Matahari
mulai meninggi, dan menyeruak menyusup celah-celah jendela kaca di kamar
Aqilla. Aqilla bergegas mandi dan berseragam rapi. Setelah ia selesai mengemas
barang-barang kebutuhan sekolahnya dalam tasnya, ia menuju dapur. Dan membantu
mama dan bibi yang tengah menyiapkan sarapan pagi.
“Pagi mama, pagi bibi.....,” seru
Aqilla bersemangat.
“Duuuhh...ada apa nih anak mama
tumben-tebenan bangun pagi-pagi sekali,” goda mamanya.
“Ish..mama ini. Anak gadisnya bangun
pagi bukannya seneng malah di ledekin...,” ucap Aqilla.
“Hahaha...iya..iya deh mama seneng
akhirnya mama bener-bener punya anak gadis sekarang,” ucap mamanya yang masih
dengan kekehannya.
Aqilla pun kemudian mengambil
mangkok dari tempatnya dan mengambil beberapa telur di kulkas.
“Lah...non mau ngapain?” tanya bibi
pembantunya yang heran dengan kelakuan majikannya itu.
“Mau bikin omelet bi...,” ucap
Aqilla.
“Lah..kenapa non repot-repot nanti
baju non kotor. Biar bibi aja yang buatin. Bibi sudah bisa kok masak omelet kesukaan
non, bibi udah di ajarin sama mama enon,” ucap bibinya.
“Omeletnya bukan buat Qilla bi, tapi
buat Kak Kenzo. Dan cuman Qilla yang bisa masak omelet kesukaan Kak Kenzo,”
ucap Aqilla dengan sedikit malu karena tanpa sengaja ia telah memberi
penjelasan yang tidak perlu pada bibi pembantunya yang sebenarnya tidak
mengenal siapa Kenzo itu, pasalnya bibinya bekerja baru beberapa bulan di
keluarganya.
Windha memberi kode kepada Bi Asih,
nama pembantunya itu untuk membiarkan Aqilla melakukan apa yang dia inginkan.
“Owalah, mau buat makanan buat calon
non toh, yaudah bibi nggak bakal ganggu kalau gitu. Tapi non pake celemek ya
biar baju seragam non nggak kotor,” ucap Bi Asih menggoda Aqilla.
“Ish...bibi ini...,” Aqilla menahan
malu dengan godaan Bi Asih terhadapnya. Namun kemudian, dia memakai celemek
yang di berikan oleh pembantunya itu.
*****
Setiap harinya Aqilla selalu
membawakan bekal omelet untuk Kenzo, tapi Kenzo selalu menanggapinya dengan
cuek dan tidak mau memakannya. Padahal, omelet adalah makanan favorit Kenzo
untuk sarapan, dan Aqilla tahu kalau cowok itu jarang sarapan karena lelaki itu
tinggal sendiri di kota ini tanpa orang tuanya. Sehingga tidak ada yang akan
menyiapkan sarapan pagi untuk lelaki itu. Aqilla juga sering mendapati Kenzo
sarapan omelet di kantin sekolah setiap pagi, jadi karena itulah ide untuk
membawakan bekal bagi Kenzo muncul dalam benaknya.
Meskipun selalu mendapatkan
penolakan dari Kenzo, Aqilla tak pernah menyerah. Ia memang tak pernah
berbicara pada Kenzo selain membawa bekal yang di bawanya untuk cowok itu. Ia
hanya meletakkan bekal itu di bangku Kenzo, di ruang OSIS atau di tempat-tempat
dimana cowok itu berada tanpa mengatakan apapun pada cowok itu.
Fabian yang melihat kelakuan cewek
yang sudah lama di sukainya itu hanya bisa geleng-geleng kepala dan tersenyum
miris melihat betapa cewek itu masih mencintai cowok itu dari dulu sampai
sekarang. Tapi, Fabian bukanlah cowok yang egois yang akan memaksa Aqilla untuk
menyukai dirinya, baginya dia tak peduli siapa yang berada dalam hati cewek itu
asalkan dirinya bisa selalu di sisi cewek itu. Terdengar egois memang, tapi
itulah kenyataannya, karena Fabian hanya ingin menjaga seseorang yang diam-diam
di cintainya itu.
