Niken
menata semua barang-barangnya dalam kamarnya yang baru. Kamar itu memang cukup
besar bahkan mungkin seluas lapangan sepak bola, tapi mengapa dia masih saja
tak merasa nyaman di rumah itu. Bukan saja karena dirinya merasa asing dengan
tempat itu, tapi karena dia membayangkan tekanan apa saja yang akan
didapatkannya nanti setelah dia memutuskan untuk menyetujui usul tersebut.
Dibukanya jendela kamarnya yang menghadap tepat kearah taman. Taman itu begitu
indah, terdapat bunga mawar, anggrek, anyelir dan bunga-bunga lainnya yang
tertata rapi di taman itu. Satu hal yang paling disukainya dari semua bunga-bunga
itu adalah bunga lili. Dibukanya pintu kamarnya dan hendak di nikmatinya
hamparan bunga lili di taman itu. Tapi, tiba-tiba seseorang menghentikan
langkahnya sejenak karena mengajaknya berbicara.
“Loe,
kok bisa ada disini..?”
“Emangnya
kenapa kalau gue ada disini. Bukannya minggu depan kita udah harus
bertunangan,”
“Kita?
Mimpi loe. Gue gak pernah mau nyetujui usul tersebut. Jangan harap loe bisa
bertunangan dengan gue. Jadi sekarang sebaiknya loe pergi dari sini..,” bentak
Alvi sembari menarik tangan Niken untuk segera meninggalkan rumahnya.
Namun, usahanya gagal karena kedatangan
seseorang. Niken mengangguk menghormat ketika mendapati orang itu mendekat ke
arah mereka berdua. Melihat siapa yang datang, sontak membuat Alvi bergegas
untuk melepaskan cengkeraman tangannya dari pergelangan tangan Niken.
“Kenapa?Kamu
mau ngusir dia..?” tanya papanya.
“Tapi
pa... Aku gak pernah menyetujui pertunangan itu,”
“Kami
tak perlu melakukannya dengan persetujuanmu. Itu sudah keputusan leluhur dan
sudah menjadi keputusan opa mu sebelum meninggal. Jadi, kamu tidak berhak
menentangnya..,”
“Tapi,
pa....,”
“Berhenti
mengusiknya atau kamu tahu sendiri apa yang akan papa lakuin terhadapmu jika
kamu berani melanggar perintah...!!!”
Alvi hanya diam terpaku di depan pintu
kamarnya yang terletak di sebelah kamar Niken. Sementara itu, Niken langsung
pergi ke tempat tujuan yang diinginkannya tadi. Alvi membanting pintu kamarnya
dengan keras hingga membuat beberapa barang antik sebagai asesoris ruangan
bergerak. Ditariknya tirai kamar tidurnya hingga terbuka dan dia melihat Niken
tengah asyik ngobrol seorang diri di depan hamparan bunga-bunga lili itu.
“Dia
melakukannya lagi,” ucap Alvi yang melihat Niken ngobrol seorang diri dengan
bunga-bunga itu. Yang bener aja, nyuruh gue bertunangan dengan cewek gila itu,jangan
harap bisa semudah yang kalian rencanakan. Gue bakal buktiin kalau tuh cewek
emang bener-bener gila. Dia sering ngomong sendiri seperti itu. Apalagi coba
kalau bukan gila,” pikirnya yang menguatkan keinginannya untuk membuktikan
bahwa Niken sebenarnya sudah tidak waras atau gila.
*****
Jam sudah menunjukkan waktu makan malam.
Kali ini semuanya berkumpul bersama di meja makan. Termasuk juga dengan Niken
yang kini menjadi anggota baru di keluarga itu meskipun belum resmi. Usai makan
papa Alvi berbicara singkat seolah sebuah perintah kepada Niken. Dalam hal ini,
terlihat jelas bahwa sikap papa Alvi terhadap Niken tidak begitu suka, tapi
kenapa laki-laki separuh baya itu mengizinkan anaknya menikahi gadis di
hadapannya itu jika dia sendiri tak terlalu suka dengan hal itu. Awalnya,
kecuali sang oma semuanya menolak perjodohan itu. Tapi, entah mengapa dalam
sekejap saja papa dan mamanya berbalik 180° dari sikapnya semula.
“Besok
tidak usah masuk kuliah, saya udah izinkan ke dosen wali kamu. Jadi selama
seminggu ini kamu hanya fokus saja mempelajari prosedur pernikahan yang di
tetapkan leluhur keluarga kami,” jelas Dana, papa Alvi.
