Rabu, 22 April 2020

Enam Belas

Edit Posted by with No comments

Alvi yang sudah menemani istrinya yang tertidur sehabis menangis itupun kembali ke ruang keluarga. Disana masih ada William yang tengah duduk di sofa sembari menonton televisi. Sementara Cathreen mungkin tengah tidur menemani Andrea yang tadi juga ikut menangis karena melihat Aunty-nya atau Niken menangis.
"Sudah tidur...," tanya Will pada Alvi yang kini mendaratkan bokongnya di sofa berdampingan dengan William.
"Sudah berapa lama ia mendapatkan surat-surat ancaman itu...?" tanya Alvi.
"Sejak di Indonesia. Sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengikutiku ke sini...," jelas William.
"Ken..kenapa....?"
"Ma'af Vi, aku tidak memberitahumu sejak dulu karena Niken melarangnya. Ia bilang, lebih baik kamu tidak tahu. Itu akan mudah untuk kamu melupakannya dan hidup bahagia..," jelas Will.
Alvi menggaruk gusar rambutnya. "Bagaimana mungkin dia berpikir seperti itu?"
"Aku mengenal Niken cukup lama dan aku tahu bahwa ia akan memberi keputusan yang rasional menurutnya meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Ia tidak ingin keluarganya yang sudah lama tidak diketahuinya itu menderita. Kamu tahu Vi, ketika ia mengetahui perihal keluarganya yang sebenarnya Niken sangat bahagia. Kebahagiaan yang mungkin sudah lama tak ia rasakan setelah orangtua angkatnya yaitu Tante Selvi dan Om Bram juga adiknya Viola meninggal dunia. Padahal, ia hanya bisa melihat keluarganya dari jauh, ia tidak mendapatkan kasih sayang yang semestinya dari kedua orang tua kandungnya. Tapi, ia bahagia dan ia menyembunyikan kebahagiaannya itu dalam kebencian. Ia tidak membenci orang tuanya yang tidak mengakuinya sebagai anak, ia hanya membenci karena memperlakukanmu sebagai alat untuk balas dendam. " jelas William," ucap Will.
William menghela napas dan kemudian melanjutkan ceritanya. 
"Dan karena kamulah, akhirnya ia menemukan tekadnya untuk menghentikan ayahnya. Ia belajar keras manajemen dan segala hal tentang bisnis, meskipun ia tidak pernah menyukai bidang itu. Salah satu hal yang sangat disukainya hanyalah bermain biola. Dan ia akan tampak sangat ceria setiap kali memainkan benda kecil yang digesek itu. Tapi, demi memutus kerumitan masalah keluarganya itu, ia melakukan apa yang tidak disukainya itu. Dan kemudian hadir di tengah keluarga kandungnya sendiri meski ia harus menyembunyikan identitasnya yang sebenarnya. Ia juga bahagia ketika menikah denganmu, bukan tanpa alasan ia sangat menyukaimu. Aku bisa melihat binar bahagia dari matanya dulu, setiap kali Viola menceritakan tentang kamu kepada Niken. Namun, seolah Tuhan enggan membuatnya bahagia dalam waktu lama, kebahagiaan itu terenggut darinya. Setelah mendapati kenyataan bahwa ia menderita penyakit auto imun itu,"
Hening tercipta diantara keduanya. Alvi masih terdiam mendengarkan dengan saksama cerita William tentang istrinya. 
"Lantas, kenapa Irene bisa tahu bahwa dia menderita penyakit itu...?" Alvi pun akhirnya menanyakan pertanyaan yang sudah sejak tadi berkelebat dalam kepalanya.
William mengangkat bahunya. "Aku juga tidak tahu. Pasalnya, setelah didiagnosis penyakit tersebut oleh dokter di Indonesia tiga tahun yang lalu dia tidak pernah memberitahu kepada siapapun selain aku dan Cathreen. Bahkan Mamanya, Tante Ratih baru tahu penyakit tersebut tiga bulan yang lalu, ketika Niken memutuskan untuk meminta cerai darimu setelah mendengar gosip tentang kehamilan Irene,"
"Kamu sudah berusaha mencari tahu siapa orang yang membocorkan tentang penyakit Niken itu?" tanya Alvi lagi.
William menganggukkan kepala. "Sudah, tapi hasilnya nihil. Aku sudah bertanya pada beberapa dokter yang ku kenal bekerja di rumah sakit tempat Niken melakukan pemeriksaan tapi hasilnya Nihil. Mungkin, ada seseorang yang sangat berkuasa di sana yang bisa mengakses semua informasi pribadi dengan mudah, hingga Irene bisa mengetahui informasi tentang penyakit Niken yang seharusnya rahasia," ujar Will.
Alvi memutar otaknya mencari tahu kemungkinan-kemungkinan orang yang sangat berkuasa tiga tahun yang lalu. Seseorang yang berada di balik layar yang bisa membatu Irene untuk mendapatkan informasi rahasia itu. Dan satu nama melintas di kepalanya.
"Aku tahu orang itu...," cetus Alvi kemudian.
"Siapa?" tanya William penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan Jacky, Jacky Malik Rusdiantoro. Keluarga Rusdiantoro cukup berkuasa saat itu. Jadi ia tentu saja bisa melakukan apapun dengan nama keluarganya untuk membantu Irene mendapatkan informasi rahasia itu," jelas Alvi.
