranya karena geram.
“Loe
ngarep banget gue putus dengannya..?” ucapnya pada Niken. Niken tak menjawab,
hanya mengangguk dan tersenyum puas melihat lelaki di depannya marah.
“Jangan-jangan loe udah mulai jatuh cinta sama gue....,” terka Alvi seketika.
“Hah...
jangan ngaco hal seperti itu tidak mungkin terjadi,”
“Terus
kenapa loe puas banget denger gue mau putus sama dia...,”
“Gue
seneng aja akhirnya cowok bodoh macem loe bisa juga putus dari macan betina
itu,”
“Eh,
jangan pernah jelek-jelekin cewek gue dengan mulut kotor loe itu...,” bentak
Alvi.
“Terserah
loe deh. Harusnya loe bersyukur putus sama dia sekarang. Dia bukan cewek
baik-baik...,” ucap Niken sembari pergi meninggalkan Alvi yang masih duduk
ngejogrok di gazebo.
“Emangnya
loe cewek baik?” tanya Alvi yang melihat Niken menjauh pergi dari hadapannya.
Niken tak menjawab dia hanya memberi isyarat dengan menggerakkan kedua
pundaknya ke atas sebagai tanda jawaban atas pertanyaan Alvi.
Selepas kepergian gadis itu, Alvi kembali
pada renungannya. Tapi, dia masih dibayang-bayangi oleh perkataan Niken
terakhir kali mengenai pendapatnya tentang Irene seolah gadis itu tahu betul
siapa dia.
“Jangan-jangan
sejak awal tuh cewek tahu kebusukan Irene...,” duga Alvi.
*****
Alvi masih penasaran tentang segala hal
yang diketahui gadis itu tentang Irene. Seusai mandi dan berganti pakaian dia
mendatangi kamar Niken. Di ketuknya beberapa kali kamar itu tapi masih tak ada
jawaban. Ketika mendapati kamar itu tak terkunci Alvi langsung masuk saja ke
dalam kamar itu. Dilihatnya kamar itu dari ujung ke ujung.
“Rapi
juga kamarnya....,” gumamnya.
Sementara itu, Niken tak mengetahui siapa
yang datang ke kamarnya karna suara berisik dari shower yang dinyalakannya. Usai
mandi dikenakannya handuknya dan bergegas untuk mengambil pakaian ganti di
almari. Tapi, ketika dia melangkahkan kakinya keluar kamar mandi, dia melihat
ada seorang pria yang berdiri mengamati setiap jengkal kamarnya. Dia tak tahu
siapa pria itu, karena merasa takut akan terjadi sesuatu dengan dirinya
ditarinya kedua lengan sang pria itu dan dibantingnya dengan satu kali
bantingan hingga pria itu terjatuh di atas ranjangnya.
“Loe....,”
ucapnya terkejut ketika mendapati bahwa sang pria adalah sosok menyebalkan yang
dikenalnya.
“Iya,
nie gue bukan orang jahat yang bakal nyelakain loe...,” ucap lelaki itu.
Niken masih memegangi lelaki itu hingga
lelaki itu mengatakan maksud kedatangannya ke kamarnya secara diam-diam. Tapi
tak disadarinya handuk yang semula membalut tubuhnyanya itu beringsut turun ke
bawah secara perlahan. Dan dia sontak terkejut dengan hal itu. Langsung di
tutupnya kedua mata lelaki dihadapannya itu dari pandangannya terhadap dirinya.
Ditariknya handuk yang hampir saja jatuh dan membuat terbuka seluruh tubuhnya
itu dan kemudia dengan cepat dia melepas tangannya yang menutupi kedua mata
Alvi dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil baju mandinya. Selepas itu,
langsung di interogasinya kedatangan Alvi yang diam-diam memasuki kamarnya itu.
“Mau
apa loe kemari...?”
“Oh,
gue mau nanya sesuatu sama loe...,”
“Tapi,
loe gak harus masuk kamar gue diem-diem kan..?”
“Gue
gak masuk diem-diem. Tadi, gue udah berulang kali manggil-manggil loe. Tapi,
loe lagi keramas kali makanya gak denger...,” jelas Alvi sembari menunjuk
rambut Niken yang masih basah.
“Loe
mau nanya apa sih...?”
“Sesuatu
yang penting. Loe ganti baju dulu aja. Gue tunggu loe di taman belakang...,”
ucapnya pada Niken. Niken tak menyahut hanya berdiri memandang lelaki itu
dengan tatapan dingin. Alvi berjalan keluar dari kamar Niken, namun sebelum itu
dia membisikkan sesuatu di telingga Niken yang membuat muka gadis itu menjadi
merah karena marah. “Ternyata loe seksi juga...,” bisik Alvi ditelinga Niken
dengan senyum jahilnya.