“Baik,
om...,” ucap Niken singkat.
Sementara itu, Alvi yang mendengar bahwa
acara itu bukanlah sebuah acara pertunangan melainkan acara pernikahan
membuatnya naik pitam dan protes habis-habisan.
“Ini
apa-apaan pa?” Bukannya pertunangan tapi pernikahan?”
“Iya,
kami semua sudah memikirkannya. Daripada buang-buang waktu dengan pertunangan,
akan lebih baik jika langsung saja kita selenggarakan pernikahan,” jelas
Papanya.
“Tapi,
pa... Aku nggak mau nikah mudah. Dan kalian gak seharusnya melakukan ini
terhadapku,”
“Ini
keputusan yang terbaik putraku...,” ucap Mamanya.
“Apanya
yang keputusan terbaik. Menikah dengan gadis macam dia, mama bilang yang
terbaik? Bulshittt...........,” ucap Alvi yang sontak membuat papanya geram.
“Kenapa?
Kamu tidak terima? Selain menghambur-hamburkan uang apa yang bisa kau lakukan?
Kerjamu hanya main-main saja,” bentak papanya.
“Tap...tapi....,”
“Kenapa?
Kau sudah punya pacar...........?” tanya omanya.
“Iy...iya....,”
“Apa
dia mau kau ajak nikah dalam waktu dekat ini...?”
“Oma...
bagaimana mungkin dia menyetujuinya. Kami masih muda dan............,”
“Kalau
begitu lupakan saja dan terima keputusan ini,” ucap Omanya yang lantas bergegas
pergi dari tempat makan. Diikuti pula oleh papa dan mamanya beberapa detik
kemudian.
“Oma.....oma.....,”
teriak Alvi.
Kini hanya tinggal Alvi dan Niken yang
masih ngejogrok di meja makan. Dia menatap Niken yang masih saja bisa melahap
semua makanan di hadapannya meskipun dalam keadaan kacau balau begitu.
“Loe,
masih sempet makan dalam suasana kayak gini...?”
“Iya,
emangnya kenapa...?”
“Loe
gila ya. Loe gak tau suasananya lagi kayak gini...,”
“Itu
masalah loe, bukan urusan gue....,” ucap Niken sembari meninggalkan meja makan
tepat setelah semua makanan dalam piringnya terlahap habis olehnya.
Alvi tak habis pikir dengan sikap gadis
itu yang masih biasa-biasa saja seolah tak pernah terjadi apa-apa meskipun dia
menyaksikan sendiri pertengkaran alvi dengan papanya. Kini dia bergegas pergi
ke kamarnya untuk meredam emosinya. Di perjalanan dia melihat beberapa
pembantunya membawa setumpuk buku-buku ke kamar Niken. Dapat di tebaknya bahwa
buku-buku itu pastilah berisi tentang sejarah leluhur Alvi yang memang masih
keturunan ningrat.
“Mampus
loe, harus mempelajari semua itu..,” batin Alvi sembari membuka kamar tempat
tidurnya dan mengakhirinya dengan dentuman keras yang membuat pintu itu
tertutup kembali. Selain memang karna masih terbawa emosi, dia juga pengen
ngebuat gadis yang kini menempati kamar disebelah kamarnya itu, risih dan nggak
betah tinggal di situ lagi.
Sementara itu, Niken yang sibuk dengan
semua buku-buku yang di bawa para pembantu itu tetap terkonsentrasikan pada
buku-buku yang kini beralih memenuhi meja belajarnya. Lampu belajar yang
bertengger di atas meja belajar di sudut kamar Niken ikut terguncang hebat
karena dentuman pintu kamar Alvi yang sengaja di bantingnya.
“Loe,
pikir gue juga mau nikah ma loe. Kalau bukan karena sesuatu hal, gue gak
bakalan mau nikah sama cowok kayak loe...,” batin Niken.
*****
Esok paginya Niken keluar kamar untuk
bersiap di uji oleh asisten rumah tangga keluarga Alvi. Mereka ingin mengetahui
sejauh mana Niken sudah mempelajari buku-buku yang dilimpahkan kepadanya
semalam. Alvi yang tidak ada kuliah pagi, pergi mengintip bagaimana gadis itu
akan dibantai oleh asisten rumah tangga Papanya yang terkenal galaknya. Dia
cukup tahu betul temperamen wanita separuh baya itu. Pasalnya dia sendiri juga
digembleng olehnya untuk mengikuti tradisi dan tata cara leluhur yang
menurutnya sungguh memusingkan.