"Untungnya buat dia apa?" tanya Will.
"Karena dia memiliki dendam kepadaku. Tidak hanya dia tapi seluruh keluarganya menaruh dendam kepada keluarga Keysnandra...," ujar Alvi.
"Jad..jadi bisa jadi dia...,"
Alvi menganggukkan kepalanya seraya memberi jawaban "iya" atas pertanyaan Will yang belum tuntas. 
"Kemungkinan besar mereka dalangnya. Mereka akan melakukan segala cara untuk menggoyahkan posisi Keluarga Keynandra dalam hal apapun baik itu di bidang bisnis perusahaan atau menghancurkan keluarga Keysnandra satu persatu. Seperti yang terjadi pada Tante Selvi dan Om Bram yang sudah dianggap sebagai keluarga Keysnandra, juga Viola saudara kembar Niken. Dan sekarang yang menjadi targetnya adalah Niken. Mereka berusaha untuk membuat Niken terpuruk akan kondisinya...," 
"Iya, bisa jadi benar. Karena saat itu pertama kalinya Niken mendapatkan surat-surat ancaman itu, ia sempat histeris dan depresi. Karena itulah aku menyiapkannya kamar dirumahku ini untuknya, agar ia tidak sendirian di apartemen dan membuat aku dan Cathreen tidak bisa menjaganya saat ia kembali mendapat teror-teror itu...," jelas Will. "Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya William.
"Aku akan menyuruh beberapa detektif mencari tahu kebenaran dugaan kita itu serta mengumpulkan bukti-bukti yang kuat untuk bisa memenjarakan mereka dan keluarganya," jelas Alvi.
"Ya... aku setuju...,"
"Oh, ya kamu juga punya bukti-bukti yang sudah dikumpulkan Niken terkait dengan kematian Tante Selvi, Om Bram dan Viola kan?" tanya Alvi.
"Iya, aku tahu dimana Niken menyimpannya. Aku juga ikut serta membantunya mengumpulkan bukti-bukti itu jadi sedikit banyak aku tahu. Tapi, kami menghentikan pencarian bukti-bukti itu lagi sejak tiga tahun lalu, mengingat aku harus memprioritaskan untuk menjaga kondisi Niken dari..,"
"Ya, aku tahu. Tidak masalah, kita bisa melanjutkan pencarian bukti-bukti itu lagi. Terima kasih Will. Kamu menjaga Niken yang seharusnya menjadi tugasku...," ujar Alvi.
"Tidak masalah. Niken sahabatku, aku mengenalnya sejak kecil dan ia sudah seperti keluargaku sendiri. Jadi, kamu tidak perlu berterima kasih kepada sesama saudara...," ujar Will.
"Ekhm....,"
"Ya....?"
"Selain itu, aku juga minta ma'af padamu Will...," ujar Alvi.
William mengerutkan kening, ia bingung dan tidak mengerti maksud perkataan Alvi. 
"Minta ma'af untuk..?"
"Karena pernah berpikir buruk tentangmu. Bahwa kamu adalah selingkuhan Niken...," ujar Alvi.
Mendengar hal itu William hanya bisa tertawa. "Ya Tuhan, kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu..?"
"Ya namanya juga....,"
"Cemburu...," goda Will. Yang tentu saja membuat Alvi mendengus. 
Sementara William masih dengan tawanya yang tak henti-henti. Alvi akhirnya melangkahkan kaki kembali ke kamar yang ditempati Niken di rumah Will, tanpa menghiraukan sang pemilik rumah yang masih menertawai kebodohan pemikirannya tadi itu.
"Mau kemana? Kabur...," ujar Will.
Alvi hanya mengedikkan bahu, acuh. Tapi ketika Will menyuruhnya mendekat untuk memberitahukan satu rahasia tentang Niken, mau tak mau Alvi pun kembali melangkahkan kakinya menuju Will.
"Niken tidak pernah pacaran. Kamu satu-satunya lelaki yang ia suka. Ia tidak pernah terlibat pergaulan bebas meskipun cukup lama tinggal di Amrik. Jadi dia masih...," 
Alvi memotong penjelasan Will. Karena ia tahu apa yang akan dikatakan lelaki itu kepadanya.
"Aku tahu...," ujar Alvi. Sementara William cengo mendengar perkataan Alvi itu. Ia mengernyit bingung kenapa lelaki itu bisa tahu padahal ia belum menyelesaikan penjelasannya. "Karena aku orang yang pertama melakukan itu padanya...," jelas Alvi santai dan melenggang pergi meninggalkan lelaki itu.
Sementara Will melayangkan bantal sofa ke Alvi setelah mendengar perkataan Alvi.
"Jadi, kemari setelah kamu baru nyampai di Amrik kamu dan Niken melakukan itu?" tanya William sembari berteriak karena lelaki itu melenggang pergi menuju kamar Niken. Ia dapat melihat lelaki itu hanya mengedikkan bahunya seraya menjadi jawaban atas pertanyaan Will.
"Dasar, awalnya sok-sok an pada nggak mau. Nyatanya lama nggak ketemu eh malah nggak tau malu langsung melakukan itu," gerutu Will. Ia pun kemudian mematikan televisi dan menuju ke kamarnya untuk menyusul sang istri dan anaknya yang tengah tidur siang.





