Rasa
penasaran membuat Alvi dengan terpaksa harus nemuin gadis itu. Dia masih tidak
percaya dengan apa yang di dengarnya dari oma dan ortunya, bahwa tuh gadis tak
menolak perjodohan dengan dirinya. Bahkan tuh gadis secara gamlang menyetujui
perjodohan itu dengan menyebutkan secarajelas alasan dari keputusannya itu.
Yang anehnya lagi adalah oma dan papanya yang malah semakin mendukung acara
perjodohan itu meskipun tahu maksud dari gadis itu hingga mau menerima
perjodohan.
“Oma...
memang benar-benar udah gila. Mana mungkin dia tetap melanjutkan perjodohan
meskipun dia tahu bahwa gadis itu punya maksud yang tidak baik. Bagi gue oma
gak masalah, tapi loe tahu papa gue malah ngedukung oma gue.. gila nggak
sih...,” jelas Alvi pada kedua rekannya yang menemaninya mencari gadis yang di
jodohkannya itu.
Kedua temannya yang mendengar Alvi
menggerutu tentang sikap oma dan papanya itu hanya manggut-manggut menyetujui
semua perkataan Alvi tanpa bisa berkata apa-apa. Mereka tak tahu apa yang harus
mereka lakukan untuk mengeluarkan sohibnya itu dari masalah perjodohannya itu.
Bagi mereka berdua, membantu Alvi dengan menentang kehendak oma dan papanya
sama saja seperti menggali kuburan mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu
keluarga mereka pun bisa kena imbasnya
karena jika sedikit saja membuat papa Alvi tersinggung dalam hitungan detik,
papa Alvi langsung bisa mengeluarkan kedua orang tua mereka dari kerja sama
dengan perusahaan K-Company. Karena bisa dibilang baik perusahaan papa Fandy
maupun perusahaan papa Bagas keduanya bisa berjalan dengan baik karena kerja
sama dengan perusahaan K-Company yang digawangi oleh papa Alvi.
*****
Alvi tak menemukan gadis itu di seluruh
fakultas seni budaya. Dia mengunjungi ruang seni lukis seperti yang disarankan
oleh beberapa orang yang kenal dengan gadis itu, tapi tetap saja tak dilihatnya
batang hidung gadis itu. Dia bertanya pada setiap orang yang berada di sana
tentang keberadaan gadis itu. Beberapa orang yang ditanya malah terkejut
melihat orang kelas atas seperti Alvi dan kedua temannya itu malah mencari
gadis dari kalangan rendah itu. Tapi, beberapa orang dengan takut-takut juga
memberitahu keberadaan tuh gadis pada Alvi yang mencarinya dengan geram.
Sebuah lapangan dengan lantai berwarna
coklat yang dibentuk seolah mirip dengan bentuk dan warna kayu itu, berkumpul
begitu banyak orang. Tak hanya tribun para penonton yang penuh sesak bahkan di
pinggir-pinggir lapangan pun di penuhi oleh sesak orang. Alvi dan kedua
temannya tak mengetahui sebenarnya apa yang terjadi di lapangan yang di hiasi
dengan dua ring yang bertengger di tengah sudut yang berhadapan itu.
Dia melaju menerobos semua penonton di
situ yang penuh sesak. Beberapa orang sepertinya tak mengenali dirinya.
Pasalnya jika mereka mengenali dirinya pasti orang-orang itu akan menepi dan
membuka jalan untuk dirinya dengan mudah.
“Kalau
gue menang loe harus jauh-jauh dari cowok gue...,” ucap seorang cewek dengan
pakaian training dan kaos pendek berwarna pink di tengah lapangan itu.
Sementara cewek di hadapannya cuman
mengenakan T-shirt biru dan celana jins itu hanya mengangguk menuruti keinginan
sang penantang. Alvi dan kedua temannya terkejut melihat siapa yang ditantang
oleh si cewek berbaju pink itu.
“Gila
tuh cewek, udah punya cowok malah setuju di jodohin dengan gue. Emang dia pikir
gue apaan, mainan...,” ucap Alvi geram di antara sorak sorai para penonton.
Para penonton lebih banyak yang mendukung
cewek berbaju pink yang kemudian dikenal dengan nama Merlyn. Merlyn, cewek yang
menantang sang gadis ber-T-shirt biru itu adalah ketua tim basket cewek di
kampus. Pantas aja jika dia menantang lawannya dengan bidang yang paling di
kuasainya karena kemungkinan besar bagi dia untuk menang. Memang tidak begitu
sportif, mengingat bahwa si cewek ber-T-shirt biru bukanlah anggota tim basket
sama kayak dirinya. Tapi, sang cewek ber-T-shirt biru tetap menyetujui
tantangan dari Merlyn.