“Gue
mau liat seberapa menderitanya loe hari ini...,” batinnya. Beberapa hari yang
lalu, Alvi mendapat informasi dari teman-temannya perihal gadis itu. Gadis itu
tak begitu pandai dalam pelajarannya dan bahkan dia selalu mendapat peringkat
terakhir di kelasnya. “Bolehlah, kalau loe pandai dalam hal basket, tapi kali ini
loe pasti mampus di bantai oleh wanita tua itu,” pikirnya lagi.
Niken tengah mengikuti asisten rumah
tangga itu membawanya. Mereka berhenti di sebuah Gazebo di samping kolam
renang. Disitulah evaluasi perkembangan Niken dalam mempelajari buku-buku itu dilakukan.
Padahal baru semalam dia diberi buku-buku itu. Rasanya mustahil jika dia bisa
lulus uji evaluasi hari ini dengan mudah. Tapi, semua orang yang melihatnya tak
percaya. Bahkan sang penguji yang dikenal dengan nama asisten Maria itu pun tak
percaya betapa semua pertanyaannya dilahap habis oleh Niken. Semua jawaban
Niken sempurnah bahkan persis seperti apa yang tertulis dalam buku-buku yang
diwariskan oleh leluhurnya itu. Padahal butuh waktu lama dan bertahun-tahun
bagi asisten Maria untuk mempelajari dan menghafal semua isi buku itu, tapi
Niken hanya dalam semalam saja bisa melahap semua tulisan membosankan dalam
buku-buku itu. Tak hanya itu, bahkan dia juga dapat mempraktikkan semua yang
tertera disana.
Disisi lain, oma Mia yang memperhatikan
evaluasi itu bersama dengan menantunya dengan diam-diam tersenyum kagum melihat
betapa pandainya gadis yang dipilihnya itu.
“Sudah
saya duga, inilah dia yang sebenarnya...,” ucap Oma Mia pada menantunya.
“Ibu,
bagaimana ibu bisa tahu kalau gadis itu...........,” menantunya bertanya.
“Aku
sudah cukup mengenal siapa keluarganya. Tak hanya nenek dan kakeknya bahkan
kedua orang tuanya juga sudah ku anggap seperti anakku sendiri. Terlebih ibunya
yang dulu hendak ku jodohkan dengan Dana....,” Omanya keceplosan membicarakan
tentang sesuatu yang menyinggung perasaan menantunya. “Ma’af, Oma tak bermaksud
membandingkanmu dengannya. Bagi oma, menantu terbaik Oma sekarang adalah
kau....,” ucap Oma Mia pada menantunya yang kini tengah berwajah sedikit muram.
“Ah,
aku tak apa-apa ibu. Seharusnya ibu dan Mas Dana mengatakannya sejak awal
padaku bahwa dia adalah anak Selvi. Kenapa ibu menyembunyikannya..?”
“Ibu,
hanya tidak ingin membuatmu merasa tersinggung. Selain itu, ibu juga tidak
ingin membuatmu berpikir bahwa ibu menjodohkan putramu dengannya hanya karena
ibu gagal menjodohkan Papanya. Karena bukan hal itu tujuan ibu sesungguhnya,
kelak kau akan mengetahui bahwa hal inilah yang terbaik untuk putramu...,” ucap
Oma Mia sembari meninggalkan menantunya yang masih bergelut dengan hatinya
sendiri.
“Apa
benar, semua ini bukan karena hal itu, ibu...,” batin Ratih. “Tapi, setidaknya
dengan begini aku bisa melindungi putraku dari gadis yang dibawanya waktu
itu....,” pikirnya seketika.
*****
Asisten Maria memberi bertumpuk-tumpuk
buku lagi kepada Niken. Kali ini buku-buku itu lebih khusus pada resep-resep
masakan. Tak hanya harus pandai dalam tata krama leluhur, tapi sang menantu
keluarga Kresna harus bisa menguasai setiap hal yang dilakukan setiap istri
lainnya seperti memasak, merajut, menjahit dan pekerjaan lainnya. Meskipun
setiap harinya mereka akan dikelilingi dan di bantu oleh pembantu rumah tangga
yang berjibun banyaknya itu tapi menguasai semua hal itu sudah menjadi
kewajiban yang mendarah daging bagi keluarga itu.
