Jumat, 13 Juli 2018

Eleven

Edit Posted by with No comments


AUTHOR”S POV
Keheningan tercipta seketika baik Anastasya ataupun Dinda sama-sama tidak ada yang memulai untuk berbicara. Sementara Reynand dan Bimbo yang melihat kelakuan kedua gadis itu menjadi jengkel.
"Ini sudah mendekati jam masuk kelas, apa kalian akan tetap diam seperti ini?" tanya Bimbo memecah kesunyian.
"Ya, kalian nggak bisa tetap diem-dieman terus-menerus. Kalian bukan anak kecil lagi, mau sampai kapan kalian seperti ini terus..?" tambah Reynand.
"Nand, bukankah udah gue bilang kalau gue nggak ada yang mau di bicarain sama....," ucapan Anastasya terputus oleh perkataan Dinda kemudian.
"Gue ada Cha," ucap Dinda yang tentu saja membuat Anastasya yang sedari tadi berusaha untuk melepaskan diri dari Reynand terduduk kembali dari posisi berdirinya. "Cha..gu..gue... Ma'afin gue.....," ucap Dinda kemudian dengan susah payah.
Anastasya yang mendengar perkataan Dinda pun hanya membelalakkab matanya tidak percaya. Bertahun-tahun dia menunggu, baru kali ini sahabatnya itu meminta ma'af kepadanya.
"Gue tahu gue salah Cha. Harusnya gue nggak menghakimi loe seperti itu. Gue cuman...gue....,"
"Gue tahu Din, loe pasti terpukul dengan kepergian Ana, tapi tidakkah loe juga mikirin bagaimana perasaan gue. Gue saudara kembarnya, kami berbagi makanan yang sama saat masih dalam rahim mama, kalau ditanya siapa yang lebih kehilangan dia, harusnya itu gue dan bukannya loe, tapi loe...,"ucap Anastasya dengan isak tangisnya yang jatuh seketika.
Setali tiga uang Dinda pun juga meneteskan air matanya mendengar pernyataan Anastasya.
"Karena itu gue minta ma'af cha, ma'afin gue. Gue nggak seharusnya ngejauhin loe, gue sebagai sahabat harusnya menjadi tempat loe untuk berbagu, tapi nyatanya gue malah menjadi orang jahat yang berjajar dengan orang-orang yang memusuhi loe. Ma'afin gue Cha, saat itu gue hanya bertindak tanpa berpikir, gue...," Dinda kini terisak lebih kencang dari sebelumnya.
Anastasya yang melihat Dinda seperti itu, ia tahu bahwa sahabatnya itu benar-benar merasa bersalah. Akhirnya dia bahkit dari posisi duduknya. Namun, Reynand tetap menggenggam pergelangan tangan gadis itu. Akan tetapi setelah mendapat tatapan Anastasya yang meyakinkan Reynand bahwa dirinya tidak akan pergi tapi hanya berpindah ke tempat duduk di samping Dinda, akhirnya Reynand pun melepaskan genggamannya.
Anastasya duduk tepat di samping Dinda dan kemudian dia memeluk sahabatnya yang tengah menangis itu. Pelukan Anastasya merupakan obat penenang bagi Dinda, sehingga Dinda menghentikan tangisnya.
“Gue ma’afin loe…,” ujar Anastasya yang tentu saja membuat Dinda senang bukan main karena ia dapat kembali bersahabat dengan Anastasya.
“Loe, serius…?” tanya Dinda.
“Ya, tentu saja. Kecuali loe berubah pikiran dan nggak mau bersahabat sama gue lagi,” cetus Anastasya sembari mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil.
“Sapa bilang gue nggak mau sahabatan sama loe lagi. Gue malah seneng kali, gue mendapatkan sahabat gue kembali,” ujar Dinda.
“Ya, tentu saja. Dan di atas sana, Ana pasti juga senang kan kalau tahu kita kembali menjadi sahabat seperti dulu,”
“He’em….,” ucap Dinda.
Dan akhirnya mereka pun larut pada dunia mereka berdua hingga melupakan Reynand dan Bimbo yang masih berada di dekat mereka.
“Oh, gitu..jadi karena kalian udah baikan seperti dulu, kalian sampai lupa siapa yang ada di sini?” celetuk Bimbo. Dan akhirnya mereka pun tertawa sebelum akhirnya mereka kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.
Anastasya menatap mata Reynand seolah berbicara pada lelaki itu dengan kontak matanya bahwa dirinya bahagia dan berterima kasih atas semuanya, karena Anastasya tahu bahwa tidak hanya Bimbo, tetapi lelaki itu juga turut campur tangan atas kembalinya persahabatannya dengan Dinda.
