Rabu, 22 April 2020

Tiga Belas

Edit Posted by with No comments

Usai kepergian Sang Mama dan Oma-nya Alvi terdiam. Ia berdiri menatap jalanan yang lenggang dari balkon kamar apartemennya. Hujan tengah turun malam ini, tidak begitu deras namun cukup mampu mewakili hati Alvi yang tengah terluka. Penjelasan mama-nya mengenai alasan kepergian Niken masih tergiang-ngiang dikepalanya.
FlashBack
"Niken bukan pergi karena ingin bersama William, Vi. Hubungan mereka hanya sebatas dokter dan pasien. William adalah dokter yang menangani Niken, dan karena kedekatan dokter dan pasien itu mereka akhirnya berteman. Jadi tidak ada apa-apa diantara mereka. Lagipula William juga sudah mempunyai keluarga...," jelas Ratih.
"Lantas Niken pergi karena....?"
"Ia takut Vi, ia takut tidak akan bisa membahagiakan kamu. Ia takut hanya akan menjadi bebanmu. Karena itu ia ingin membebaskanmu. Tapi, kamu enggan melepaskannya, akhirnya sampailah ia pada keputusan itu. Ia pergi, meninggalkanmu dengan semua kesalapahaman yang ada dikepalamu,"
"Niken bukan beban bagi Alvi, ma. Kenapa dia berpikiran seperti itu...,"
"Apa yang bisa dilakukan oleh seorang istri ketika ia tidak bisa membahagiakan suaminya Vi...?"
"Apa definisi kebahagiaan bagi seorang suami yang ada di kepala Niken, ma...,"
"Anak !
Deg, Alvi serasa tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia merasa seolah dunianya hancur seketika mendengar pernyataan mama-nya. 
"Niken takut tidak bisa memberi kamu keturunan. Karena penderita penyakit itu sulit kemungkinan untuk bisa hamil...," jelas sang mama.
Alvi menghela nafas gusar. Ia terus terngiang perkataan sang mama bahwa Niken takut tidak bisa memberikannya seorang anak. Jadi, mamanya ingin Alvi membebaskan Niken jika Alvi memang tidak bisa menerima kondisi Niken. Akhirnya ia pun memutuskan untuk melakukan panggilan kepada seseorang diseberang sana.
"Halo Nak...," ujar seseorang diseberang sana yang adalah Dana, sang papa.
"Dimana alamat Niken di Amerika?" tanya Alvi. Dan seseorang diseberang sana pun memberikan jawabannya. Setelah mengucapkan terima kasih kepada sang papa ia mengakhiri panggilannya. Dan ia pun segera melakukan panggilan kepada seseorang yang lain. "Siapkan tiket pesawat untuk berangkat ke Amerika, sekarang...," titah Alvi.
*****
Setelah menempuh perjalanan selama 18 jam lebih akhirnya Alvi sampai di negara dimana Niken berada. Ia menaiki taksi dan menuju alamat yang diberikan oleh sang papa. Setelah menempuh perjalanan dari Bandara Internasional John F. Kennedy, ia akhirnya sampai di apartemen 740 Park Avenue, New York. Ketika sampai di salah satu apartement yang dijelaskan oleh sang papa di telpon kemarin ia pun membunyikan bel. Beberapa menit bel berdering dan akhirnya muncullah seseorang yang sangat Alvi rindukan selama tiga tahun terakhir.
Gadis itu menatap tidak percaya sesosok lelaki yang berdiri tepat dihadapannya. Lelaki itu masih sama seperti ketika ia meninggalkannya. Hanya saja rambut-rambut halus tumbuh disekitar dagu lelaki itu. Garis wajah lelaki itu pun terlihat tegas sekarang. Dia adalah Alvi, lelaki yang masih menyandang status sebagai suaminya.
"Apa kamu akan tetap membiarkan saya berdiri disini tanpa membiarkan saya masuk?" ujar Alvi memecah keheningan diantara keduanya. Ketika untuk pertama kalinya dalam tiga tahun mereka bertatapan kembali.
"Eh...iya silakan masuk....," ujar Niken. Alvi pun masuk ke dalam apartemen Niken. Namun, ia masih berdiri termenung bahkan setelah Niken menutup pintu apartemen. Alvi menatap Niken dari ujung kepala sampai ujung kaki. Alvi meneguk salivanya. Dan menyadari arti tatapan Alvi, ia membelakakkan mata dan segera pergi menuju ke kamarnya. "Silakan duduk, aku ganti baju dulu...," ujar Niken yang kemudian sudah menghilang di balik pintu kamarnya.
"Bisa-bisanya dia menyambut tamu dengan berpakaian seperti itu. Jangan-jangan ketika Wiliiam atau teman lelaki lainnya kesini dia juga berpakaian seperti itu..," gumam Alvi, ia menggelengkan kepalanya, mendadak tidak rela memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di kepalanya. Hingga kemudian, Niken pun kembali dari kamarnya dengan membawakan segelas air sirup dingin dan cemilan untuk Alvi. Dan tentu saja kini Niken sudah mengenakan pakaian yang pantas untuk menyambut tamu.