Lima Belas

Edit Posted by with No comments

Seperti yang dijanjikannya kepada Alvi kemarin, Niken membawa Alvi ke rumah William. Rumah tersebut tidak terlalu besar, namun memiliki halaman yang cukup luas dengan rumput yang terawat dengan rapi. Bunga-bunga di taman tersebut juga indah ditata sedemikian rupa hingga tampak begitu mengagumkan.
Niken membunyikan bel di rumah itu. Tak selang beberapa lama seseorang membukakan pintu rumah. Ia adalah seorang wanita yang berusia terpaut tiga tahun di atas Niken. Ia menyambut Niken dengan pelukan dan senyuman mengembang. Mempersilakan Niken untuk masuk ke dalam rumahnya. Sementara Alvi yang mengikuti Niken dari belakang hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya untuk menyapa.
"Siapa...?" tanya Alvi kepada Niken dengan nada berbisik.
"Cathreen. Istri Will...," jawab Niken.
"Istri Will, Indo...?" tanya Alvi lagi yang di jawab Niken dengan anggukan kepala. "Aku pikir istrinya bule...," ujar Alvi masih dengan suara lirih agar tak terdengar sang pemilik rumah.
"Will suka gadis lokal. Lagipula, Will juga bukan seratus persen keturunan Amrik. Neneknya Will aja yang asli orang Amerika," jelas Niken.
Alvi pun mengangguk-anggukkan kepalanya seraya mengerti penjelasan dari Niken. Melihat Will, memang lelaki itu tidak tampak seperti bule asli. Wajahnya masih mirip orang Indonesia, hanya warna mata dan postur tubuhnya yang membedakan bahwa ia terlihat seperti orang asing.
"Aunty Ken....," sambut seorang gadis kecil dengan rambut keriting yang di kuncir dua. Ia berlari dan memeluk kaki Niken. Niken pun mengambil gadia kecil itu dan menggendongnya.
"Andrea sayang, Aunty kangen....," ujar Niken sembari menciumi gadis kecil pemilik pipi chuby itu. 
Will yang mengetahui kedatangan Niken pun segera menyambutnya. Ia merentangkan tangan untuk memeluk Niken yang sedang menggendong Andrea. Tapi, sebuah tatapan tajam menghentikan kebiasaan William kepada sahabatnya itu.
"Eh...aku nggak tahu kalau kamu bawa pawang...," ujar William terkekeh. Sementara Alvi hanya memutar bola matanya malas. Ia memang sudah beberapa kali melihat Will di Indonesia bersama dengan Niken. Bahkan lelaki itupun hadir ketika keduanya melangsungkan pernikahan. Tapi, hanya sebatas itu, Alvi tidak mengenal William lebih dari itu. Bahkan ia semula mengira bahwa Will adalah kekasih Niken, tapi apa yang dilihatnya hari ini mampu mematahkan prasangkanya itu.
Niken sudah duduk di sofa ruang keluarga Will begitu pula dengan Alvi dan William. Sementara Cathreen, berjalan ke dapur untuk menyiapkan minuman dan beberapa cemilan untuk tamunya.
"Sejak kapan kamu tiba di Amrik?" tanya William pada Alvi. Pasalnya Niken sang sahabat tidak memberitahu apapun perihal kedatangan lelaki itu.
"Kemarin...," ujar Alvi singkat. Sementara William yang mendengar jawaban dari lelaki itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. 
"Kenapa tidak di ajak kemari dari kemarin...?" tanya William lagi yang kini diajukan kepada sang sahabat.
"Eh ya quality time dulu lah. Sudah tiga tahun nggak ketemu...," jelas Niken.
"Alah..sok-sok an kamu quality time, kangen juga kan nggak ketemu dia. Disuruh pulang nggak mau, jadi emang pinginnya di jemput ya...," ledek Will kepada Niken. Sementara Niken yang mendengar ledekan dari sahabatnya itu hanya cemberut. Berbeda dengan Alvi yang tersenyum, ia dapat melihat semburat merah di pipi Niken setelah mendapat ledekan dari Will.
"Ya, namanya juga wanita Will, bilangnya nggak mau tapi sebenarnya mau kan...," Alvi menambahkan pernyataan ejekan Will kepada Niken tadi yang tentu saja membuat Niken lebih cemberut.
"So...kalian....?" William kembali bertanya, tapi ia tak melanjutkan pertanyaannya karena kedua orang yang tengah duduk di hadapannya itu telah menganggukkan kepalanya untuk memberi jawaban atas pertanyaan Will yang belum tuntas tersebut.
"Kami akan kembali ke Indo...," ujar Alvi.
"Itu bagus.. bawa aja dia nih, biar nggak ngerusuh aja disini...," ujar Will.
"Ih...siapa yang ngerusuhin kamu sih Will...," ucap Niken tidak terima dengan pernyataan sang sahabat.
"Lah apa namanya tidak ngerusuh. Tiap hari datang cuman untuk memonopoli Cathreen buat curhat, kadang nangis-nangis karena kangen sama lakinya...," ucap Will yang tentu saja membuat Niken bersungut karena membongkar rahasianya di depan Alvi. "Makanya, kalau kangen ya samperin. Jangan dipendem sendiri aja...," tambah Will.
"Ih...Will mah....," Niken tampak malu karena rahasianya yang selama ini selalu merindukan Alvi terbongkar di depan lelaki itu.
"Sudah..sudah Will berhenti meledek Niken, tuh lihat pipinya udah merah kayak kepiting rebus," bela Cathreen yang datang dengan membawa minuman dan cemilan. Ia pun kemudian mendudukkan dirinya tepat disamping William, sang suami.
"Eh, bener kan Yang, tiga bulan yang lalu dia datang nangis-nangis minta cerai aja dari Alvi karena cemburu...," ucap William yang sontak mendapatkan pelototan tajam baik dari Niken maupun Cathreen. "Ups...sorry keceplosan..," ujar William sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Eh...cemburu kenapa?" tanya Alvi kepada Niken, namun Niken hanya menundukkan kepalanya sembari memeluk Andrea yang ada di pangkuannya. Tak mendapatkan jawaban dari sang istri, ia pun kembali mengajukan pertanyaan itu kepada William dan Cathreen.
"Apalagi kalau bukan scandal kamu dengan sang model terkenal "Irene Turano"," jelas Will.
Alvi menghirup udara banyak-banyak. Kemudian ia mengarahkan pandangannya pada wanita yang duduk disampingnya itu. 
"Kamu percaya gosip yang tidak mendasar itu? Hubungan aku sama Irene sudah berakhir lama dan kamu sendiri tahu tentang itu. Karena sejak kamu memberi tahu kebenaran tentang Irene dulu dan aku membuktikan kebenaran tentang ucapanmu, hubungan diantara aku dan Irene berakhir saat itu juga. Jadi, nggak mungkin banget kalau aku yang telah menghamili Irene...," jelas Alvi.
Niken yang mendengar penjelasan Alvi pun menganggukkan kepalanya. Ia memang tidak mempercayai apa yang dimuat di berita gosip itu. Tapi, tetap saja pemikiran-pemikiran buruk itu bersarang di kepala cantiknya.
"Lantas kenapa kamu masih meragukanku...?" tanya Alvi. 
Niken lantas menyerahkan Andrea kepada Cathreen setelah memberi penjelasan pada gadis kecil itu yang telah duduk nyaman dipangkuannya sedari tadi. Ia berjalan menuju ke sebuah kamar di rumah William. Ia yang memang sering menginap di rumah William memiliki kamar tersendiri yang disediakan oleh sang pemilik rumah untuk gadis itu.
Setelah beberapa menit ia pun kembali dengan membawakan sebuah kardus kecil. Setelah sampai ditempat duduknya semula ia menyerahkan kardus kecil itu kepada Alvi ia kembali menundukkan kepalanya. Tak berani menatap wajah lelaki itu.
Alvi mengernyitkan keningnya, menerima kardus kecil yang diberikan oleh Niken. Perlahan-lahan ia membuka tutup kardus itu. Dan ia terkejut mendapati apa yang ada di dalamnya. Disana banyak sekali foto dirinya dan Irene. Dan foto-foto itu banyak yang foto lama, yang baru hanya beberapa dan itu tampaknya di foto dengan tidak begitu jelas karena mungkin diambil dari jarak yang jauh.
"In..ini.....?"
"Irene yang mengirimkan surat-surat ancaman dan foto-foto itu pada Niken...," jelas Cathreen.
"Jadi alasan kamu tidak kembali juga karena ancaman-ancaman ini...?" tanya Alvi yang di jawab anggukan oleh Niken. 
"Ya, Tuhan...,"ujar Alvi.
Kemudian Alvi pun merengkuh Niken dalam pelukannya. Gadis yang sudah tak gadis lagi itu meneteskan air matanya. Isak tangis begitu memilukan terdengar dari Niken. Dan Alvi hanya bisa mengusap punggung gemetar gadis yang ada di dalam pelukannya itu.
*****