Reynand pun mengangguk mengiyakan rasa terima kasih Anastasya yang di sampaikan melalui kedua matanya itu, dan kemudian mereka pun saling melemparkan senyum.
ANASTASYA’S POV
Gue seneng banget hari ini, karena gue mendapatkan kembali persahabatan gue yang dengan Dinda yang dulu hancur karena kesalapahaman. Gue membuka-buka foto album masalalu kami dan mengenang kembali masa lalu kami yang menyenangkan.
“Andai saja loe masih di sini Na, loe pasti juga dapat ngerasain kebahagian gue…,” batin Anastasya.
Gue yang fokus pada foto-foto di Album itu tidak sadar bahwa ada seorang cowok yang nongol di jendela kamar gue.
“Ngapain loe ngelamun…,” ucap cowok itu yang tentu saja ngebuat gue terperanjat kaget.
“Ish…loe ngapain sih Nand, tiba-tiba nongol gitu, ngagetin tahu…,” ucap gue.
“Lah, gue kan emang sering nongol tiba-tiba Cha, dan gue juga udah pernah bilang kali ke loe kalau gue bakal lewat balkon kalau mau bertamu,”
“Ish…loe tuh gak sopan tahu. Ada pintu ngapain lewat sini…,” ucap gue sembari mengerucutkan bibir gue karena kesal.
“Hahahaha…loe nggak usah monyong gitu…,” ujar nya.
“Biarin, suka-suka guelah…bibir bibir gue kok loe yang sewot…,” ucap gue.
“Loe lagi ngapain sih cha?” tanyanya kemudian. Belum sempat gue jawab dia langsung masuk ke dalam kamar gue lewat jendela kamar dan langsung duduk di samping gue yang tengah bersandar di ranjang. “Oh, loe lagi asyik liatin foto-foto lama ya?” tanya-nya yang langsung gue jawab dengan anggukan.
Ia terus mengikuti setiap gerakan mata gue yang melihat-lihat foto-foto lama gue bersama dengan Ana. Hingga gue sampai pada sebuah foto yang membuat dia kemudian berkomentar.
“Ini foto Alfan ya?” tanyanya.
“Iya…,” jawab gue. “Loe kok tahu, loe kenal Alfan?” tanya gue.
“Iya, tentu saja, dia sahabat gue…,” ujarnya.
“Waah…ternyata dunia itu sempit ya…,”
“Iya, gue juga nggak nyangka kalau loe kenal Alfan. Dan di foto ini kalian keliatan mesra banget,” ujarnya.
Kening gue langsung berkerut mendengar pernyataannya itu. Gue menatap wajah lelaki itu dan dia pun menyadari kemudian kalau gue ingin mengatakan sesuatu.
“Apa?” tanyanya.
“Itu bukan gue…,” ucap gue.
“Maksud loe…?” tanyanya.
“Yang di foto itu bukan gue. Yang berfoto dengan Alfan yang tampak kelihatan mesra katamu itu bukan gue..,” ucap Gue.
Dan ketika gue mengatakan hal itu gue melihat ekspresi terkejut di wajahnya. Lelaki itu nampaknya telah salah mengira dan salah mengenali siapa yang ada di foto itu.
“Kal…lau..ini bukan loe, ini berarti…?”
“Itu Ana, saudari kembar gue…,” ucap gue. Dan gue kembali mendapati raut wajah terkejut Reynand untuk yang kedua kalinya hari ini. Seolah masih tak percaya dengan penjelasan gue, lelaki itu mengajukan pertanyaannya kembali.
“Tap..tapi…Alfan bilang kalau dia adalah Acha. Dan Acha adalah nama panggilan loe kan?” tanyanya dengan kening yang masih berkerut.
“Iya, dia memang selalu menggunakan nama panggilan gue ketika kecil. Dan kami pun dulu juga sering bertukar identitas. Dan karena kami begitu mirip maka tidak akan pernah ada yang dapat membedakan kita berdua kecuali orang tua kita dan sahabat-sahabat dekat kita,” jelas gue.
Setelah mendengar penjelasan gue, Reynand pun langsung terdiam dan tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi. Raut wajahnya menciptakan kebingungan dan dapat gue lihat juga bahwa dia nampak sibuk dengan pemikirannya hingga gue yang memanggil namanya berkali-kali tak disahutinya. Lelaki itupun kemudian pamit pulang dan tidak berkata apa-apa lagi setelahnya.
“Ada apa denganmu Nand?” gumam gue selepas kepergiannya.
*****







0 comments:

Posting Komentar