Usai kepergian Sang
Mama dan Oma-nya Alvi terdiam. Ia berdiri menatap jalanan yang lenggang dari
balkon kamar apartemennya. Hujan tengah turun malam ini, tidak begitu deras
namun cukup mampu mewakili hati Alvi yang tengah terluka. Penjelasan mama-nya
mengenai alasan kepergian Niken masih tergiang-ngiang dikepalanya.
FlashBack
"Niken bukan pergi karena
ingin bersama William, Vi. Hubungan mereka hanya sebatas dokter dan pasien.
William adalah dokter yang menangani Niken, dan karena kedekatan dokter dan
pasien itu mereka akhirnya berteman. Jadi tidak ada apa-apa diantara mereka.
Lagipula William juga sudah mempunyai keluarga...," jelas Ratih.
"Lantas Niken pergi
karena....?"
"Ia takut Vi, ia takut tidak
akan bisa membahagiakan kamu. Ia takut hanya akan menjadi bebanmu. Karena itu
ia ingin membebaskanmu. Tapi, kamu enggan melepaskannya, akhirnya sampailah ia
pada keputusan itu. Ia pergi, meninggalkanmu dengan semua kesalapahaman yang
ada dikepalamu,"
"Niken bukan beban bagi Alvi,
ma. Kenapa dia berpikiran seperti itu...,"
"Apa yang bisa dilakukan oleh
seorang istri ketika ia tidak bisa membahagiakan suaminya Vi...?"
"Apa definisi kebahagiaan bagi
seorang suami yang ada di kepala Niken, ma...,"
"Anak !
Deg, Alvi serasa tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Ia merasa seolah dunianya hancur seketika mendengar pernyataan
mama-nya.
"Niken takut tidak bisa
memberi kamu keturunan. Karena penderita penyakit itu sulit kemungkinan untuk
bisa hamil...," jelas sang mama.
Alvi menghela nafas gusar. Ia terus
terngiang perkataan sang mama bahwa Niken takut tidak bisa memberikannya seorang
anak. Jadi, mamanya ingin Alvi membebaskan Niken jika Alvi memang tidak bisa
menerima kondisi Niken. Akhirnya ia pun memutuskan untuk melakukan panggilan
kepada seseorang diseberang sana.
"Halo Nak...," ujar
seseorang diseberang sana yang adalah Dana, sang papa.
"Dimana alamat Niken di
Amerika?" tanya Alvi. Dan seseorang diseberang sana pun memberikan
jawabannya. Setelah mengucapkan terima kasih kepada sang papa ia mengakhiri
panggilannya. Dan ia pun segera melakukan panggilan kepada seseorang yang lain.
"Siapkan tiket pesawat untuk berangkat ke Amerika, sekarang...,"
titah Alvi.
*****
Setelah menempuh perjalanan selama 18
jam lebih akhirnya Alvi sampai di negara dimana Niken berada. Ia menaiki taksi
dan menuju alamat yang diberikan oleh sang papa. Setelah menempuh perjalanan
dari Bandara Internasional John F. Kennedy, ia akhirnya sampai di
apartemen 740 Park Avenue, New York. Ketika sampai di salah satu apartement
yang dijelaskan oleh sang papa di telpon kemarin ia pun membunyikan bel.
Beberapa menit bel berdering dan akhirnya muncullah seseorang yang sangat Alvi
rindukan selama tiga tahun terakhir.
Gadis itu menatap tidak percaya
sesosok lelaki yang berdiri tepat dihadapannya. Lelaki itu masih sama seperti
ketika ia meninggalkannya. Hanya saja rambut-rambut halus tumbuh disekitar dagu
lelaki itu. Garis wajah lelaki itu pun terlihat tegas sekarang. Dia adalah
Alvi, lelaki yang masih menyandang status sebagai suaminya.
"Apa kamu akan tetap membiarkan
saya berdiri disini tanpa membiarkan saya masuk?" ujar Alvi memecah
keheningan diantara keduanya. Ketika untuk pertama kalinya dalam tiga tahun
mereka bertatapan kembali.
"Eh...iya silakan
masuk....," ujar Niken. Alvi pun masuk ke dalam apartemen Niken. Namun, ia
masih berdiri termenung bahkan setelah Niken menutup pintu apartemen. Alvi
menatap Niken dari ujung kepala sampai ujung kaki. Alvi meneguk salivanya. Dan
menyadari arti tatapan Alvi, ia membelakakkan mata dan segera pergi menuju ke
kamarnya. "Silakan duduk, aku ganti baju dulu...," ujar Niken yang
kemudian sudah menghilang di balik pintu kamarnya.
"Bisa-bisanya dia menyambut tamu
dengan berpakaian seperti itu. Jangan-jangan ketika Wiliiam atau teman lelaki
lainnya kesini dia juga berpakaian seperti itu..," gumam Alvi, ia
menggelengkan kepalanya, mendadak tidak rela memikirkan kemungkinan-kemungkinan
yang ada di kepalanya. Hingga kemudian, Niken pun kembali dari kamarnya dengan
membawakan segelas air sirup dingin dan cemilan untuk Alvi. Dan tentu saja kini
Niken sudah mengenakan pakaian yang pantas untuk menyambut tamu.
Keheningan kembali tercipta diantara
keduanya. Hingga akhirnya Niken pun bertanya perihal alasan kedatangan Alvi
jauh-jauh ke Amerika.