Empat Belas

Edit Posted by with No comments

Alvi menatap gadis yang tidur di sampingnya. Ah, mungkin bukan gadis lagi sebutannya sekarang karena apa yang sudah dilakukannya pada Niken beberapa saat yang lalu. Ia melihat Niken terlelap dalam pelukannya dirapikannya anak-anak rambut yang menutupi wajah Niken. Ia juga berkali-kali mencium kening Niken, hingga Niken merasa tidurnya terusik dan akhirnya ia pun bangun.
"Kenapa tidak tidur?" ucap Niken dengan suara seraknya khas bangun tidur.
Alvi mendekat ke arah Niken. Ia berbisik lirih di telinga Niken. "Pengen lagi...," ujarnya.
Niken sontak melototkan matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang Alvi katakan barusan. Bisa-bisanya lelaki itu mengatakan hal seperti itu.
"Dasar mesum...," ujar Niken sembari memukul dada bidang Alvi. Alvi terkekeh melihat wajah Niken yang dipenuhi oleh semburat merah.
"Kamu cantik kalau lagi blushing....," ujar Alvi sembari mengusap pipi Niken dengan lembut. Mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya tentu saja membuat Niken semakin malu.
"Bukannya aku menolak, tapi bener deh aku capek. Lagian ini yang pertama dan...," ucapan Niken terhenti oleh perkataan Alvi kemudian.
"Memangnya aku mau apa sayang. Kamu tuh yang pikirannya mesum...," ucap Alvi sembari menjitak kepala Niken, namun dengan penuh kelembutan.
"Eh...aku pikir kamu....,"
"Aku nggak akan sekejam itu minta lagi sama kamu di saat pertama kalinya buat kamu...," ucap Alvi yang tentu saja membuat Niken kembali bersemu merah karena malu. Ia malu akan pemikirannya sendiri. Bisa-bisanya dia berpikir kalau Alvi ingin...ah lupakan, batin Niken.
Alvi mencium kening Niken dengan lembut. Ia pun membelai rambut istrinya dengan lembut, sementara Niken menyembunyikan wajah malunya atas pemikirannya tadi ke dalam pelukan Alvi.
"Terima kasih karena sudah menjaganya untuk aku...," ujar Alvi kemudian.
Niken mendongak melihat wajah sumringah suaminya. Suami? Bahkan mengatakan kata itu saja sudah membuat Niken merasa malu. 
"Kamu suami aku, tentu saja aku menjaganya untukmu. Kenapa harus berterima kasih ?" ucapnya yang masih bingung kenapa suaminya malah berterima kasih atas apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang istri.
"Tentu saja aku harus berterima kasih kepada istriku yang cantik ini. Hidup di negeri orang terlebih dengan budaya yang sangat bebas seperti ini, tapi masih bisa menjaga diri dengan baik tentu aku harus mengapresiasi hal itu bukan?" ujarnya dengan nada menggoda yang tentu saja membuat Niken menjadi lebih malu lagi. 
Kemudian sebuah pemikiran muncul ketika Alvi pertama kali datang ke apartemen Niken beberapa waktu yang lalu. 
"Eh, tapi kamu tidak menyambut tamu kamu seperti saat kamu menyambutku tadi bukan?" tanya Alvi.
Niken memukul kecil dada Alvi. "Sembarangan mana mungkin....,"
"Buktinya tadi....,"
"Tidak ada yang bertamu sepagi itu kecuali kamu. Tentu saja aku baru bangun tidur tadi, makanya....," Niken tak meneruskan kata-katanya karena ia malu mengingat bahwa ia masih mengenakan gaun tidur tipis ketika ia membuka pintu apartemen untuk Alvi.
"Bahkan Will juga...?"
"Tentu. Will tidak pernah berkunjung tanpa pemberitahuan. Dia pasti akan memberitahu dulu sebelum datang...,"ucap Niken. Alvi mengerutkan kening, mendengar penjelasan Niken meskipun Niken tidak pernah menyambut Will seperti ketika ia menyambut dirinya tadi, tapi tetap saja ia mengetahui Will sering ke apartemen Niken.
Melihat perubahan raut wajah suaminya itu Niken pun tersenyum simpul. Ia tahu lelaki yang sah menjadi suaminya itu tengah cemburu.
"Nggak udah cemburu, Will nggak pernah kesini sendirian. Ia selalu membawa Catreen dan Andrea kesini...," jelas Niken.
"Ekhem....siapa yang cemburu....," ucap Alvi menyembunyikan rasa cemburunya dibalik wajah datarnya. Niken hanya terkekeh melihat kelakuan suaminya itu, lelaki dengan semua rasa gengsinya, pikirnya.
"Catreen dan Andrea, siapa?" tanya Alvi kemudian, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
"Catreen, istri Will dan Andrea putri kecil mereka. Will dan Catreen sering menitipkan Baby An disini kalau mereka sedang ingin quality time...," jelas Niken.
"Orang tua yang egois. Masak ingin berduaan saja dan meninggalkan anaknya sama kamu," gerutu Alvi.
Niken meluruskan kening Alvi yang berkerut dengan jemari tangannya. Lelaki itu mengernyitkan kening sembari menggerutu.
"Bukan egois sayang. Terkadang mereka juga butuh waktu untuk berdua agar hubungan diantara kedua semakin erat. Terkadang bukan hanya untuk bersenang-senang saja, namun untuk menyelesaikan suatu persilisihan atau permasalah apapun. Mereka hanya tidak ingin anak mereka berpikir macam-macam tentang orang tua mereka. Karena itu kadang mereka menitipkan buah hati mereka kepada beberapa orang yang mereka percayai sanggup untuk menjaga anak mereka. Seperti Will dan Catreen yang mempercayakan Andrea padaku," jelas Niken panjang lebar.
"Kamu tidak kesulitan menjaga putri mereka siapa tadi namanya Andrea ya...?" Tanya Alvi yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Niken.
"Tidak sama sekali. Andrea gadis kecil yang lucu. Ia tidak pernah merepotkanku sama sekali. Malah terkadang aku terbantu dengan keberadaannya....," ujar Niken.
"Aku tidak sabar jadi ingin ketemu Andrea yang kamu maksud itu...,"
"Tentu, besok aku bisa mengajak kamu ke rumah Will...," ujar Niken. Dan Alvi pun menganggukkan kepala sebagai pertanda persetujuannya akan usul Niken tersebut.
"Lantas, apa rencana kita hari ini?" tanya Niken.
"Quality time....," sahut Alvi dengan menarik turun kan alisnya.
"Hmm..dasar mesum...," ucap Niken.
Dan Alvi hanya bisa terkekeh melihat tingkah Niken yang terkesan malu-malu tersebut.
Keduanya saling pandang, dan keheningan tercipta setelahnya. Namun kemudian terdengar suara yang membuat keduanya tertawa bersama.
Kruyuk...kryuk....
"Hahahaha....," tawa keduanya.
"Sepertinya kita perlu mengisi tenaga dulu sebelum bertempur kembali," ucap Alvi dengan nada menggoda. Sementara Niken hanya tersenyum malu mendengar ucapan Alvi yang terkesan vulgar.
"Ayo mandi bersama...," ujar Alvi kembali masih dengan nada menggoda.
"Ish...dasar mesum. Mas dulu sana yang mandi...," ucap Niken canggung.
"Mas....," ucap Alvi memberi penekanan dari perkataan Niken tadi. Niken yang menyadari sebutan yang ia buat untuk memanggil Alvi pun menunduk malu.
"Aku suka panggilan itu.."Mas"....," ujarnya sembari menoel pipi Niken yang menunduk malu. Ia pun kemudian beranjak menuju kamar mandi.
Niken pun membereskan kamar yang berantakan akibat ulah mereka berdua beberapa saat yang lalu. Mengingat semua kejadian itu tentu saja membuat semburat merah tak henti nampak di pipi Niken. Usai membersihkan semua kekacauan di kamarnya Niken menuju ruang tamu untuk mengambil koper Alvi. Ia menyiapkan pakaian ganti untuk Alvi di atas ranjang, sementara pakaian Alvi lainnya ia tata rapi di dalam lemari tepat disamping baju-baju miliknya. 
"Mas, pakaiannya ada di ranjang. Aku tinggal ke dapur dulu untuk menyiapkan makanan," ujarnya. Yang langsung mendapat sahutan "ya" dari seseorang yang tengah berada di kamar mandi tersebut. 
Niken lekas menuju dapur untuk menyiapkan makanan sembari menunggu gilirannya mandi usai Alvi. Tak lama bergulat di dapur ia pun selesai menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Sepiring omelet dan segelas kopi untuk Alvi serta secangkir susu hangat untuk dirinya sendiri sudah tertata rapi di atas meja makan. 