“Loe....,”
ucap Niken sembari hendak memberikan pukulan keras pada Alvi. Tapi, Alvi lebih
sigap darinya dan keluar dari kamar itu dengan cepatnya.
*****
Niken berjalan dengan malas menuju taman
belakang. Dia mendapati Alvi yang tengah duduk bersantai di bangku samping
taman itu. Dia melangkah gontai menghampiri Alvi dan duduk diam disamping
lelaki itu.
“Kenapa
wajah loe? Loe masih marah karena gue masuk kamar loe?” tanya Alvi namun Niken
tetap diam tak menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu. “Atau loe marah karena gue
gak sengaja ngeliat........,” ucapannya terhenti karena lototan mata Niken yang
tajam ke arahnya. Alvi terkekeh melihat kelakuan gadis di sampingnya. Dia tak
henti-henti menggoda gadis itu. “Loe cakep kalau lagi ngambek. Ah.. gue salah
apa ini karena besok kau akan jadi pengantin ya makanya kau bisa jadi secantik
ini...,” goda Alvi yang membuat Niken geram.
“Sudahlah,
loe jangan main-main sama gue. Sebenarnya apa maksud loe nyuruh gue kesini?”
“Oh,
itu...itu soal Irene. Loe sepertinya tahu banyak tentang dia...?”
“Gue
harus jawab pertanyaan loe ini?”
“Iyalah
harus, kalau nggak gue bakal sebarin kalau gue sudah....,”
“Ya,
baiklah-baiklah gue jawab. Dasar cowok brengsek,” ucapnya pada Alvi. Tapi hal
itu tak membuat Alvi marah. Dia malah terkekeh mendengar hal itu. “Irene temen
SMP dan SMA gue...,”
“Apa?
Jadi dia, sama kayak loe....,”
“Kayak
gue, gimana maksud loe......,”
“Ya,
loe ngerti kan maksud gue...,”
“Udik?
Kampungan?”
“Bukan
gue yang ngomong. Loe sendiri tuh yang melontarkian kata-kata itu...,”
“Dasarr....
Bukan dia yang kayak gue. Tapi gue yang kayak dia...,”
“Maksud
loe?”
“Sudahlah
gak usah bahas yang bagian ini. Yang penting adalah gue tahu betul siapa Irene
itu. Gadis anak konglomerat yang tak begitu populer namun dalam sekejap bisa
menjadi tenar diseantero sekolah dengan menggandeng beberapa anak konglomerat
lainnya..,”
“Maksudmu...,”
“Dia
sering gonta-ganti pacar dengan mendekati anak-anak konglomerat lainnya,
dodolll...,”
“Oh...
terus....,”
“Ya,
gitu seterusnya. Ketika cowok-cowok itu tak lagi menguntungkan baginya dia
memutuskan mereka. Salah satu tujuannya mendekati pria-pria itu adalah agar dia
dapat mewujudkan impiannya menjadi pianis terkenal. Oh, ya gue denger-denger
dia sekarang juga deket dengan pewaris group MR-Company saingan perusahaan papa
loe, sebuah perusahaan yang bergerak dalam mencetak para pemain musik berbakat,
Jacky Malik Rusdiantoro...,”
jelasnya.
“Bagaiman
loe bisa tahu...,”
“Temen-temen
gue yang jadi informannya...,”
“Jangan
bohong sama gue. Loe kan gak punya temen satu pun...,”
“Terserah
loe, kalau gak percaya omongan gue, lebih baik gue pergi...,”
“Eh...
jangan ngambek gitu dong...,”
“Terus
mau loe apa...?”
“Lanjutin
cerita loe...,”
“Itu
semua yang gue tahu tentangnya. Apa lagi yang mau loe tahu?”
“Menurut
loe, apa dia ngedeketin gue karena hal itu. Bagi gue tak masalah apa tujuannya
ngedeketin gue. Tapi, kenapa sekarang dia berbalik ke Jacky?”
“Loe
bodoh atau apa. Sekarang ini perusahaan papa loe kalah jauh dibandingkan dengan
perusaan papa Jacky, yang berada dalam klasemen teratas untuk urutan seluruh
perusahaan yang ada dinegara ini,”
“Oh,
jadi dia seperti itu. Loe dan dia tak ada bedanya. Apa memang semua cewek
seperti itu,” ucap Alvi dengan raut wajah penuh kekecewaan.
*****
0 comments:
Posting Komentar