Niken mendesah panjang melihat semua
buku-buku yang berjibun banyaknya itu. Sementara Alvi, kini menghampiri gadis
yang sangat dibencinya itu karena telah menghancurkan hidupnya. Dia memang juga
tak percaya bahwa gadis itu bisa lolos dari ujian asisten Maria.
“Loe
pakek apaan bisa lulus dengan mudah dari ujian wanita tua itu?” tanyanya dengan
sinis.
“Maksud
loe?”
“Ya,
mungkin aja loe pakek contekan di tangan loe. Atau loe bawa alat perekam yang
terhubung ke telinga loe...,” tebak Alvi sembari mencari-cari semua barang yang
diduganya itu. Di telitinya kedua tangan gadis itu tapi tak tersembunyi sebuah
sontekan di sana. Di sibaknya pula rambut yang kini terurai hingga menutupi
daun telinga gadis itu untuk mencari
alat perekam tapi tak juga ditemukannya.
Niken yang melihat kelakuan Alvi merasa
sedikit terkejut dengan sikap aneh Alvi yang tak mempercayai dirinya. Dia
pungunggya jatuh ke belakang dengan Alvi tepat dihadapannya. Kini jaraknya
dengan Alvi begitu dekat, hingga dia bisa merasakan desah napas lelaki itu. Menyadari
bahwa posisinya kin tidak mengenakkan Niken langsung mendorong tubuh Alvi yang
menindih badannya.
“Loe
apa-apaan sih...,” bentak Niken.
Alvi
menyadari kini semua karena kesalahannya, diapun meminta ma’af pada Niken.
“Sorry,
gue gak bermaksud... gue cuman mau.......,”
“Halah,
bilang aja kalau loe mulai suka sama gue,” ucap Niken sembari memperbaiki sikap
duduknya.
“Hah...
loe mimpi kalau berfikir gue bakal suka cewek kayak loe..,”ucap Alvi yang juga
duduk kembali seperti beberapa detik yang lalu. “Gue cuman penasaran bagaiman
loe bisa ngelewatin ujian itu dengan mulus...,” tambahnya.
“Baguslah
kalau gitu, gue gak perlu khawatir kalau loe bakalan suka sama gue. Karena asal
loe tahu aja bahwa loe bukan tipe gue,” jelas Niken sembari pergi meninggalkan
Alvi. Namun ditengah perjalanannya dia kembali berucap pada cowok bermata sipit
degan kulit putih langsat dan tubuh tinggi jangkung yang tengah ngejogrok di
gazebo itu. “Oh ya, dan tentang pertanyaan loe, gue cuman pakek otak. Gak ada
cara licik lainnya,” ucapnya sembari pergi.
“Dasar
loe... gue juga gak bakalan suka sama loe. Dan jawaban loe, gue masih gak
percaya sama perkataan loe. Mana mungkin loe bisa ngelewati hal ini cuman
dengan otak udang loe..,” ucap Alvi geram.
“Terserah
loe mau percaya atau nggak. Itu bukan urusan gue...,” ucap Niken dari kejauhan.
*****
Pukul dua siang Alvi sudah berkemas untuk
pergi ke kampus. Di perjalanan menuju gerbang dia melihat Niken yang tengah
ngobrol sendiri dengan bunga-bunga di halaman depan rumahnya.
“Eh,
ngapain loe ngejogrok disini?” sapanya dengan sinis. Niken hanya diam tak
menanggapi orang yang mengajaknya bicara. “Loe udah kayak orang gila aja
ngejogrok disini dan ngomong-ngomong sendiri dengan benda mati,” ucapnya
sembari menunjuk bunga-bunga dipekarangan rumahnya itu.
Niken
berbalik dari pandangannya dan beralih menatap Alvi yang berdiri tak jauh
darinya. “Apa urusan loe, terserah gue mau ngomong sendiri atau apa. Dan asal
loe tahu aja ya, bunga itu bukan benda mati, mereka juga mahluk hidup. Loe gak
pernah nyimak pelajaran Biologi di sekolah loe ya. Kayaknya bukan otak gue yang
otak udang, tapi loe..,” ucap Niken dengan sinis.
“Ah...
setidaknya gue masih waras daripada loe yang ngajak ngomong mahluk yang tak
bisa berbicara,” ucap Alvi sembari ngacir pergi meninggalkan Niken sendiri
dengan ditemani tujuh bodyguarnya seperti biasa.
*****
0 comments:
Posting Komentar