Tiga Belas

Edit Posted by with No comments

Usai kepergian Sang Mama dan Oma-nya Alvi terdiam. Ia berdiri menatap jalanan yang lenggang dari balkon kamar apartemennya. Hujan tengah turun malam ini, tidak begitu deras namun cukup mampu mewakili hati Alvi yang tengah terluka. Penjelasan mama-nya mengenai alasan kepergian Niken masih tergiang-ngiang dikepalanya.
FlashBack
"Niken bukan pergi karena ingin bersama William, Vi. Hubungan mereka hanya sebatas dokter dan pasien. William adalah dokter yang menangani Niken, dan karena kedekatan dokter dan pasien itu mereka akhirnya berteman. Jadi tidak ada apa-apa diantara mereka. Lagipula William juga sudah mempunyai keluarga...," jelas Ratih.
"Lantas Niken pergi karena....?"
"Ia takut Vi, ia takut tidak akan bisa membahagiakan kamu. Ia takut hanya akan menjadi bebanmu. Karena itu ia ingin membebaskanmu. Tapi, kamu enggan melepaskannya, akhirnya sampailah ia pada keputusan itu. Ia pergi, meninggalkanmu dengan semua kesalapahaman yang ada dikepalamu,"
"Niken bukan beban bagi Alvi, ma. Kenapa dia berpikiran seperti itu...,"
"Apa yang bisa dilakukan oleh seorang istri ketika ia tidak bisa membahagiakan suaminya Vi...?"
"Apa definisi kebahagiaan bagi seorang suami yang ada di kepala Niken, ma...,"
"Anak !
Deg, Alvi serasa tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia merasa seolah dunianya hancur seketika mendengar pernyataan mama-nya. 
"Niken takut tidak bisa memberi kamu keturunan. Karena penderita penyakit itu sulit kemungkinan untuk bisa hamil...," jelas sang mama.
Alvi menghela nafas gusar. Ia terus terngiang perkataan sang mama bahwa Niken takut tidak bisa memberikannya seorang anak. Jadi, mamanya ingin Alvi membebaskan Niken jika Alvi memang tidak bisa menerima kondisi Niken. Akhirnya ia pun memutuskan untuk melakukan panggilan kepada seseorang diseberang sana.
"Halo Nak...," ujar seseorang diseberang sana yang adalah Dana, sang papa.
"Dimana alamat Niken di Amerika?" tanya Alvi. Dan seseorang diseberang sana pun memberikan jawabannya. Setelah mengucapkan terima kasih kepada sang papa ia mengakhiri panggilannya. Dan ia pun segera melakukan panggilan kepada seseorang yang lain. "Siapkan tiket pesawat untuk berangkat ke Amerika, sekarang...," titah Alvi.
*****
Setelah menempuh perjalanan selama 18 jam lebih akhirnya Alvi sampai di negara dimana Niken berada. Ia menaiki taksi dan menuju alamat yang diberikan oleh sang papa. Setelah menempuh perjalanan dari Bandara Internasional John F. Kennedy, ia akhirnya sampai di apartemen 740 Park Avenue, New York. Ketika sampai di salah satu apartement yang dijelaskan oleh sang papa di telpon kemarin ia pun membunyikan bel. Beberapa menit bel berdering dan akhirnya muncullah seseorang yang sangat Alvi rindukan selama tiga tahun terakhir.
Gadis itu menatap tidak percaya sesosok lelaki yang berdiri tepat dihadapannya. Lelaki itu masih sama seperti ketika ia meninggalkannya. Hanya saja rambut-rambut halus tumbuh disekitar dagu lelaki itu. Garis wajah lelaki itu pun terlihat tegas sekarang. Dia adalah Alvi, lelaki yang masih menyandang status sebagai suaminya.
"Apa kamu akan tetap membiarkan saya berdiri disini tanpa membiarkan saya masuk?" ujar Alvi memecah keheningan diantara keduanya. Ketika untuk pertama kalinya dalam tiga tahun mereka bertatapan kembali.
"Eh...iya silakan masuk....," ujar Niken. Alvi pun masuk ke dalam apartemen Niken. Namun, ia masih berdiri termenung bahkan setelah Niken menutup pintu apartemen. Alvi menatap Niken dari ujung kepala sampai ujung kaki. Alvi meneguk salivanya. Dan menyadari arti tatapan Alvi, ia membelakakkan mata dan segera pergi menuju ke kamarnya. "Silakan duduk, aku ganti baju dulu...," ujar Niken yang kemudian sudah menghilang di balik pintu kamarnya.
"Bisa-bisanya dia menyambut tamu dengan berpakaian seperti itu. Jangan-jangan ketika Wiliiam atau teman lelaki lainnya kesini dia juga berpakaian seperti itu..," gumam Alvi, ia menggelengkan kepalanya, mendadak tidak rela memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di kepalanya. Hingga kemudian, Niken pun kembali dari kamarnya dengan membawakan segelas air sirup dingin dan cemilan untuk Alvi. Dan tentu saja kini Niken sudah mengenakan pakaian yang pantas untuk menyambut tamu.
Keheningan kembali tercipta diantara keduanya. Hingga akhirnya Niken pun bertanya perihal alasan kedatangan Alvi jauh-jauh ke Amerika.
"Kenapa bisa kemari?" tanya Niken.
"Tidak boleh..?" jawab Alvi dingin dan datar.
"Eh, tentu tidak masalah. Maksud aku, ada urusan apa kamu datang jauh-jauh kesini?" tanya Niken lagi.
"Apa tidak boleh aku datang kesini untuk menemui istriku...?" ucap Alvi sembari memberikan penekanan saat ia mengataka kata "istriku".
"Eh....," Niken menjadi salah tingkah. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Perkataan Alvi adalah kebenaran. Ia masih istri sah Alvi bukan? Meskipun nyatanya mereka menikah tanpa cinta, tapi keduanya belum bercerai. Jadi, mereka masih terikat hubungan suami istri bukan? Meskipun mereka tidak bersama selama tiga tahun, tapi Alvi masih tetap memberinya nafkah, meski memang Niken tidak pernah memakai uang yang ditransfer Alvi setiap bulannya ke rekeningnya. Ia menggunakan uangnya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk biaya pengobatannya.
Alvi pun menghela napas sebelum akhirnya berbicara.
"Huft...aku kesini untuk menjemput istriku yang kabur selama tiga tahun...," ujar Alvi kemudian.
"Aku tidak kabur. Bukankah aku sudah izin kepadamu tiga tahun yang lalu ketika aku memutuskan untuk pergi ke negara ini..?" ujar Niken memberikan pembelaan pada dirinya sendiri.
"Iya, izin tanpa memberikan penjelasan apapun. Itu sama saja dengan kabur...," ucap Alvi dingin.
Niken pun menundukkan kepalanya. Ia tidak pernah melihat Alvi seperti ini. Alvi memang menyebalkan dari dulu, ia bahkan terlampau sombong ketika Niken pertama kali mengenalnya. Tapi, Niken tidak pernah melihat Alvi seperti sekarang itu. Lelaki itu terlihat sangat...marah. Dan Niken sadar, semua ini karena kesalahannya!
"Alvi aku...,"
"Kamu egois Ken," potong Alvi hingga Niken tidak bisa melanjutkkan perkataannya. "Bukan kamu yang menentukan aku bisa bahagia atau tidak. Aku yang merasakannya dan tentu aku yang lebih tahu apa yang membuat diriku bahagia...," 
"Vi...,"
"Kamu pergi tanpa mendiskusikannya terlebih dulu denganku. Kamu menyembunyikan segalanya dariku, sudah berapa banyak rahasia yang kamu simpan sendirian? Sudah berapa banyak kamu mengambil keputusan sendiri...," ujar Alvi masih dengan amarahnya. Ia seolah tak dapat mengontrol dirinya lagi. 
"Alvi..aku....," Niken hanya bisa menangis melihat amarah Alvi. Ini pertama kalinya, ia melihat lelaki itu dipenuhi amarah, tapi lebih dari amarah tersimpan rasa sakit dimata lelaki itu setiap kali Niken menatap bola mata Alvi. Niken pun tahu, bahwa mungkin sang mama, oma atau papanya sudah memberitahukan semua kebenaran itu kepada Alvi. 
"Ken, apa kamu mencintaiku?" tanya Alvi. "Jangan bilang kamu melakukan semuanya karena kamu mencintaiku, karena kalau kamu benar mencintaiku kamu tidak mungkin...," Niken menghambur ke pelukan Alvi. Alvi yang tidak siap menerima pelukan Niken pun terjengkang hampir ke belakang karena ia tengah duduk di sofa. Niken memeluk Alvi dengan erat diatas pangkuan Alvi. Ia menyembunyikan tangisnya diantara ceruk leher lelaki itu.
"Aku tahu aku salah. Aku tahu aku egois. Aku hanya ingin kamu bahagia. Aku wanita cacat Alvi, aku tidak akan bisa membahagiakan kamu. Harusnya kamu melepaskan aku. Harusnya kamu tidak datang kemari...," ucap Niken ditengah tangisnya. Alvi hanya bisa menepuk-nepuk punggung gadis yang tengah berada dipangkuannya itu, agar gadis itu meredakan tangisnya. Tapi, Niken malah semakin keras menangis. 
"Tidak ada yang sempurnah Niken, tidak kamu begitu juga aku. Tapi, kita bisa menjadikan diri kita sempurnah dengan melakukan segalanya bersama-sama hingga kita bisa saling melengkapi kekurangan kita masing-masing. Aku tidak masalah kalau kita tidak bisa memiliki anak, kita bisa mengadopsi anak. Aku tidak masalah Niken, sungguh. Asalkan kamu tetap berada disampingku. Aku mencintai kamu, karena itu aku butuh kamu...," jujur Alvi yang membuat Niken malah semakin tergugu dengan pengakuan Alvi.
Akhirnya setelah tiga tahun lamanya, setelah saling memberi waktu untuk diri sendiri akhirnya mereka sadar bahwa keduanya telah memiliki rasa yang sama. Kehilangan kadang menuntun kita pada kebenaran, kebenaran akan perasaan yang sebenarnya kita simpan kepada seseorang.
*****