Ini pertama kalinya Fabian marah dan
melarang Aqilla untuk membuatkan bekal lagi untuk Kenzo. Dia melihat jari-jari
cewek itu penuh dengan luka dan plester di sana-sini.
“Hentikan Aqilla, dia tidak akan
peduli dengan perjuanganmu. Sudah cukup apa yang loe lakukan selama ini
untuknya...!!!” ucap Fabian geram. Sembari memegang jari-jari Aqilla yang di
balut dengan plester itu.
“Loe apa-apaan sih Bi, itu urusan
gue mau berhenti atau tidak. Ini gak ada hubungannya dengan loe...,” ucap
Aqilla.
“Gue khawatir sama loe Aqilla. Liat
apa yang terjadi dengan jari-jari loe. Kalau loe tetap ngelakuin apa yang loe
lakuin sekarang bukan tidak mungkin loe bakal kehilangan jari-jari loe saat loe
menyiapkan bekal untuknya...!!”
“Loe gak usah lebay de Bi, ini cuman
tergores dan gue gak akan kehilangan satu jaripun hanya karena gue tergores
pisau...,” ucap Aqilla mulai kesal karena sikap Fabian yang kini tidak lagi
memihak padanya dan malah menyuruh dia berhenti untuk memperjuangkan Kenzo.
“Tapi, dia sama sekali tidak peduli
dengan usaha loe Aqilla. Loe harus sadar bahwa sampai kapan pun dia nggak bakal
akan ngehargai usaha loe...,” teriak Fabian.
“Gue gak peduli Bi. Dan lagi, loe
bukan siapa-siapa gue jadi loe gak berhak buat ngelarang-ngelarang gue untuk
ngelakuin apa yang gue mau...,” teriak Aqilla tak kalah kencang dari teriakan
Fabian tadi terhadap loe.
“Ya, gue tahu gue memang bukan
siapa-siapa loe. Sejak dulu sampai sekarang loe emang nggak pernah anggap gue
ada,” ucap Fabian sembari meninggalkan Aqilla dengan amarah yang coba di
redamnya karena gadis itu keras kepala dan tidak mau mendengar kata-katanya.
Aqilla mematung melihat kepergian
Fabian. Ia terlihat murung. Ia menyadari bahwa ia sudah keterlaluan kali ini
pada Fabian. Ia terlalu egois dan memperhatikan dirinya sendiri tanpa peduli
pada perasaan cemas yang di rasakan Fabian terhadapnya. Dia bukannya tidak tahu
bahwa laki-laki itu menyukainya. Dia hanya berpura-pura tidak tahu saja karena
tidak ingin menyakiti lelaki itu. Tapi, kali ini perkataannya yang mengatakan
kalau cowok itu bukan siapa-siapa baginya sungguh sangat menyakiti cowok yang
kini menjadi sahabatnya itu.
“Ma’afin gue Bi, gue nggak bermaksud
bikin loe marah. Loe sahabat gue. Gue nggak mau kehilangan loe..,” batin Aqilla
sembari menitikkan air mata.
Semetara itu, sepasang mata dari
kejauhan yang melihat kejadian itu berlangsung, hanya tersenyum miris. Hatinya
terasa sesak melihat wajah cewek yang biasanya terlihat riang dan ceria itu
kini terlihat murung.
“Kenapa loe harus berjuang keras
demi gue Qilla, padahal di samping loe sudah ada seseorang yang begitu
perhatian dan mencintai loe...,” gumam cowok itu yang kemudian berlalu pergi
setelah melihat Aqilla mulai beranjak untuk kembali ke kelasnya.
*****
0 comments:
Posting Komentar