Keheningan kembali tercipta diantara keduanya. Hingga akhirnya Niken pun bertanya perihal alasan kedatangan Alvi jauh-jauh ke Amerika.
"Kenapa bisa kemari?" tanya Niken.
"Tidak boleh..?" jawab Alvi dingin dan datar.
"Eh, tentu tidak masalah. Maksud aku, ada urusan apa kamu datang jauh-jauh kesini?" tanya Niken lagi.
"Apa tidak boleh aku datang kesini untuk menemui istriku...?" ucap Alvi sembari memberikan penekanan saat ia mengataka kata "istriku".
"Eh....," Niken menjadi salah tingkah. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Perkataan Alvi adalah kebenaran. Ia masih istri sah Alvi bukan? Meskipun nyatanya mereka menikah tanpa cinta, tapi keduanya belum bercerai. Jadi, mereka masih terikat hubungan suami istri bukan? Meskipun mereka tidak bersama selama tiga tahun, tapi Alvi masih tetap memberinya nafkah, meski memang Niken tidak pernah memakai uang yang ditransfer Alvi setiap bulannya ke rekeningnya. Ia menggunakan uangnya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk biaya pengobatannya.
Alvi pun menghela napas sebelum akhirnya berbicara.
"Huft...aku kesini untuk menjemput istriku yang kabur selama tiga tahun...," ujar Alvi kemudian.
"Aku tidak kabur. Bukankah aku sudah izin kepadamu tiga tahun yang lalu ketika aku memutuskan untuk pergi ke negara ini..?" ujar Niken memberikan pembelaan pada dirinya sendiri.
"Iya, izin tanpa memberikan penjelasan apapun. Itu sama saja dengan kabur...," ucap Alvi dingin.
Niken pun menundukkan kepalanya. Ia tidak pernah melihat Alvi seperti ini. Alvi memang menyebalkan dari dulu, ia bahkan terlampau sombong ketika Niken pertama kali mengenalnya. Tapi, Niken tidak pernah melihat Alvi seperti sekarang itu. Lelaki itu terlihat sangat...marah. Dan Niken sadar, semua ini karena kesalahannya!
"Alvi aku...,"
"Kamu egois Ken," potong Alvi hingga Niken tidak bisa melanjutkkan perkataannya. "Bukan kamu yang menentukan aku bisa bahagia atau tidak. Aku yang merasakannya dan tentu aku yang lebih tahu apa yang membuat diriku bahagia...," 
"Vi...,"
"Kamu pergi tanpa mendiskusikannya terlebih dulu denganku. Kamu menyembunyikan segalanya dariku, sudah berapa banyak rahasia yang kamu simpan sendirian? Sudah berapa banyak kamu mengambil keputusan sendiri...," ujar Alvi masih dengan amarahnya. Ia seolah tak dapat mengontrol dirinya lagi. 
"Alvi..aku....," Niken hanya bisa menangis melihat amarah Alvi. Ini pertama kalinya, ia melihat lelaki itu dipenuhi amarah, tapi lebih dari amarah tersimpan rasa sakit dimata lelaki itu setiap kali Niken menatap bola mata Alvi. Niken pun tahu, bahwa mungkin sang mama, oma atau papanya sudah memberitahukan semua kebenaran itu kepada Alvi. 
"Ken, apa kamu mencintaiku?" tanya Alvi. "Jangan bilang kamu melakukan semuanya karena kamu mencintaiku, karena kalau kamu benar mencintaiku kamu tidak mungkin...," Niken menghambur ke pelukan Alvi. Alvi yang tidak siap menerima pelukan Niken pun terjengkang hampir ke belakang karena ia tengah duduk di sofa. Niken memeluk Alvi dengan erat diatas pangkuan Alvi. Ia menyembunyikan tangisnya diantara ceruk leher lelaki itu.
"Aku tahu aku salah. Aku tahu aku egois. Aku hanya ingin kamu bahagia. Aku wanita cacat Alvi, aku tidak akan bisa membahagiakan kamu. Harusnya kamu melepaskan aku. Harusnya kamu tidak datang kemari...," ucap Niken ditengah tangisnya. Alvi hanya bisa menepuk-nepuk punggung gadis yang tengah berada dipangkuannya itu, agar gadis itu meredakan tangisnya. Tapi, Niken malah semakin keras menangis. 
"Tidak ada yang sempurnah Niken, tidak kamu begitu juga aku. Tapi, kita bisa menjadikan diri kita sempurnah dengan melakukan segalanya bersama-sama hingga kita bisa saling melengkapi kekurangan kita masing-masing. Aku tidak masalah kalau kita tidak bisa memiliki anak, kita bisa mengadopsi anak. Aku tidak masalah Niken, sungguh. Asalkan kamu tetap berada disampingku. Aku mencintai kamu, karena itu aku butuh kamu...," jujur Alvi yang membuat Niken malah semakin tergugu dengan pengakuan Alvi.
Akhirnya setelah tiga tahun lamanya, setelah saling memberi waktu untuk diri sendiri akhirnya mereka sadar bahwa keduanya telah memiliki rasa yang sama. Kehilangan kadang menuntun kita pada kebenaran, kebenaran akan perasaan yang sebenarnya kita simpan kepada seseorang.
*****





0 comments:

Posting Komentar