Dua Belas

Edit Posted by with No comments

Tiga tahun kemudian…
       Perusahaan K-Company berkembang pesat dengan keterlibatan Alvi di dalamnya. Meskipun ia belum lulus kuliah S3-nya, namun hal itu tak menghambatnya. Ia belajar dengan sungguh-sungguh terkait dengan bisnis yang di jalani oleh Papanya di tengah kesibukannya kuliah. Dan sepenuhnya, kini perusahaan tersebut sudah di pegang penuh oleh Alvi karena permintaan keluarganya. Berkembangnya K-Company, menjadi hancurnya perusahaan J-Company, perusahaan Papa Jacky, saingannya sejak dulu.
       Namun, ada hal berubah dari Alvi semenjak ia disibukkan dengan urusan perusahaan. Ia menjadi pribadi yang lebih dingin dan tertutup di mata yang lainnya. Meskipun sejak dulu ia memang tidak pernah mempunyai banyak teman selain dua sahabatnya “Fandy dan Bagas”, namun Alvi masih bisa bersikap santai dan hangat. Tapi sekarang, entah menguap kemana kehangatan yang dimilikinya dulu. Terlebih setelah ia mendengar keputusan Niken setahun yang lalu.
       1 tahun yang lalu…..
       “Vi, boleh bicara sebentar?” tanya Niken di suatu sore ketika keduanya tengah menghabiskan sore bersama di kebun belakang rumah mereka.
       “Ya, ada apa?” tanya Alvi.
       “Mama sudah pulih kesehatannya, begitu pula dengan Oma Mia. Hubungan Papa dan Mama juga berangsur-angsur membaik…,” ucap Niken.
       “Ya, terus….?”
       “Bagaimana….bagaimana dengan kita?” tanya Niken.
       “Ken, kita….?”
       “Meskipun kita sudah sah sebagai suami istri namun tidak ada cinta di dalamnya, Vi. Kita menikah hanya karena perjodohan yang di atur oleh keluarga. Jadi tidakkah kita sebaiknya….?”
       Alvi tahu kemana arah pembicaraan Niken selanjutnya. Ia tidak mau mendengarnya. Tidak ada perceraian dalam pernikahannya. Lagipula, bagaimana Niken bisa menyimpulkan hal seperti itu? Bukankah dua tahun belakangan mereka sudah bisa saling hidup bersama. Saling menguatkan menghadapi setiap permasalahan yang ada? Tapi, kenapa Niken berpikir demikian?
       “Tidak ada perceraian Ken, kalau itu yang mau kamu utarakan,” ucap Alvi yang sudah mengganti sapaan menjadi aku-kamu sejak keduanya mulai dekat.
       “Tapi Vi….,”
       “Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan Ken, terserah kamu, aku tidak akan membatasi dan ikut campur seperti kesepakatan kita di awal. Tapi, untuk cerai, ma’af aku tidak bisa memberikannya padamu,” ucap Alvi final.
       Setelah kejadian sore hari itu, akhirnya Niken memutuskan untuk kembali ke Amerika, dengan alasan melanjutkan studynya di sana. Namun, Alvi tahu bahwa itu hanyalah alasan yang di ucapkan oleh Niken. Alasan sebenarnya adalah Niken ingin menjauhinya. Entah karena apa, Alvi tak tahu. Setahunya, hubungannya dengan Niken baik-baik saja setelah permasalahan rumit di antara keluarga mereka terselesaikan satu per satu.
       Alvi membiarkan Niken tetap pada keputusannya. Karena ia sendiri yang mengatakan bahwa Niken boleh melakukan apapun asalkan ia tidak meminta cerai darinya. Dengan berat hati, Alvi pun melepaskan kepergian Niken ke Amerika.   
*****
       Alvi tersadar dari lamunanya ketika mendengar pintu ruangan kerjanya di ketuk. Sekretarisnya membuka pintu setelah ia mengatakan iya. Dan tampaklah seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik berjalan masuk dengan menggandeng seorang wanita Tua.
       “Ma…..,” sapa Alvi ketika menyadari siapa yang berkunjung ke kantornya.
       Alvi berjalan mendekat dan mencium tangan Mama dan Oma nya. “Oma juga datang? Tumben…” seru Alvi dengan senyum di bibirnya sembari menggoda Oma-nya.
       “Dassarr cucu nakal, kenapa jarang sekali berkunjung? Kamu sudah nggak sayang lagi sama Oma?” tanya Omanya.
       Ya, sejak beberapa bulan lalu, Alvi memang memutuskan untuk tinggal di Apartemen yang letaknya nggak jauh dari perusahaan, dengan alasan biar dia lebih mudah dan cepat ke kantor jika ada masalah mendadak. Baik Oma, Mama serta Papanya tidak setuju dengan keputusan Alvi tersebut tapi mereka juga menyadari bahwa Alvi mungkin butuh suasana baru. Terlebih, ketika Niken memutuskan untuk kembali ke Amerika, semua menyadari perubahan dalam diri anak itu, terlebih Ratih, sang Mama. Meskipun tidak memiliki hubungan darah, tapi Ratih yang telah mengasuh Alvi sejak kecil, tahu bagaimana tabiat putranya itu. Ia tahu, bahwa sebenarnya Alvi kecewa dengan keputusan Niken, tapi putranya itu tidak bisa menolak keinginan dan keputusan Niken, putri kandungnya.
