“Panti Asuhan Nirmala”
Enam bulan
setelah kejadian itu, kejadian dimana Alvi mengetahui kebenaran tentang
identitas dirinya, akhirnya Alvi berada di sini sekarang. Tempat dimana ia
pernah di pungut oleh Dana dan kemudian menjadi anak dari lelaki paruh baya
itu. Setelah semua keraguan yang ia rasa hilang, akhirnya ia melakukan hal
sebagaimana dikatakan oleh gadis itu. “Ikuti kata hatimu”, dan itulah yang Alvi
lakukan sekarang. Ia akan mencari tahu siapa orang tua kandungnya, meskipun ia
tidak bisa menemuinya lagi di dunia ini, tapi paling tidak Alvi tahu nama dan
rupa dari orang tuanya meski hanya melalui sebuah foto lama yang mungkin masih
disimpan oleh Ibu Panti.
Alvi
melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam panti. Di dalam sana terdapat halaman
yang luas dan anak-anak kecil yang berlarian kesana-kemari. Mereka tampak
sangat bahagia, seolah tak ada beban apapun di wajah ceria mereka.Ada yang
bermain ayunan, jungkat jungkit dan bahkan ada yang jahil dengan mengusili
teman-temannya.Alvi semakin melangkahkan kakinya untuk maju mencari ruangan Ibu
Panti. Namun, anak-anak kecil disekitarnya yang menyadari bahwa ada seseorang
asing yang datang memperhatikannya dengan raut wajah imut mereka. Hingga
kemudian mereka semua pun berteriak, meneriakkan satu nama.
“Kak
Alvviiiiiiiiiii…………..,” ujar anak-anak polos itu.
Alvi yang
terkejut mendengar namanya di panggil secara serempak oleh anak-anak di panti
itu, mengerutkan keningnya.Ia tak mengerti, kenapa anak-anak yang tidak pernah
ditemuinya itu memanggil namanya. Dan bahkan anak-anak itu berlarian
mengerumuninya, seolah sudah sangat akrab dengannya.
“Akhirnya
loe datang juga……,” ujar seorang gadis.
“Loe…..?”
ucap Alvi dengan tatapan penuh tanya kepada gadis itu. Namun, gadis itu tak
memberikan jawaban apapun atas isyarat pertanyaannya itu.Ia hanya mengedikkan
bahu dan kemudian tersenyum sembari mengajak ia dan anak-anak yang lain masuk
ke dalam rumah.
Alvi
menyalami Ibu-Ibu Panti yang menyambut kedatangannya. Ibu Panti yang tahu akan
maksud kedatangan Alvi, mempersilakan Alvi untuk masuk ke ruang kerjanya
sementara anak-anak panti yang semula mengikutinya bermain bersama dengan gadis
yang tadi mengajak mereka masuk ke dalam rumah.
*****
Niken mengajak Alvi berkeliling Panti
Asuhan Nirmala, seusai Alvi menyelesaikan urusannya dengan Ibu Panti.
“Loe sering kesini?” tanya Alvi memecah
keheningan di antara keduanya. Niken tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya
menganggukkan kepalanya sebagai isyarat jawaban “iya” dari bibirnya.
“Sejak kapan?” tanya Alvi lagi. Bukannya
menjawab pertanyaan Alvi, Niken malah mengerutkan keningnya, tidak mengerti
dengan maksud pertanyaan Alvi. Alvi yang mengetahui bahwa gadis yang berdiri di
sampingnya itu tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukannya, ia pun
meralat pertanyaan itu.
“Maksudku sejak kapan kamu tahu aku
berasal dari sini?” tanya Alvi.
“Oh..., sudah lama....,” ujar Niken.
“Dan sejak itu loe sering datang kesini?”
tanya Alvi lagi. Lagi-lagi Niken hanya menganggukkan kepala untuk menjawab
pertanyaan Alvi.
“Kenapa?” tanya Alvi lagi.
“Maksud loe?” Niken malah balik bertanya.
“Apa karena gue? Apa karena kasihan sama
gue, loe.....?”
Niken menghembuskan nafasnya perlahan
sebelum akhirnya menjawab pertanyaan yang di ajukan Alvi.
“Gak ada yang perlu gue kasihani di sini,
terlebih loe. Cowok sombong dan menyebalkan...,” seru Niken sembari melemparkan
senyum pada Alvi.”Gue ngerasa nyaman aja di sini, bermain bersama anak-anak
kecil yang polos dan lugu membuat gue ngerasa senang. Mereka saling berbagi
bersama satu sama lain. Hidup dalam kesepian tidak membuat mereka patah
semangat dan bersedih. Hanya karena mereka berbeda dari anak kecil lainnya
karena tidak memiliki orang tua, lantas tidak membuat mereka bersedih hati.
Karena memiliki orangtua atau tidak bagiku tidak ada bedanya. Gue memiliki
orang tua, tapi malah enggan mengakui gue sebagai anaknya. Lantas, apa bedanya
gue dengan mereka? Juga dengan loe, apa bedanya gue sama loe?” jelas Niken.