“Gila
cewek loe, dia mau aja nerima tantangan si Merlyn, padahal dia pasti tahu siapa
si Merlyn itu,” ucap Bagas.
“Yo’i
bro... Seantero kampus ini siapa sih yang nggak kenal Merlyn. Cewek terpopuler
dan cewek yang paling berbakat di dunia basket. Meskipun cewek loe itu
terbilang tomboy atau bahkan lebih mirip cowok daripada cewek, tapi cewek loe
pasti kalah telak melawan si Merlyn itu,” tambah Fandy.
“Kalian
berdua bisa diem gak sih. Dan berhenti bilang bahwa dia cewek gue. Di dunia ini
cewek gue cuman satu, yaitu Irene...,” ucap Alvi tegas yang membuat kedua
temannya langsung berhenti berkomentar.
Alvi dan kedua sahabatnya pun larut dalam
pertandingan itu sama seperti penonton yang lain. Bahkan kini ketiganya
tercenggang melihat score berbalik begitu cepat dan membuat tuh gadis kelas
rendahan memimpin pertandingan. Semua penonton pun pada tercenggang dengan
kehebatan si gadis ber-T-shirt biru itu. Peluit berbunyi tanda pertandingan
berakhir dengan kemenangan di pegang oleh sang cewek ber-T-shirt biru. Merlyn
terdiam tak mampu mempercayai kekalahannya. Sang cewek ber-T-shirt biru
mendekati Merlyn yang jatuh tersimpuh di tengah lapangan.
“Gue
menang dan loe kalah. Jadi sekarang gimana? Apa gue boleh ambil cowok loe...,”
ucap cewek itu pada Merlyn.
“Loe.....,”
ucap Merlyn dengan geram.
“Sorry
aja kalau loe mikir gue mau ngambil cowok loe setelah gue menang. Gue cuman mau
klarifikasi ke loe, bahwa gue gak pernah godain cowok loe atau bahkan pengen
ngerebut dia dari loe. Dan asal loe tahu aja cowok macam cowok loe itu, gak
pantes buat direbutin...,” jelas sang cewek ber-T-shirt biru.
“Maksud
loe....??” Merlyn tak mengerti dengan perkataan cewek itu. Bagaimana mungkin
dia bisa bilang bahwa cowoknya gak pantes buat di rebutin padahal cowoknya
adalah ketua senat fakultas mereka dan
seseorang yang sangat terpandang di universitas itu serta menjadi incaran dari
para gadis-gadis lain.
“Loe
tanya aja sama cowok loe yang loe agung-angungin itu. Gue hanya kasihan sama
loe karna ngorbanin harga diri loe cuman buat cowok brengsek macem dia,” ucap
si cewek ber t-shirt biru
sembari meninggalkan Merlyn yang kini mencoba berdiri di bantu oleh
rekan-rekannya. Namun, ditengah perjalanannya si cewek mengucapkan sesuatu lagi
pada Merlyn. “Oh, ya.. Bilangin juga sama cowok loe, buat berhenti gangguin
gue. Kalau gak gue gak segan-segan buat patahin lagi tulang rusuknya. Bukankah
dia sekarang di rumah sakit...?” tanya si cewek ber-T-shirt biru yang tak
mengharapkan jawaban dari Merlyn. Kemudian dia pun berlalu pergi meninggalkan
Merlyn dan semua orang yang masih bergerumul di lapangan basket itu.
Sementara itu, Merlyn mencerna setiap
perkataan dari cewek ber-T-shirt biru itu dan menyadari satu hal. Mungkin benar
bahwa dia tak seharusnya hanya memandang kebenaran dari satu pihak saja tetapi
juga harus memandangnya dari pihak lain juga. Dan hanya karena dia kekasihnya
dan menderita sakit hingga terpaksa di rawatdi rumah sakit, bukan berarti dia
adalah seorang korban. Bisa saja terjadi kesalahan, bisa jadi sang korban malah
orang lain dan kekasihnya itu menutupinya hanya untuk melindungi harga dirinya
sendiri. Menyadari pemikirannya itu bisa jadi adalah suatu fakta, Merlyn segera
bangkit dan bergegas meninggalkan lapangan dan seluruh penonton yang masih
terpaku tak percaya melihat kekalahan Merlyn.
*****
Meninggalkan kedua sahabatnya masih di
lapangan basket, Alvi mengikuti sang cewek ber-T-shirt biru yang terlebih dulu
meninggalkan lapangan. Dengan diam-diam dia tetap mengikuti sang cewek itu
pergi dan berhenti pada sebuah taman di halaman belakang gedung olah raga.