       “Ihh…Oma kan tahu, sebentar lagi acara ulang tahun perusahaan, jadi Alvi sibuk urus ini itu….,” jelas Alvi.
       “Alesan… kamu punya banyak pegawai, buat apa kamu gaji mereka kalau pada akhirnya yang ngurus ini itu juga kamu….,” rajuk Oma Mia.
       “Tapi kan Oma, Alvi kan mau semuanya berjalan lancar…,”
       “Ya, tapi kan…..,” ucapan Oma Mia terputus oleh tatapan mengiba Ratih, untuk tidak terus mendesak Alvi agar mau kembali ke rumah.
       “Kamu kenapa kurusan Nak?” tanya Ratih kemudian.
       “Apanya yang kurusan Ma, perasaan dari dulu Alvi gini-gini aja…,” ujar Alvi sembari duduk di samping Mamanya. Ia pun memeluk lengan mamanya dengan penuh kasih.
            Ratih menghembuskan napas agak keras. Dia menimbang apakah perlu memberi tahu Alvi atau tidak yang sebenarnya. Di satu sisi ia ingin memberi tahu putranya itu, agar putranya bisa membujuk putri semata wayangnya untuk kembali ke Indonesia. Alvi yang mengetahui tersimpan kekhawatiran di wajah mamanya pun akhirnya bertanya.
"Ada apa ma?" tanya Alvi.
"Eh...apa....?" tanya Ratih sang mama.
"Mama seperti menyimpan sesuatu. Katakan Ma, ada apa...?"
Mia memegang tangan Ratih. Ia menganggukkan kepalanya seraya memberi persetujuan kepada Ratih untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Alvi.
"Vi, in...ini tentang Niken...," ujar Mamanya.
Alvi sudah lama tidak mendengar mama, papa atau oma-nya membahas tentang Niken setelah tiga tahun kepergian gadis itu. Bukannya mereka tidak pernah membahas, pernah beberapa kali mereka membahas tentang keadaan gadis itu, namun mereka segera menghentikan percakapan setiap kali Alvi berada diantara mereka.
"Dia kenapa....?" tanya Alvi dingin dengan raut wajah yang datar. Sebenarnya ia cukup penasaran kenapa sang mama dan oma-nya tiba-tiba membahas tentang gadis itu. Tapi, ia berusaha untuk bersikap biasa saja.
"Dia...Nik...Niken....," ucap Ratih terbata-bata seolah sesuatu menyangkut di tenggorokannya hingga ia tidak bisa lancar berbicara.
"Apa dia bahagia disana? Apa dia meminta pada mama agar aku menceraikannya hingga dia bisa menikah dan hidup bersama dengan William?" ujar Alvi yang sudah tidak tahan lagi menyimpan semua uneg-unegnya. Karena hingga detik ini ia tidak pernah tahu alasan gadis itu memilih pergi ke Amerika.
"Apa yang kamu katakan Nak, Niken tidak mungkin meminta hal seperti itu. Kalaupun ia alasannya tidak mungkin karena William...," akhirnya Ratih pun menemukan keberaniannya kembali. Ia harus berani mengatakan yang sebenarnya pada Alvi meskipun sebenarnya Niken telah melarangnya. Tapi, sebagai seorang ibu ia tidak mungkin membiarkan kedua anaknya terlarut dalam kesalahpahaman sekian lama.
"Lantas apa?" tanya Alvi gusar. Ia sudah tak ingin lagi menebak-nebak apa yang ada dipikiran gadis itu hingga pergi meninggalkannya.
"Niken sakit Vi....," ucap Mia, sang oma. Akhirnya sang oma pun mengatakan sesuatu setelah sekian waktu memberikan kesempatan kepada menantunya untuk mengucapkan kebenaran itu kepada cucunya. Tapi, ia rasa menantunya itu tak cukup berani untuk menceritakan hal yang menyakitkan itu.
"Apa maksud Oma? Niken baik-baik saja. Dia sehat, dia bahagia bersama Will," ujar Alvi masih kekeh dengan pendapatnya.
"Itu yang kau lihat Nak, tapi kenyataannya tidak seperti itu...," ujar Ratih. Alvi menatap sang mama ia menuntut penjelasan atas pernyataan yang didengarnya dari bibir sang mama. Ratih menghela napas panjang dan ia mulai menceritakan kebenaran itu kepada sang anak.
"Niken menderita SLE atau  Systematic Lupus Erythematosus. Itu adalah penyakit autoimun, yaitu kondisi ketika sistem imunitas atau kekebalan tubuh secara keliru menyerang organ tubuh sendiri. Penyakit itu rentan menyerang anak kembar, kamu tentu tahu bahwa Niken punya saudara kembar yang bernama Viola bukan? Dan itulah salah satu penyebab kenapa Niken bisa menderita penyakit itu...," jelas mamanya. Ratih dan Mia tak mampu lagi membendung tangisnya usai menceritakan hal itu pada Alvi. Sementara Alvi yang mendengar hal itu shock. Seolah seperti petir baru saja menyambar.
"Jadi alasan dia ke Amerika.....," ucap Alvi masih dengan ketidakpercayaannya.
"Dia kesana untuk berobat, tapi sampai sekarang penyakit itu belum dapat disembuhkan...," ujar sang Oma.
Alvi pun hanya terdiam mendengar penuturan sang mama dan oma-nya. Ia tak percaya bahwa gadis seceria dan seenergik Niken ternyata menderita penyakit itu. Ia bahkan tak mencari tahu alasan kepergian gadis itu. Ia berpikiran sempit dengan menjudges bahwa Niken meninggalkannya hanya untuk bisa hidup bersama Will.
*****