"Kenapa bisa kemari?" tanya
Niken.
"Tidak boleh..?" jawab Alvi
dingin dan datar.
"Eh, tentu tidak masalah. Maksud
aku, ada urusan apa kamu datang jauh-jauh kesini?" tanya Niken lagi.
"Apa tidak boleh aku datang
kesini untuk menemui istriku...?" ucap Alvi sembari memberikan penekanan
saat ia mengataka kata "istriku".
"Eh....," Niken menjadi
salah tingkah. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Perkataan Alvi adalah
kebenaran. Ia masih istri sah Alvi bukan? Meskipun nyatanya mereka menikah
tanpa cinta, tapi keduanya belum bercerai. Jadi, mereka masih terikat hubungan
suami istri bukan? Meskipun mereka tidak bersama selama tiga tahun, tapi Alvi
masih tetap memberinya nafkah, meski memang Niken tidak pernah memakai uang
yang ditransfer Alvi setiap bulannya ke rekeningnya. Ia menggunakan uangnya sendiri
untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk biaya pengobatannya.
Alvi pun menghela napas sebelum
akhirnya berbicara.
"Huft...aku kesini untuk
menjemput istriku yang kabur selama tiga tahun...," ujar Alvi kemudian.
"Aku tidak kabur. Bukankah aku
sudah izin kepadamu tiga tahun yang lalu ketika aku memutuskan untuk pergi ke
negara ini..?" ujar Niken memberikan pembelaan pada dirinya sendiri.
"Iya, izin tanpa memberikan
penjelasan apapun. Itu sama saja dengan kabur...," ucap Alvi dingin.
Niken pun menundukkan kepalanya. Ia
tidak pernah melihat Alvi seperti ini. Alvi memang menyebalkan dari dulu, ia
bahkan terlampau sombong ketika Niken pertama kali mengenalnya. Tapi, Niken
tidak pernah melihat Alvi seperti sekarang itu. Lelaki itu terlihat
sangat...marah. Dan Niken sadar, semua ini karena kesalahannya!
"Alvi aku...,"
"Kamu egois Ken," potong
Alvi hingga Niken tidak bisa melanjutkkan perkataannya. "Bukan kamu yang
menentukan aku bisa bahagia atau tidak. Aku yang merasakannya dan tentu aku
yang lebih tahu apa yang membuat diriku bahagia...,"
"Vi...,"
"Kamu pergi tanpa
mendiskusikannya terlebih dulu denganku. Kamu menyembunyikan segalanya dariku,
sudah berapa banyak rahasia yang kamu simpan sendirian? Sudah berapa banyak
kamu mengambil keputusan sendiri...," ujar Alvi masih dengan amarahnya. Ia
seolah tak dapat mengontrol dirinya lagi.
"Alvi..aku....," Niken hanya
bisa menangis melihat amarah Alvi. Ini pertama kalinya, ia melihat lelaki itu
dipenuhi amarah, tapi lebih dari amarah tersimpan rasa sakit dimata lelaki itu
setiap kali Niken menatap bola mata Alvi. Niken pun tahu, bahwa mungkin sang
mama, oma atau papanya sudah memberitahukan semua kebenaran itu kepada
Alvi.
"Ken, apa kamu mencintaiku?"
tanya Alvi. "Jangan bilang kamu melakukan semuanya karena kamu mencintaiku,
karena kalau kamu benar mencintaiku kamu tidak mungkin...," Niken
menghambur ke pelukan Alvi. Alvi yang tidak siap menerima pelukan Niken pun
terjengkang hampir ke belakang karena ia tengah duduk di sofa. Niken memeluk
Alvi dengan erat diatas pangkuan Alvi. Ia menyembunyikan tangisnya diantara
ceruk leher lelaki itu.
"Aku tahu aku salah. Aku tahu aku
egois. Aku hanya ingin kamu bahagia. Aku wanita cacat Alvi, aku tidak akan bisa
membahagiakan kamu. Harusnya kamu melepaskan aku. Harusnya kamu tidak datang
kemari...," ucap Niken ditengah tangisnya. Alvi hanya bisa menepuk-nepuk
punggung gadis yang tengah berada dipangkuannya itu, agar gadis itu meredakan
tangisnya. Tapi, Niken malah semakin keras menangis.
"Tidak ada yang sempurnah Niken,
tidak kamu begitu juga aku. Tapi, kita bisa menjadikan diri kita sempurnah
dengan melakukan segalanya bersama-sama hingga kita bisa saling melengkapi
kekurangan kita masing-masing. Aku tidak masalah kalau kita tidak bisa memiliki
anak, kita bisa mengadopsi anak. Aku tidak masalah Niken, sungguh. Asalkan kamu
tetap berada disampingku. Aku mencintai kamu, karena itu aku butuh
kamu...," jujur Alvi yang membuat Niken malah semakin tergugu dengan
pengakuan Alvi.
Akhirnya setelah tiga tahun lamanya,
setelah saling memberi waktu untuk diri sendiri akhirnya mereka sadar bahwa
keduanya telah memiliki rasa yang sama. Kehilangan kadang menuntun kita pada
kebenaran, kebenaran akan perasaan yang sebenarnya kita simpan kepada
seseorang.
*****
0 comments:
Posting Komentar