Alvi yang sudah menemani istrinya yang
tertidur sehabis menangis itupun kembali ke ruang keluarga. Disana masih ada
William yang tengah duduk di sofa sembari menonton televisi. Sementara Cathreen
mungkin tengah tidur menemani Andrea yang tadi juga ikut menangis karena
melihat Aunty-nya atau Niken menangis.
"Sudah tidur...," tanya
Will pada Alvi yang kini mendaratkan bokongnya di sofa berdampingan dengan
William.
"Sudah berapa lama ia
mendapatkan surat-surat ancaman itu...?" tanya Alvi.
"Sejak di Indonesia. Sebelum
akhirnya dia memutuskan untuk mengikutiku ke sini...," jelas William.
"Ken..kenapa....?"
"Ma'af Vi, aku tidak
memberitahumu sejak dulu karena Niken melarangnya. Ia bilang, lebih baik kamu
tidak tahu. Itu akan mudah untuk kamu melupakannya dan hidup bahagia..,"
jelas Will.
Alvi menggaruk gusar rambutnya.
"Bagaimana mungkin dia berpikir seperti itu?"
"Aku mengenal Niken cukup lama
dan aku tahu bahwa ia akan memberi keputusan yang rasional menurutnya meskipun
harus mengorbankan dirinya sendiri. Ia tidak ingin keluarganya yang sudah lama
tidak diketahuinya itu menderita. Kamu tahu Vi, ketika ia mengetahui perihal
keluarganya yang sebenarnya Niken sangat bahagia. Kebahagiaan yang mungkin
sudah lama tak ia rasakan setelah orangtua angkatnya yaitu Tante Selvi dan Om
Bram juga adiknya Viola meninggal dunia. Padahal, ia hanya bisa melihat
keluarganya dari jauh, ia tidak mendapatkan kasih sayang yang semestinya dari
kedua orang tua kandungnya. Tapi, ia bahagia dan ia menyembunyikan
kebahagiaannya itu dalam kebencian. Ia tidak membenci orang tuanya yang tidak
mengakuinya sebagai anak, ia hanya membenci karena memperlakukanmu sebagai alat
untuk balas dendam. " jelas William," ucap Will.
William menghela napas dan kemudian
melanjutkan ceritanya.
"Dan karena kamulah, akhirnya
ia menemukan tekadnya untuk menghentikan ayahnya. Ia belajar keras manajemen
dan segala hal tentang bisnis, meskipun ia tidak pernah menyukai bidang itu.
Salah satu hal yang sangat disukainya hanyalah bermain biola. Dan ia akan
tampak sangat ceria setiap kali memainkan benda kecil yang digesek itu. Tapi,
demi memutus kerumitan masalah keluarganya itu, ia melakukan apa yang tidak
disukainya itu. Dan kemudian hadir di tengah keluarga kandungnya sendiri meski
ia harus menyembunyikan identitasnya yang sebenarnya. Ia juga bahagia ketika
menikah denganmu, bukan tanpa alasan ia sangat menyukaimu. Aku bisa melihat
binar bahagia dari matanya dulu, setiap kali Viola menceritakan tentang kamu
kepada Niken. Namun, seolah Tuhan enggan membuatnya bahagia dalam waktu lama,
kebahagiaan itu terenggut darinya. Setelah mendapati kenyataan bahwa ia
menderita penyakit auto imun itu,"
Hening tercipta diantara keduanya.
Alvi masih terdiam mendengarkan dengan saksama cerita William tentang istrinya.
"Lantas, kenapa Irene bisa tahu
bahwa dia menderita penyakit itu...?" Alvi pun akhirnya menanyakan
pertanyaan yang sudah sejak tadi berkelebat dalam kepalanya.
William mengangkat bahunya.
"Aku juga tidak tahu. Pasalnya, setelah didiagnosis penyakit tersebut oleh
dokter di Indonesia tiga tahun yang lalu dia tidak pernah memberitahu kepada
siapapun selain aku dan Cathreen. Bahkan Mamanya, Tante Ratih baru tahu
penyakit tersebut tiga bulan yang lalu, ketika Niken memutuskan untuk meminta
cerai darimu setelah mendengar gosip tentang kehamilan Irene,"
"Kamu sudah berusaha mencari
tahu siapa orang yang membocorkan tentang penyakit Niken itu?" tanya Alvi
lagi.
William menganggukkan kepala.
"Sudah, tapi hasilnya nihil. Aku sudah bertanya pada beberapa dokter yang
ku kenal bekerja di rumah sakit tempat Niken melakukan pemeriksaan tapi
hasilnya Nihil. Mungkin, ada seseorang yang sangat berkuasa di sana yang bisa mengakses
semua informasi pribadi dengan mudah, hingga Irene bisa mengetahui informasi
tentang penyakit Niken yang seharusnya rahasia," ujar Will.
Alvi memutar otaknya mencari tahu
kemungkinan-kemungkinan orang yang sangat berkuasa tiga tahun yang lalu. Seseorang
yang berada di balik layar yang bisa membatu Irene untuk mendapatkan informasi
rahasia itu. Dan satu nama melintas di kepalanya.
"Aku tahu orang itu...,"
cetus Alvi kemudian.
"Siapa?" tanya William
penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan Jacky,
Jacky Malik Rusdiantoro. Keluarga Rusdiantoro cukup berkuasa saat itu. Jadi ia
tentu saja bisa melakukan apapun dengan nama keluarganya untuk membantu Irene
mendapatkan informasi rahasia itu," jelas Alvi.