“Ken....., gue....,”
“Kita sama saja Vi, loe yang hidup dalam
kebohongan karena tidak tahu tentang identitas diri loe yang sebenarnya.
Sementara gue, hidup dengan kebohongan karena menyembunyikan identitas
gue....,”
“Loe...masih marah sama gue....?”
“Buat apa? Dulu sih iya, gue marah banget
sama loe. Kenapa loe hidup bahagia bersama dengan kedua orang tua kandung gue,
sementara gue hidup dalam persembunyian tanpa sedikitpun kasih sayang dari
mereka. Namun, semenjak beranjak menjadi dewasa gue jadi tahu. Kita hanyalah
dua orang anak yang sama-sama hidup karena keegoisan para orang dewasa. Loe,
yang dijadikan papa sebagai alat balas dendam namun mendapatkan kasih sayang
penuh darinya juga dari mama dan oma, dan gue hidup dalam persembunyian demi
keselamatan diri gue sendiri tanpa pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua
orang tua gue...,”
“Makasih...,”
“Buat apa?”
“Buat semuanya....,”
“Nggak perlu berterima kasih, it’s okey.
Kita tidak pernah meminta untuk berada pada situasi seperti ini. Jadi, tidak
ada yang benar ataupun salah disini...,”
“Ya, loe bener. Jadi, kita lupakan saja
semuanya. Dan mulai semua dari awal lagi. Mau kan?”
“Tentu....,”
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan
mereka menyusuri setiap tempat di Panti Asuhan itu. Dengan perasaan yang
melegakan seolah semua beban yang meeka hadapi sebelumnya tidak pernah ada.
*****
Alvi dan Niken akhirnya memutuskan untuk menjenguk Mamanya di
rumah sakit selepas keduanya menghabiskan waktu seharian di Panti Asuhan
Nirmala. Ketika hendak membuka pintu kamar inap Mama-nya dari kaca yang
terdapat di pintu masuk ruangan itu, Alvi dan Niken melihat Dana, Papa mereka
tengah mengelus puncak kepala mamanya dengan sayang. Sementara mamanya yang
keadaannya sudah agak membaik, memalingkan wajahnya dari Papanya yang
memandangnya dengan tatapan penuh kasih.
Baik Alvi ataupun Niken tahu, bahwa sebenarnya
Papa nya sangat tulus mencintai Mama Ratih terlepas dari semua masalah rumit
yang terjadi di antara mereka. Hanya saja cara yang dilakukan oleh Papanya
kurang tepat. Mana ada ibu di dunia ini yang mau dipisahkan dengan anak
kandungnya sendiri, meski alasan itu demi menjaga keselamatan sang anak dari
orang-orang yang berniat jahat kepada anaknya tersebut. Apalagi, sang suami
yang sangat di cintainya bukan hanya memisahkan dirinya dengan sang anak, tapi
juga menyimpan semua kebenaran dari sang istri dengan mengatakan bahwa anak
tercinta yang dilahirkannya telah meninggal dunia.
Alvi
menghembuskan napas keras begitu pula dengan Niken yang berdiri di sampingnya.
“Loe
yakin?”
Niken
mengerutkan kening. “Maksud loe?” tanya balik Niken pada Alvi.
“Loe
yakin, kita akan masuk sekarang? Apakah tidak sebaiknya…..,”
“Lebih
cepat lebih baik Vi. Kita tidak bisa terus-terusan menghindari mereka. Walau
bagaimanapun kesehatan mama lebih penting dan mama butuh aku. Dan akupun juga
ingin bertemu dengan mama...,”
“Oke kalau
itu keputusan loe, gue ikut….,” ujar Alvi.
Akhirnya
keduanya pun mengetuk pintu kamar inap itu. Dan tentu saja membuat kedua orang
yang berada di dalamnya mengalihkan pandangan mereka pada dua sosok anak
manusia yang berjalan semakin dekat kearah mereka. Niken dan Alvi mendekat
kearah mereka dan langsung di sambut dengan tangisan oleh sang Mama.
“Niken……anak
mama….,” ujar Ratih masih dengan tangis yang mengirinya. Ia memeluk Niken
sangat erat, mencium puncak kepalanya berkali-kali sembari mengucapkan
kata-kata yang sama. “Niken…niken anak mama. Ma’afkan mama nak, mama baru tahu
kalau kamu masih hidup. Ma’afkan mama….,”
Niken
membalas pelukan sang mama dengan sayang. Akhirnya setelah genap dua puluh dua
tahun usianya, Niken bisa merasakan pelukan wanita paruh baya itu. Wanita tidak
lain adalah Mama kandungnya.
Sementara
Alvi dan Dana yang melihat kedua wanita yang saling melepas rindu itupun
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ruang rawat inap itu untuk member
privasi bagi keduanya.
*****
0 comments:
Posting Komentar