Sebelas

Edit Posted by with No comments

Panti Asuhan Nirmala”
       Enam bulan setelah kejadian itu, kejadian dimana Alvi mengetahui kebenaran tentang identitas dirinya, akhirnya Alvi berada di sini sekarang. Tempat dimana ia pernah di pungut oleh Dana dan kemudian menjadi anak dari lelaki paruh baya itu. Setelah semua keraguan yang ia rasa hilang, akhirnya ia melakukan hal sebagaimana dikatakan oleh gadis itu. “Ikuti kata hatimu”, dan itulah yang Alvi lakukan sekarang. Ia akan mencari tahu siapa orang tua kandungnya, meskipun ia tidak bisa menemuinya lagi di dunia ini, tapi paling tidak Alvi tahu nama dan rupa dari orang tuanya meski hanya melalui sebuah foto lama yang mungkin masih disimpan oleh Ibu Panti.
       Alvi melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam panti. Di dalam sana terdapat halaman yang luas dan anak-anak kecil yang berlarian kesana-kemari. Mereka tampak sangat bahagia, seolah tak ada beban apapun di wajah ceria mereka.Ada yang bermain ayunan, jungkat jungkit dan bahkan ada yang jahil dengan mengusili teman-temannya.Alvi semakin melangkahkan kakinya untuk maju mencari ruangan Ibu Panti. Namun, anak-anak kecil disekitarnya yang menyadari bahwa ada seseorang asing yang datang memperhatikannya dengan raut wajah imut mereka. Hingga kemudian mereka semua pun berteriak, meneriakkan satu nama.
       “Kak Alvviiiiiiiiiii…………..,” ujar anak-anak polos itu.
       Alvi yang terkejut mendengar namanya di panggil secara serempak oleh anak-anak di panti itu, mengerutkan keningnya.Ia tak mengerti, kenapa anak-anak yang tidak pernah ditemuinya itu memanggil namanya. Dan bahkan anak-anak itu berlarian mengerumuninya, seolah sudah sangat akrab dengannya.
       “Akhirnya loe datang juga……,” ujar seorang gadis.
       “Loe…..?” ucap Alvi dengan tatapan penuh tanya kepada gadis itu. Namun, gadis itu tak memberikan jawaban apapun atas isyarat pertanyaannya itu.Ia hanya mengedikkan bahu dan kemudian tersenyum sembari mengajak ia dan anak-anak yang lain masuk ke dalam rumah.
       Alvi menyalami Ibu-Ibu Panti yang menyambut kedatangannya. Ibu Panti yang tahu akan maksud kedatangan Alvi, mempersilakan Alvi untuk masuk ke ruang kerjanya sementara anak-anak panti yang semula mengikutinya bermain bersama dengan gadis yang tadi mengajak mereka masuk ke dalam rumah.
*****
       Niken mengajak Alvi berkeliling Panti Asuhan Nirmala, seusai Alvi menyelesaikan urusannya dengan Ibu Panti.
       “Loe sering kesini?” tanya Alvi memecah keheningan di antara keduanya. Niken tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menganggukkan kepalanya sebagai isyarat jawaban “iya” dari bibirnya.
       “Sejak kapan?” tanya Alvi lagi. Bukannya menjawab pertanyaan Alvi, Niken malah mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Alvi. Alvi yang mengetahui bahwa gadis yang berdiri di sampingnya itu tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukannya, ia pun meralat pertanyaan itu.
       “Maksudku sejak kapan kamu tahu aku berasal dari sini?” tanya Alvi.
       “Oh..., sudah lama....,” ujar Niken.
       “Dan sejak itu loe sering datang kesini?” tanya Alvi lagi. Lagi-lagi Niken hanya menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan Alvi.
       “Kenapa?” tanya Alvi lagi.
       “Maksud loe?” Niken malah balik bertanya.
       “Apa karena gue? Apa karena kasihan sama gue, loe.....?”
       Niken menghembuskan nafasnya perlahan sebelum akhirnya menjawab pertanyaan yang di ajukan Alvi.
       “Gak ada yang perlu gue kasihani di sini, terlebih loe. Cowok sombong dan menyebalkan...,” seru Niken sembari melemparkan senyum pada Alvi.”Gue ngerasa nyaman aja di sini, bermain bersama anak-anak kecil yang polos dan lugu membuat gue ngerasa senang. Mereka saling berbagi bersama satu sama lain. Hidup dalam kesepian tidak membuat mereka patah semangat dan bersedih. Hanya karena mereka berbeda dari anak kecil lainnya karena tidak memiliki orang tua, lantas tidak membuat mereka bersedih hati. Karena memiliki orangtua atau tidak bagiku tidak ada bedanya. Gue memiliki orang tua, tapi malah enggan mengakui gue sebagai anaknya. Lantas, apa bedanya gue dengan mereka? Juga dengan loe, apa bedanya gue sama loe?” jelas Niken.
       “Ken....., gue....,”
       “Kita sama saja Vi, loe yang hidup dalam kebohongan karena tidak tahu tentang identitas diri loe yang sebenarnya. Sementara gue, hidup dengan kebohongan karena menyembunyikan identitas gue....,”
       “Loe...masih marah sama gue....?”
       “Buat apa? Dulu sih iya, gue marah banget sama loe. Kenapa loe hidup bahagia bersama dengan kedua orang tua kandung gue, sementara gue hidup dalam persembunyian tanpa sedikitpun kasih sayang dari mereka. Namun, semenjak beranjak menjadi dewasa gue jadi tahu. Kita hanyalah dua orang anak yang sama-sama hidup karena keegoisan para orang dewasa. Loe, yang dijadikan papa sebagai alat balas dendam namun mendapatkan kasih sayang penuh darinya juga dari mama dan oma, dan gue hidup dalam persembunyian demi keselamatan diri gue sendiri tanpa pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua gue...,”
       “Makasih...,”
       “Buat apa?”
       “Buat semuanya....,”
       “Nggak perlu berterima kasih, it’s okey. Kita tidak pernah meminta untuk berada pada situasi seperti ini. Jadi, tidak ada yang benar ataupun salah disini...,”
       “Ya, loe bener. Jadi, kita lupakan saja semuanya. Dan mulai semua dari awal lagi. Mau kan?”
       “Tentu....,”
       Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan mereka menyusuri setiap tempat di Panti Asuhan itu. Dengan perasaan yang melegakan seolah semua beban yang meeka hadapi sebelumnya tidak pernah ada.
*****
       Alvi dan Niken akhirnya memutuskan untuk menjenguk Mamanya di rumah sakit selepas keduanya menghabiskan waktu seharian di Panti Asuhan Nirmala. Ketika hendak membuka pintu kamar inap Mama-nya dari kaca yang terdapat di pintu masuk ruangan itu, Alvi dan Niken melihat Dana, Papa mereka tengah mengelus puncak kepala mamanya dengan sayang. Sementara mamanya yang keadaannya sudah agak membaik, memalingkan wajahnya dari Papanya yang memandangnya dengan tatapan penuh kasih.
        Baik Alvi ataupun Niken tahu, bahwa sebenarnya Papa nya sangat tulus mencintai Mama Ratih terlepas dari semua masalah rumit yang terjadi di antara mereka. Hanya saja cara yang dilakukan oleh Papanya kurang tepat. Mana ada ibu di dunia ini yang mau dipisahkan dengan anak kandungnya sendiri, meski alasan itu demi menjaga keselamatan sang anak dari orang-orang yang berniat jahat kepada anaknya tersebut. Apalagi, sang suami yang sangat di cintainya bukan hanya memisahkan dirinya dengan sang anak, tapi juga menyimpan semua kebenaran dari sang istri dengan mengatakan bahwa anak tercinta yang dilahirkannya telah meninggal dunia.
       Alvi menghembuskan napas keras begitu pula dengan Niken yang berdiri di sampingnya.
       “Loe yakin?”
       Niken mengerutkan kening. “Maksud loe?” tanya balik Niken pada Alvi.
       “Loe yakin, kita akan masuk sekarang? Apakah tidak sebaiknya…..,”
       “Lebih cepat lebih baik Vi. Kita tidak bisa terus-terusan menghindari mereka. Walau bagaimanapun kesehatan mama lebih penting dan mama butuh aku. Dan akupun juga ingin bertemu dengan mama...,”
       “Oke kalau itu keputusan loe, gue ikut….,” ujar Alvi.
       Akhirnya keduanya pun mengetuk pintu kamar inap itu. Dan tentu saja membuat kedua orang yang berada di dalamnya mengalihkan pandangan mereka pada dua sosok anak manusia yang berjalan semakin dekat kearah mereka. Niken dan Alvi mendekat kearah mereka dan langsung di sambut dengan tangisan oleh sang Mama.
       “Niken……anak mama….,” ujar Ratih masih dengan tangis yang mengirinya. Ia memeluk Niken sangat erat, mencium puncak kepalanya berkali-kali sembari mengucapkan kata-kata yang sama. “Niken…niken anak mama. Ma’afkan mama nak, mama baru tahu kalau kamu masih hidup. Ma’afkan mama….,”
       Niken membalas pelukan sang mama dengan sayang. Akhirnya setelah genap dua puluh dua tahun usianya, Niken bisa merasakan pelukan wanita paruh baya itu. Wanita tidak lain adalah Mama kandungnya.
       Sementara Alvi dan Dana yang melihat kedua wanita yang saling melepas rindu itupun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ruang rawat inap itu untuk member privasi bagi keduanya.
*****