"Untungnya buat dia apa?"
tanya Will.
"Karena dia memiliki dendam
kepadaku. Tidak hanya dia tapi seluruh keluarganya menaruh dendam kepada
keluarga Keysnandra...," ujar Alvi.
"Jad..jadi bisa jadi
dia...,"
Alvi menganggukkan kepalanya seraya
memberi jawaban "iya" atas pertanyaan Will yang belum tuntas.
"Kemungkinan besar mereka
dalangnya. Mereka akan melakukan segala cara untuk menggoyahkan posisi Keluarga
Keynandra dalam hal apapun baik itu di bidang bisnis perusahaan atau
menghancurkan keluarga Keysnandra satu persatu. Seperti yang terjadi pada Tante
Selvi dan Om Bram yang sudah dianggap sebagai keluarga Keysnandra, juga Viola
saudara kembar Niken. Dan sekarang yang menjadi targetnya adalah Niken. Mereka
berusaha untuk membuat Niken terpuruk akan kondisinya...,"
"Iya, bisa jadi benar. Karena
saat itu pertama kalinya Niken mendapatkan surat-surat ancaman itu, ia sempat
histeris dan depresi. Karena itulah aku menyiapkannya kamar dirumahku ini
untuknya, agar ia tidak sendirian di apartemen dan membuat aku dan Cathreen
tidak bisa menjaganya saat ia kembali mendapat teror-teror itu...," jelas
Will. "Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya William.
"Aku akan menyuruh beberapa
detektif mencari tahu kebenaran dugaan kita itu serta mengumpulkan bukti-bukti
yang kuat untuk bisa memenjarakan mereka dan keluarganya," jelas Alvi.
"Ya... aku setuju...,"
"Oh, ya kamu juga punya
bukti-bukti yang sudah dikumpulkan Niken terkait dengan kematian Tante Selvi,
Om Bram dan Viola kan?" tanya Alvi.
"Iya, aku tahu dimana Niken
menyimpannya. Aku juga ikut serta membantunya mengumpulkan bukti-bukti itu jadi
sedikit banyak aku tahu. Tapi, kami menghentikan pencarian bukti-bukti itu lagi
sejak tiga tahun lalu, mengingat aku harus memprioritaskan untuk menjaga
kondisi Niken dari..,"
"Ya, aku tahu. Tidak masalah,
kita bisa melanjutkan pencarian bukti-bukti itu lagi. Terima kasih Will. Kamu
menjaga Niken yang seharusnya menjadi tugasku...," ujar Alvi.
"Tidak masalah. Niken
sahabatku, aku mengenalnya sejak kecil dan ia sudah seperti keluargaku sendiri.
Jadi, kamu tidak perlu berterima kasih kepada sesama saudara...," ujar
Will.
"Ekhm....,"
"Ya....?"
"Selain itu, aku juga minta
ma'af padamu Will...," ujar Alvi.
William mengerutkan kening, ia
bingung dan tidak mengerti maksud perkataan Alvi.
"Minta ma'af untuk..?"
"Karena pernah berpikir buruk
tentangmu. Bahwa kamu adalah selingkuhan Niken...," ujar Alvi.
Mendengar hal itu William hanya bisa
tertawa. "Ya Tuhan, kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu..?"
"Ya namanya juga....,"
"Cemburu...," goda Will. Yang
tentu saja membuat Alvi mendengus.
Sementara William masih dengan
tawanya yang tak henti-henti. Alvi akhirnya melangkahkan kaki kembali ke kamar
yang ditempati Niken di rumah Will, tanpa menghiraukan sang pemilik rumah yang
masih menertawai kebodohan pemikirannya tadi itu.
"Mau kemana? Kabur...,"
ujar Will.
Alvi hanya mengedikkan bahu, acuh.
Tapi ketika Will menyuruhnya mendekat untuk memberitahukan satu rahasia tentang
Niken, mau tak mau Alvi pun kembali melangkahkan kakinya menuju Will.
"Niken tidak pernah pacaran.
Kamu satu-satunya lelaki yang ia suka. Ia tidak pernah terlibat pergaulan bebas
meskipun cukup lama tinggal di Amrik. Jadi dia masih...,"
Alvi memotong penjelasan Will.
Karena ia tahu apa yang akan dikatakan lelaki itu kepadanya.
"Aku tahu...," ujar Alvi.
Sementara William cengo mendengar perkataan Alvi itu. Ia mengernyit bingung
kenapa lelaki itu bisa tahu padahal ia belum menyelesaikan penjelasannya.
"Karena aku orang yang pertama melakukan itu padanya...," jelas Alvi
santai dan melenggang pergi meninggalkan lelaki itu.
Sementara Will melayangkan bantal
sofa ke Alvi setelah mendengar perkataan Alvi.
"Jadi, kemari setelah kamu baru
nyampai di Amrik kamu dan Niken melakukan itu?" tanya William sembari
berteriak karena lelaki itu melenggang pergi menuju kamar Niken. Ia dapat
melihat lelaki itu hanya mengedikkan bahunya seraya menjadi jawaban atas
pertanyaan Will.
"Dasar, awalnya sok-sok an pada
nggak mau. Nyatanya lama nggak ketemu eh malah nggak tau malu langsung
melakukan itu," gerutu Will. Ia pun kemudian mematikan televisi dan menuju
ke kamarnya untuk menyusul sang istri dan anaknya yang tengah tidur siang.