Alvi, begitu terkejut ketika dari kejauhan dia mendapati sang gadis tengan
duduk bersimbuh di hadapan taman-taman itu dengan menangis tersedu. Memang di
sembunyikannya parasnya dengan menangkupkan wajahya di kedua lututnya, tapi
tangisnya masih dapat terdengar meski beberapa meter jauhnya.
“Dia
sudah menang. Tapi, kenapa dia malah menangis...,” batin Alvi. Tak hanya heran
dengan kelakuan gadis itu yang menangis setelah kemenangannya untuk
mempertahankan harga dirinya, tapi dia juga terheran-heran ketika mendapati
gadis itu berbicara sendiri. Gadis itu berbicara sendiri seolah ada seseorang
yang tengah di ajaknya bicara. Tapi, ribuan kali di kuceknya kedua matanya itu,
tetap saja memang benar bahwa gadis itu sendirian disana, dan berbicara seorang
diri.
*****
Alvi tak memakan siomay yang berada di
hadapannya. Dia hanya mengaduk-aduknya tanpa menyuapkan sesendokpun ke
mulutnya. Kedua sahabatnya yang melihat semua itu menghentikan suapan siomay
dari mulutnya dan bertanya pada Alvi perihal yang terjadi.
“Vi...,”
panggil Bagas tapi Alvi masih saja melamun. Bagas sampai geram dibuatnya karena
berulangkali memanggil-manggil namanya tapi Alvi tak menyahut sama sekali dan
tetap pada kediamannya. “Alviiiiiiiiiii............,” teriak Bagas kali ini
tepat di telinga Alvi.
“Apaan
sih loe, gue gak budeg kali...,”
“Nah
loe habisnya gue panggil-panggil dari tadi gak nyahut-nyahut. Mikirin apa sih
loe?” tanya Bagas.
“Iya,
loe lagi ada masalah dengan Irene. Apa Irene ngambek lagi...?” tebak Fandy.
“Nggak
kok, gue gak lagi ada masalah sama Irene...,”
“Trus,
loe lagi mikirin apa?”
“Gue..gue..
cuman lagi mikirin gadis itu...,”
“Gadis
yang mana?” tanya Bagas.
“Jangan
bilang kalau gadis itu.........,” tebakan Fandy dipotong oleh Alvi.
“Niken...
gue lagi mikirin dia,”
“Kenapa
sih loe masih mikirin tuh gadis. Apa karena melihat dia bisa menangin tantangan
ngelawan Merlyn makanya loe jadi...,”
“Jangan
bilang kalau loe tiba-tiba sampai suka sama tuh cewek...,”
“Ya,
gak lah itu mustahil. Loe berdua tahu cinta gue Cuma buat Irene seorang...,”
“Oke...oke
gue tahu..,” ucap Bagas.
“Tapi,
Vi bukannya loe tadi mau nemuin tuh cewek buat nanya alasan sebenarnya kenapa
dia menerima perjodohan itu?” tanya Fandy pada Alvi.
“Ah...
itu...,”
“Oh,
iya. Apa mungkin loe lupa karna melihat pertandingan tadi,” ucap Fandy.
“Iya,
ayo kita cabut buat nyari dia sekarang...,”
“Ah,
jangan temen-temen. Besok aja.. Bukankah besok masih ada waktu?” elak Alvi.
“Loe
kenapa sih Vi, tadi loe bilang harus diselesaikan sekarang juga. Tapi....,”
“Ah,
sudahlah itu gak segitu pentingnya. Lebih baik kita pergi ke ruang musik yok.
Bukankah kalian pengen liat yang bening-beningdisana?” ucap Alvi mengalihakan perhatian
kedua temannya agar melupakan topik yang mereka bicarakan tadi.
Tanpa basa-basi kedua temannya pun
mengikuti usul Alvi. Pantas saja keduanya sedang jomblo sekarang. Fandy sudah
putus dari pacarnya sebulan yang lalu, sementara Bagas baru putus dua minggu
yang lalu. Karenanya di kelas musik terutama kelas piano yang notabene banyak
dihuni oleh para gadis itu, memberi mereka berdua peluang buat bisa mencari
pengganti pacar mereka. Pasalnya, gadis-gadis di kelas piano memang sudah
terkenal cantik-cantiknya serta keanggunannya hingga mereka tak perlu panjang
lebar buat berpikir nyari gadis-gadis sesuai tipe mereka di tempat itu.
*****
0 comments:
Posting Komentar